![]()
Pengantar |
MAWAS DIRI: PERISTIWA SEPTEMBER '65
DALAM TINJAUAN ULANG 23 September 2000 - LEUVEN , BELGIA Forum Diskusi Sejarah Indonesia - Eropa AWAL CERITA ITU Peristiwa '65, yang lebih dikenal sebagai G-30-S, adalah ibarat sekeping mata-uang 'jimat bertuah' bagi rezim Orba. Di satu sisi, peristiwa '65 adalah sebuah mitos keramat bangsa Indonesia, dimana rezim Orde Baru berdiri. Ia tak bisa dikutak-kutik sembarangan, tidak pula bisa ditafsir ulang. Di sinilah mitos itu melegitimasi rezim Orba. Di lain sisi peristiwa itu menjadi trauma bangsa. Bukan kebetulan bahwa trauma itu menyebabkan rakyat tidak banyak bersuara terhadap praktek represif Orba (pemberian stigma sosial, premanisme, militerisme, adu-domba, dll.) sehingga Orba bisa berdiri selama 32 tahun tanpa banyak 'gangguan.' Justru karena lekatnya kaitan antara mitos dan trauma sosial ini, tumbangnya rezim Orba tidak berarti terbebaskannya rakyat Indonesia dari budaya politik yang telah ditanamkan dan diwariskan Orba. Bisa dikatakan kemudian, bahwa peristiwa
'65 diduga menjadi salah satu akar pokok dari permasalahan bangsa Indonesia
sekarang ini, dari masalah KKN, ketidakadilan, kemiskinan, kerusuhan bermotif
SARA, sampai bobroknya moral masyarakat. Kejahatan sejenis itu terus dia
lakukan dalam skala lebih kecil tetapi terus menerus. Misalnya, apa yang
terjadi pada tahun '65 di Jateng, Jatim, Bali, dst, itu kemudian terjadi
di Dili, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Irian, Trisakti, Semanggi, dan hari
ini di Ambon, Maluku, Poso, dst. Penyakit militer yang merasa diri kebal
hukum itu bermula dari pembunuhan massal. Benang merah ini perlu dikaji
lebih lanjut. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah dampak ketakutan
yang ditimbulkan dalam masyarakat pasca 65 akibat trauma itu. Peristiwa
65 menjadi semacam hantu yang terus mengikuti langkah bangsa Indonesia,
bahkan sampai hari ini. Beragam rekayasa Orde Baru untuk 'memelihara'
hantu itu, misal dengan stigma sosial yang dipertahankan dan litsus (penelitian
khusus) dengan bersih lingkungannya, membuat hantu itu terus bertahan dan
juga beranak pinak dalam jiwa bangsa. Phobia politik yang sempat berjangkit
pada generasi muda adalah salah satu contohnya. Wawasan baru lalu diperlukan
untuk menyimak peristiwa 65 itu dengan lebih arif, bukan hanya untuk memahami
masa lalu, tetapi khususnya untuk memberi bekal berharga bagi generasi
pasca 65. Khususnya, supaya tidak mengulang kesalahan generasi pendahulunya.
KEINGINAN UNTUK MAWAS DIRI Demistifikasi peristiwa '65 adalah suatu keharusan demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Hampir menjadi pengetahuan umum bahwa rezim Orba memutlakkan versi sejarahnya atas peristiwa itu, dengan bentuk-bentuk penggelapan dan pembelokan fakta. Generasi pasca 66 lalu dipaksa menelan sejarah itu tanpa suatu pengolahan yang ilmiah, alih-alih suatu pengolahan batin yang mendalam. Berdasarkan hal ini, tanpa mengesampingkan arti pentingnya bagi mereka yang menderita jasmani-rohani karena langsung bersentuhan dengan peristiwa itu, suatu tinjauan ulang atas peristiwa '65 itu akan sangat penting bagi generasi muda Indonesia. Nota bene, generasi muda Indonesia membutuhkan suatu titik pijak yang baru dan wawasan yang bar untuk melangkah ke depan. Suatu pemahaman yang utuh dan ilmiah atas peristiwa '65 diharapkan bisa mendemistifikasikannya, yang pada gilirannya dapat pula menyembuhkan trauma bangsa itu. Hanya, mengingat bahwa generasi muda Indonesia, khususnya generasi pasca-66, bukanlah saksi sejarah atas peristiwa tragis itu, dibutuhkanlah masukan dari para 'senior'nya, baik saksi sejarah, penderita, maupun tinjauan para ilmuwan sehubungan dengan hal itu. Bukan kebetulan pula bahwa saat ini para saksi sejarah sudah makin mendekati akhir masa tuanya, padahal kesaksian mereka akan sangat berharga bagi 'bekal' generasi muda ini. Terlebih lagi, tidak sedikit pula para saksi sejarah dan ilmuwan tentang Indonesia yang berada di Eropa, sehingga suatu sarasehan bersama tentang hal itu di salah satu tempat di Eropa akan menjadi suatu ajang yang berharga dan penting. Secara singkat, perlulah ditekankan
sekali lagi bahwa 'pelurusan sejarah' bagi generasi muda Indonesia bukanlah
sekedar suatu pembenaran atau pencucian dari pihak-pihak yang terlibat,
langsung maupun tidak langsung. Yang dibutuhkan untuk masa depan adalah
suatu pemahaman sejarah yang lebih utuh supaya dapat menjadi dasar pijak
bersikap dan bertindak dalam konteks hidup berbangsa, baik terhadap masa
lalu maupun untuk masa kini dan masa depan. Karena itulah, tujuan sarasehan
yang direncanakan akan diselenggarakan di Leuven ini adalah lebih 'memberi
bekal' bagi generasi muda Indonesia, khususnya dalam membongkar dan mematahkan
mitos peristiwa '65 itu dan bekal penyembuhan atas trauma. Kiranya, bekal
itu pun akan menjadi modal yang sangat berharga bagi suatu rekonsiliasi
bangsa Indonesia. Dalam kaitan ini pula, usulan Gus Dur untuk mencabut
TAP MPRS XXV/1966 memang perlu ditindaklanjuti secara lebih serius, bukan
untuk melegitimasi komunisme, tetapi untuk membuka suatu wawasan berkehidupan
sosial di masa depan yang lebih demokratis dan beradab.
CERITA UNTUK GENERASI INI Dengan latar belakang pemikiran itulah,
kami merencanakan suatu sarasehan sehari dengan topik
"MAWAS
DIRI: PERISTIWA '65 DALAM TINJAUAN ULANG." Berhubung terbatasnya
waktu, dalam sarasehan ini kami membagi tinjauan itu dalam tiga aspek:
pengalaman saksi sejarah, aspek historis (dimensi nasional dan internasional)
serta aspek hukumnya. Tentu, masih beberapa aspek penting lain yang perlu
ditinjau, tetapi untuk kali ini, kami memilih tiga aspek itu yang didahulukan.
Diharapkan bahwa ketiganya bisa memicu suatu tinjauan yang lebih menyeluruh.
SIAPA YANG BERCERITA ?
Rencana ini awalnya dimulai dari diskusi kecil beberapa rekan mahasiswa Indonesia di Leuven. Perkembangan diskusi ini akhirnya mulai menggulir dan kami bertekad untuk mengembangkan wacana tersebut dalam forum yang lebih serius. Kami akhirnya memutuskan untuk membentuk Forum Diskusi Sejarah Bangsa. Forum ini diprakarsai oleh : Francis Purwanto (Mahasiswa doktoral Teologi, di Universitas Louvain-la-Neuve ), Al Andang ( Mahasiswa doktoral Hukum, di Universitas KU-Leuven), Dr. Y. Eko Riyanto (Postdoktor di Fakultas Ekonomi Universitas Groningen), Lukas (Mahasiswa doktoral Teknik Elektro, di Universitas KU-Leuven). Andrea Peresthu (Mahasiswa doktoral Urban Planning di Universidad Politecnica de Catalu�a, Barcelona, Spanyol). Forum ini akan terus dilanjutkan sebagai
sarana diskusi dalam mengembangkan wawasan sejarah bangsa. Tidak hanya
memusatkan pada satu tema sentral, tapi kami bertekad untuk terus menggali
dan membuka wawasan-wawasan baru tentang sejarah bangsa kita.
Sumber Pendanaan Sebagai forum diskusi memang tidak
memerlukan dana besar. Namun dalam rencana kegiatan September ini kami
benar-benar berdasarkan niat baik dan ketulusan dalam melakukan forum ini.
Sehubungan dengan itu, pendanaan sangat terbatas sekali.
PPI-Leuven
(Perhimpunan Pelajar Indonesia) telah bersedia mendukung dana sebagaian
kecil, karena juga mengingat dana perhimpunan pelajar tidak juga besar
dan swadaya. Selebihnya saat ini kami juga sedang berusaha mencari sumber-sumber
pendanaan ataupun sumbangan dari rekan-saudara dan handai taulan sebangsa-setanah
air untuk ikut berpartisipasi aktif dalam forum ini. Sejauh ini sumber
pendanaan hanya cukup untuk konsumsi pada hari pelaksanaan saja. Kami tidak
memiliki kemampuan untuk menanggung biaya perjalanan para pembicara/ nara
sumber. Tapi hal-hal yang berkaitan dengan akomodasi para pembicara selama
di Belgia, kami akan usahakan dengan sebaik-baiknya.
Kapan dan Bagaimana Serasehan Itu ?
Rencana akan dilaksanakan tanggal,
Sabtu, 23 September 2000
Bertempat di :
Kastil Arenberg (Kastil dari abad ke-15)
Universitas
Katolik Leuven, Belgia
Demikianlah uraian singkat dari kami,
semoga bisa memberikan gambaran kongkrit tentang rencana diskusi dari Forum
Sejarah Kebangsaan. Dukungan, saran dan kritikan, dengan senang hati kami
terima dalam kerangka yang konstruktif.
Salam,
Panitia
Tel. +32 - 486- 766 117 / Fax. +32 - 16 - 241931
e-mail : [email protected]
Leuven, 27 Agustus 2000. webmaster |