SETUMPUK ANGKA UNTUK DEMOKRASI DAN HAM
Taufiq Ismail
Dua kata kunci yang senantiasa disebut-sebut sebagai alasan pembenaran usul pencabutan Tap MPRS no XXV / 1966 adalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sejak dahulu, PKI, dan kini Marxis, apa pun derivat atau variannya, bukan saja tidak kompatibel dengan kedua kata ini, bahkan menentang (ketika mereka merasa kuat) dan menggilasnya (bila mereka berkuasa).
Mari kita perluas horison pengamatan kita ke 21 negara Marxis, dan kita buka catatan James Nihan (The Marxist Empire, 1987). Di negara-negara tersebut, kepala negara atau presidennya memerintah antara 42 sampai 12 tahun berturut-turut. Di Korea Utara Kim-Il-Sung berkuasa 42 tahun, di Albania Enver Hoxha 42 tahun dan di Kuba, sampai kini Fidel Castro jadi presiden 41 tahun. Yang jadi diktator di atas 30 tahun ada 4 orang, yaitu Joseph Tito di Yugoslavia selama 35 tahun, Snieckus di Lithuania sepanjang 34 tahun, lalu di Bulgaria diktator Zhivkov 33 tahun, kemudian Janos Kadar di Hongaria selama 31 tahun.
Di 7 negara berikut ini diktator Marxis berkuasa lebih dari 20 tahun. Joseph Stalin di Uni Soviet jadi tiran 28 tahun, Le Duan di Vietnam 27 tahun, Mao Tse-tung di RRC 27 tahun, di Guinea Toure 26 tahun, di Jerman Timur Ulbricht 25 tahun, di Mongolia Tsedenbal 25 tahun dan di Rumania Ceaucescu 23 tahun lamanya.
Di 10 negara Marxis lainnya kepala negaranya memerintah antara 19 sampai 12 tahun. Yang terpanjang di kelompok ini adalah Brezhnev di Uni Soviet (19 tahun) dan Nyerere di Tanzania (19 tahun juga). Di 8 negara lainnya (Cekoslowakia, Benin, Somalia, Jerman Timur, Polandia, Mozambique, RRC dan Ethiopia) diktator Marxis bertahta antara 17 sampai 12 tahun lamanya.
Baik juga dicatat bahwa 10 diktator meninggal ketika masih berkuasa, dan 5 orang digulingkan dengan kekerasan ketika masih dalam jabatan (Kadar / Hongaria, Ulbricht / Jerman Timur, Husak / Cekoslowakia, Honecker / Jerman Timur dan Gierek / Polandia).
Tidak ada satu pun dari negara di atas, yang melaksanakan pemilihan umum dengan peserta lebih dari satu partai, bersih dari ancaman, jujur dalam penghitungan suara dan ada batasan dalam memegang jabatan tertinggi negara. Terbukti pula bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara-negara Marxis itu, berpuluh tahun mengangkangi kursi kepresidenannya. Klaim bahwa Marxis-Leninis-Maois memperjuangkan demokrasi, dengan demikian sama-sebangun dengan dusta besar. Klaim usang inilah yang dijajakan lagi di situs Indomarxist di internet kini. Penipuan ini hanya berhasil mengelabui orang yang tidak membaca sejarah.
Kaum Marxis-Leninis-Maois lama dan baru di sini, sangat anti militer Indonesia. Citra yang mereka bentuk adalah bahwa Marxisme di seantero jagat raya, menentang militerisme. Ini lagi sebuah pembohongan. Mereka menentang militer di Indonesia karena militer kita, pasca Madiun 1948 sampai sekarang, anti komunis. Di 18 negara Marxis dunia, kepala negaranya militer, dan tidak ada di sana Marxis yang keberatan, juga di Indonesia tak ada yang mengecam militerisme rekan-rekan mereka itu. Mari kita soroti faktanya.
Dari 18 negara Marxis terpenting berikut ini, kepala negaranya adalah militer, menurut urutan abjad. Afghanistan, Mayor Jenderal Najibullah; Benin, Kolonel Methieu Kerekou; Burkina Faso (dulu Upper Volta) Kapten Thomas Sankara; RRC, Jenderal Yang Shangkun; Cekoslowakia, Jenderal Ludvik Svoboda.
Kemudian di Afrika lagi Ethiopia, Kolonel Mengistu Marlam; Ghana, Letnan Jerry Rawlings; Grenada, Jenderal Hudson Austin; Guinea, Kolonel Lasana Conte; Guinea-Bissau, Jenderal Joao Viera.
Di Asia, Korea Utara, Marsekal Kim Il Sung; Madagaskar Commander Didier Ratsiraka; Nicaragua, Commandante Daniel O. Saavedra; Polandia, Jenderal Wojcieh Jaruzelski (Presiden) dan Jenderal Czeslaw Kiszczak (Perdana Menteri).
Di Somalia, Jenderal Muhammad Barre; Suriname, Kolonel Deserie Bouterse;
Uni Soviet, Generalissimo Joseph Stalin dan Marsekal Nikolai A. Bulganin, kemudian Yugoslavia, Marsekal Josip Tito.
Baik dicatat bahwa Jenderal Austin (Grenada) membantai beberapa orang rekan Marxisnya dan mengambil-alih kekuasaan hingga akhirnya digulingkan (Oktober 1983). Di Nicaragua 10 orang pimpinan tertinggi negara Marxis itu militer, dan di Politbiro Partai Komunis Polandia terdapat 3 jenderal. Jenderal Svoboda (Cekoslowakia) dan Marsekal Nikolai Bulganin (Uni Soviet) digulingkan secara paksa dan Kapten Thomas Sankara (Burkina Faso) dibunuh ketika masih berkuasa.
Statistik dari World Almanac and Book of Facts, 1987 membandingkan 13 negara Marxis dan 15 negara non-Marxis. Jumlah penduduk 13 negara Marxis adalah 1,58 milyar dan 15 negara non-Marxis 1,59 milyar. Jumlah militer 13 negara Marxis 19,1 juta, sedangkan militer non-Marxis 6,3 juta. Jadi tentara Marxis 300 % lebih besar, atau tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan tentara negara non-Marxis.
Kesimpulannya jelas bahwa negara-negara Marxis itu bukan saja militeristis, bahkan super-militeristis.
Konsekuensi logis berikutnya dari fakta ini adalah bahwa negara Marxis adalah produsen dan penjual senjata terbesar. Sasaran penjualan senjata adalah negara dunia ketiga. Berikut ini perbandingan angka penjualan senjata, 1983-1986, ke negara-negara dunia ketiga tersebut.
Uni Soviet |
US $ 60,0 milyar |
Amerika Serikat |
US $ 25,5 milyar |
|
RRC |
5,3 milyar |
Perancis |
16,5 milyar |
|
Cekoslowakia |
2,6 milyar |
Jerman Barat |
4,0 milyar |
|
Inggeris |
3,4 milyar |
|||
Sepanyol |
2,1 milyar |
|||
Brazil |
1,2 milyar |
|||
Jumlah |
US $ 67,9 milyar |
US $ 52,7 milyar |
Untuk perang 2 tahun di Somalia, Tigre dan Erithrea, yang menewaskan 30.000 orang di kawasan yang paling miskin dan lapar di dunia itu, Moskow melanggengkan perang saudara di sana dengan menjual senjata ke rezim Marxis Ethiopia seharga 5 milyar dolar. Guna meringankan krisis pangan yang menelan korban sekitar sejuta penduduk yang mati kelaparan (Bank Dunia, 1987), Uni Soviet menyumbang kurang dari seperseribu penjualan senjatanya, yaitu 3 juta dolar saja. Moskow mengeruk keuntungan luarbiasa besar dari penjualan senjatanya untuk Marxis Adis Abeba, dan dengan senjata itu membantai bangsanya sendiri.
Bukti berikutnya bahwa Marxis spesies ini tidak kompatibel dengan demokrasi adalah kenyataan bahwa bagi mereka tujuan utama ideologi adalah perebutan kekuasaan dengan kekerasan menuju kediktatoran proletariat, dengan revolusi berdarah, bukan secara demokratis lewat pemilihan umum yang bersih.
Dalam rentang waktu 70 tahun, dimulai dari Ukraina 1918 sampai dengan Erithrea 1987, kaum Marxis melakukan perebutan kekuasaan di 76 (tujuh puluh enam) negara dan kota di seluruh dunia, yang gagal. Termasuk yang gagal itu Pemberontakan PKI di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera Barat (1926), Peristiwa Tiga Daerah di Tegal, Brebes dan Pemalang (1945), Cirebon (1946), Pemberontakan Madiun (1948) dan Pengkhianatan Gestapu (1965).
Kata kunci kedua, yang belakangan ini dipropagandakan habis-habisan oleh Marxis spesies ini adalah HAM. Bila HAM mereka kesenggol, mereka berteriak setinggi apartemen pencakar langit, tapi bila 7 juta petani kulak dibantai Stalin, 2,5 juta rakyat Kamboja digorok Khmer Merah, 6 juta orang dibuang ke Siberia dan Asia Tengah, 450.000 orang dijagal selama Revolusi Kebudayaan di RRC, 1,2 juta rakyat Afghanistan dibantai Marxis Afghan yang dibantu serdadu Uni Soviet, mereka bungkam dalam 21 bahasa.
Enam juta orang itu, yang dipaksa pindah atau dibuang dari tanah kelahiran mereka, adalah golongan minoritas berasal dari Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia dan Armenia, dalam jangka waktu 14 tahun, yakni antara 1939-1953. Stalin membuang mereka ke Asia Tengah dan Siberia, gulag neraka dunia tempat kerja paksa yang tak ada tandingan kekejamannya itu.
Warganegara Uni Soviet tidak bebas bepergian di dalam negeri mereka sendiri. Mereka harus memiliki propiska, yaitu paspor dalam negeri, yang mempersulit gerak langkah penduduk. Bepergian ke luar negeri jauh lebih sulit lagi prosedurnya, bahkan tidak mungkin dilakukan warganegara biasa, walau pun punya biaya. Hak asasi warganegara untuk bepergian, dicekik.
Karena penganut Marxisme-Leninisme beroperasi dalam jaringan kerja internasional, setiap Marxis-Leninis yang sadar, di mana pun dia, termasuk di Indonesia, ikut bertanggung-jawab secara tak langsung atas pelanggaran HAM kamerad-kamerad mereka di negeri-negeri lain itu.
Ada baiknya kita melihat masalah ini secara kuantitatif lagi dalam rentang masa sejak revolusi Bolshewik sampai pembabatan Tian An Men dan runtuhnya Tembok Berlin (1917-1991), dengan memperhatikan angka yang ditemukan Rummel (1986) dan Nihan (1987).
Sepanjang abad ini, menurut Rummel, rezim komunis seantero jagat telah membunuh 95,2 juta manusia, sedangkan menurut Nihan, 105 juta orang. Apabila diambil rata-rata pertengahan 100 juta saja, maka Partai Komunis sedunia, di 76 negara, secara kolektif, di abad ke-20 selama 74 tahun itu (antara 1917-1991), setiap tahunnya telah membantai 1,35 juta manusia. Atau, setiap harinya 3.702 orang. Itu sama dengan 154 orang per jam, atau 2,5 orang per menit. Ini sungguh sebuah adegan pejagalan kolosal-global yang tak ada bandingannya dalam sejarah kemanusiaan sejak zaman batu dahulu kala sampai zaman pentium sekarang.
Angka seratus juta itu, sama dengan gabungan penduduk 10 negara, yaitu Australia, Angola, Austria, Belgia, Irlandia, Israel, Portugal, Senegal, Swedia dan Tunisia digabung jadi satu.
Tangan pemeluk ideologi Marxis-Leninis di seluruh dunia, ikut berlumur darah, paling kurang terpercik, dalam adegan pembantaian kolosal ini. Setiap ada kemenangan kubu Marxis-Leninis di negara mana pun, mereka bertepuk tangan menyambutnya. Tapi setiap ada pembantaian berlangsung yang dilakukan rekan mereka, Marxis-Leninis di negeri lain tutup mata dan mulut, menafikannya dalam sejarah, walau pun mereka secara ideologis ikut bertanggung-jawab.
Hak manusia untuk hidup bernyawa adalah hak asasinya yang paling top. Hak ini yang paling diinjak oleh Marxis spesies ini, terhadap lawan ideologinya, bila mereka berkuasa. Nyawa bagi Lenin, Stalin, Beria, Mao, Pol Pot, Aidit, Honecker, Castro, murah harganya, jauh lebih murah ketimbang harga yang sudah dibanting oleh Hitler dan Mussolini.
Dua kata kunci yang senantiasa disebut-sebut itu, yakni demokrasi dan hak asasi manusia, tidak akan mempan lagi diumpankan ke masyarakat oleh siapa pun yang menginginkan dicabutnya Tap XXV MPRS 1966, karena kini orang ingat kembali kuantifikasi sejarah merah dari masa 1917-1991 di atas.
Kata demokrasi yang mereka sebut itu sama-sebangun, cocok sekali ukuran panjang, lebar dan tingginya dengan dusta besar, dan kata hak asasi manusia mereka berlumuran serta berbau darah. Indonesia tidak sudi, dan pandir betul bila mau ditipu untuk keempat kalinya.***
(Forum, no. 11, tahun IX, 18 Juni 2000, dengan beberapa perbaikan penghitungan angka statistik)