Kompas : 24 Oktober 1995
Tajuk Rencana
BAGAIMANA CARANYA MEMANFAATKAN
SEJARAH SEBAGAI GURU YANG BIJAKSANA
KETIKA menyampaikan sambutan tertulis pada peringatan HUT Ke-31 Golkar, Jumat (20/10) malam, kita diingatkanoleh Kepala Negara tentang kegunaan sejarah. Diserukan pula agar bangsa Indonesia meluruskan usaha yang ingin memutarbalikkan sejarah, yang ingin membenarkan kesalahan di masa lalu.
Menurut Kepala Negara, sejarah adalah guru paling bijaksana, dan kita harus mengambil pelajaran dari padanya. Sejarah mengajarkan betapa kejamnya kaum komunis terhadap mereka yang tidak sepaham, apakah pengkhianatan Madiun 1948 maupun pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.
SEBAGAI fakta sejarah, dua peristiwa itu, Madiun 1948 dan G30S/PKI, adalah noktah-noktah hitam historisitas kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, seperti dikatakan Kepala Negara, keduanya selalu jadi bahan ingatan agar tidak terjadi lagi di masa depan.
Dalam konteks itu, kita memahami mengapa akhir-akhir ini dimunculkan isu organisasi tanpa bentuk (OTB). Selain mengingatkan kita tentang "noktah-noktah hitam" di masa lalu, kita disadarkan tentang kegunaan sejarah. Sejarah mendidik kita bertindak bijaksana, sebuah caveat yang pernah dilontarkan filsuf terkenal Kon Fu-tse.
Sebaliknya adalah bijaksana kalau tentang masa lampau pun kita terbuka. Terbuka terhadap temuan baru, terhadap informasi yang melengkapi data. Buku-buku memoar yang sering menonjolkan penulisnya hingga berkesan kurang memberi informasi yang benar, bisa ditempatkan sebagai bagian dari melengkapi data sejarah.
Pelarangan buku-buku yang sering terpaksa dilakukan, sebaiknya ditempatkan dalam kerangka keinginan kita melengkapi pengetahuan kita tentang peristiwa masa lampau. Yang ingin diperoleh bukan hanya kegunaan sejarah, tetapi juga kesadaran akan sejarah (sense of history).
BERBEDA dengan banyak peristiwa sejarah yang lain, peristiwa Madiun 1948 dan G30S/PKI 1965, tidak menimbulkan banyak perdebatan. Padahal perdebatan mengenai sejarah, menurut sejarawan Taufik Abdullah dari LIPI, adalah hal yang lumrah. Perdebatan mengenai sejarah, katanya, atau memakai idiom ilmu sejarah disebut "tentang hasil rekonstruksi peristiwa masa lalu" adalah biasa.
Menurut ilmu sejarah, masih kita kutip dari Taufik Abdullah, hanyalah peristiwa yang dianggap "besar" dari sudut akibat atau disebut "penting" dari sudut kesadaran masyarakat, yang menimbulkan banyak perdebatan.
Mengapa peristiwa Madiun 1948 dan G30S/PKI 1965 tidak menimbulkan perdebatan, padahal baik dari segi "kebesaran" maupun "kepentingan" tak kurang bobotnya?
Kebengisan dan kekejaman kedua peristiwa itu sudah menjadi trauma. Adalah wajar kalau peristiwa kekejamanharus selalu diingatkan. Sudah seharusnya, kalau kita kemudian tersentak ketika ada isu-isu upaya memutarbalikkan sejarah.
MEMPELAJARI sejarah adalah membuat sejarah. To study history is to build history,, kata sejarawan Arnold Toynbee. Masa lalu adalah kepadatan masa kini. Masa kini, proyeksi masa depan, sehingga berarti masa lalu selalu jadi bahan perdebatan menyangkut pilihan, penilaian, dan keputusan yang ketiganya bersangkut paut dengan kekuasaan memilih, menilai dan memutuskan.
Nuansa seperti itu amatlah relevan kita kaitkan dengan caveat bahwa sejarah sebagai guru kita yang paling bijaksana. Sejarah sebagai deretan peristiwa ibarat album kehidupan. Di sana terpapar berbagai peristiwa sebagai fakta, yang kait-mengait, bertali-temali. Peristiwa yang satu tak bisa dilepaskan dengan konteks suasana yang tengah berkembang.
Album itu menjadi guru kita, justru bila kita mampu mengambil hikmah. Kemampuan itu menuntut kejelian kita secara jernih dan arif memilah-milahnya. Hikmah itulah rumusan kita tentang suatu peristiwa kegagalan atau keberhasilan, jadi bahan untuk selalu waspada, dan menghindari jangan sampai terulang kembali.
PERISTIWA Madiun, mengutip penjelasan Kepala Negara, bukan hanya pemberontakan tetapi pengkhianatan. PKI bukan hanya memberontak, tetapi mengkhianati perjuangan bangsa, karena waktu itu bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajah yang ingin kembali ke Indonesia.
Yang terjadi kemudian, hikmah pengkhianatan dilupakan. Peristiwa Madiun tidak diselesaikan tuntas. Meskipun telah berkhianat, PKI dapat terus melangsungkan kegiatannya. Tahun 1955, seperti diuraikan Kepala Negara, ikut pemilihan umum. PKI dapat menyusup ke berbagai kalangan.
Peristiwa Madiun 1948 berulang kembali, tahun 1965, dengan korban ribuan manusia, di antaranya tujuh Pahlawan Revolusi sebagai bukti kekejaman dan kebengisan PKI.
DITEMPATKAN sebagai bagian dari historisitas bangsa Indonesia, sekali lagi kita sebut kedua pengkhianatan PKI itu adalah paling traumatis. Merekalah dua noktah paling hitam, paling besar, dan paling berdampak besar dan lama hingga sekarang.
Bagaimana kita sebaiknya menjadikan dua peristiwa tersebut sebagai guru kita yang paling bijaksana? Seperti ditegaskan oleh Kepala Negara, jangan sekali-kali kita lupakan kekejaman dan kebengisan PKI. PKI tidak akan pernah dapat menguasai negara Republik Indonesia mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi komunis.
Bahkan, begitu Kepala Negara, pemberontakan PKI yang dapat diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama, juga merupakan bukti bahwa tidak ada kekuatan apa pun yang dapat menggantikan Pancasila di bumi pertiwi ini.
PENEGASAN Kepala Negara bagi kita memberikan pedoman, bagaimana peristiwa sejarah adalah guru yang paling bijaksana. Kalau kita kaitkan dengan latar belakang dan konteks peristiwanya, pedoman itu juga mengingatkan bagaimana masalah kesenjangan dan keadilan sekaligus sebagai bagian inheren dari menjadikan sejarah sebagai guru paling bijaksana. Yang dibutuhkan pula adalah kesadaran akan sejarah.
Kita sepakat civil society, cita-cita yang belakangan ini menjadi wacana dalam berbagai pertemuan dengan muatan antara lain demokratisasi, menipisnya kesenjangan di segala bidang, adalah "pekerjaan rumah" yang komplementer.
Secara konseptual masyarakat warga, masyarakat berperadaban, masyarakat publik seperti itu yang memberi bobot pada upaya kita selalu mengingat masa lalu yang traumatis dan berupaya meluruskan upaya yang berusaha membelokkan sejarah.
Secara pragmatis dan praksis, civil society adalah terbukanya kesempatan seluruh warga masyarakat sebagai bagian dari warga Indonesia, yang mempunyai hak yang sama di depan hukum, yang mengharapkan tidak semakin melebarnya berbagai bentuk kesenjangan, monopoli dan kolusi.
Pernyataan cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid saat peluncuran buku karangan Jenderal (Pur) AH Nasution, Pembangunan Moral, Inti Pembangunan Nasional, Sabtu lalu, hemat kita adalah bagian yang komplementer membangun civil society. Seharusnya keberhasilan pembangunan fisik beriringan dengan keberhasilan pembangunan moral, bahkan yang kedua sebaiknya dijadikan prioritas utama.