STALIN (MESTINYA) MEMARAHI PKI

Taufiq Ismail

Partai Komunis adalah partai dengan tangan yang paling berdarah di dunia. Sepanjang abad ke-20, rezim yang dikuasai partai ini telah membunuh 95,2 juta manusia (Rummel, Religion and Society Report, 1986), atau 105 juta orang (Nihan, The Marxist Empire, 1991). Dari kedua laporan itu bila diambil angka pertengahan rata-rata 100 juta saja, maka Partai Komunis di seantero jagat telah membunuh 1 juta manusia setiap tahun sepanjang jangka 100 tahun belakangan ini, atau setiap hari mencabut nyawa 2739 orang, setiap jam 114 orang, atau setiap detik 1,9 orang.

(Waktu sependek yang anda pakai untuk membaca alinea di atas ini, cukup bagi Partai Komunis dunia untuk membunuh 38 orang korbannya).

Kebengisan Marxis-Leninis ini berlangsung di 64 negara, sejak dari Georgia, Albania, Cekoslowakia, Armenia, Cina, Indonesia, Afghanistan, Guinea sampai Nikaragua dan 56 negara lainnya, tersebar di 4 benua. Tidak ada satu partai politik pun di dunia, yang punya agenda perebutan kekuasaan dengan rasa haus darah serta kebencian meluap-luap, secara seragam melakukan pembantaian manusia secara brutal, kecuali partai Marxis yang satu ini. Kekejaman partai Nazi sangat dihujat orang Yahudi. Kekejaman partai Marxis-Leninis ini 16,5 kali lipat lebih besar ketimbang kekejaman partai Nazi itu. Partai Nazi membantai 6 juta Yahudi semasa PD-II.

Yang paling ganas tentulah Uni Soviet. Lenin memulainya dengan membantai 500.000 orang dalam 6 tahun, antara 1917-23 (Conquest, Human Cost of Soviet Communism). Iosef Dyadkin, penulis yang ditangkap di tahun 1984 karena menyiarkan penemuannya di buletin Samizdat, menyatakan bahwa dalam masa 26 tahun pemerintahan Marxis di Uni Soviet, 52,1 juta rakyat Rusia dihabisi rezim komunis. Tangan paling berdarah, yang memerintahkan pembunuhan atas nama ideologi Marxisme ini adalah tangan Joseph Stalin.

Di tahun 1929 Stalin memerintahkan eksekusi 7 juta petani. Kediktatoran Stalin dikukuhkan lewat teror agar keputusannya terlaksana dan oposisi hancur. Tanpa rasa kasihan, dihabisilah 10 tokoh komunis rekan Lenin, 6 anggota Politburo, diplomat, 400 jenderal (lebih dari separuh jenderal Angkatan Darat) dan 30.000 perwira menengah. Stalin tidak tanggung-tanggung membersihkan pimpinan Tentara Merahnya (Bailey, Massacres --- An Account of Crimes Against Humanity, 1994).

Sesudah Stalin meninggal, represi rezim komunis terhadap rakyatnya sendiri dan negara satelitnya, yang juga komunis, dilanjutkan terus oleh nachalstvo, yaitu para bos partai, dengan penindasan dan kekejaman serupa.

Tak kalah ganas ialah rezim komunis Cina. Penulis Anthony D. Lutz menaksir 60 juta orang telah dibunuh rezim Marxis-Leninis sejak Cina menjadi negara komunis. Yang terbanyak tentulah rakyatnya sendiri, selebihnya adalah korban bangsa lain dalam perang Korea (1950-53), Tibet (1950), India (1962) dan Vietnam (1968).

Salah kalkulasi Mao Zedong dalam programnya "Lompatan Jauh ke Depan" (1958-1962) telah menyebabkan 30 juta rakyatnya mati kelaparan, yang disebut sebagai "musibah kurang pangan paling buruk di dunia abad ini." Mao menutup-nutupi salah-urus rezimnya itu dan bersikeras tidak mau mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Di Indonesia semasa itu kita dikelabui oleh berita-berita bohong tentang suksesnya program "Lompatan Jauh ke Depan" tersebut di Harian Rakjat dan Bintang Timur.

Vietnam Utara, yang dengan gigih melawan dan mengalahkan Amerika Serikat, ironinya, bertempur pula melawan RRC, sesama negara komunis. Korban yang jatuh 47.000 orang banyaknya. Rakyat Vietnam Selatan, yang terpaksa menerima pemerintahan komunis (1975), dibantai sebanyak 65.000 orang, atas nama "utang darah pada rakyat". Perang itu menelan korban 1,5 juta orang banyaknya.

Ketika Ethiopia memerah, pertempuran 2 tahun berlangsung di Somalia, Tigre dan Eritrea, menewaskan 30.000 orang. Laporan Amnesty International, 1987, menurut wartawan John Kifner mengatakan "teror Merah itu membantai 30.000 pembangkang rezim".

Perang saudara saling membantai antara Marxis ini berlangsung di negara paling miskin dan paling lapar di dunia. Lebih dari sejuta penduduk mati kekurangan pangan (laporan Bank Dunia), tapi di pertengahan 1980-an itu rezim Marxis Ethiopia melangsungkan pesta ulang tahun komunis di Adis Abeba dengan biaya seratus juta dolar AS.

Untuk melanggengkan perang saudara itu Moskow menjual ke Adis Abeba senjata seharga 5 milyar dolar, sedangkan untuk meringankan krisis pangan mereka cuma menyumbang kurang dari seperseribunya, yaitu 3 juta dolar.

* * *

Dari semua fakta dan angka di atas, jelas tampak bahwa bagi Partai Komunis yang sangat rapi organisasi dan ketat disiplinnya di negara mana pun, dalam perebutan kekuasaan tidak enggan untuk melakukan pembantaian manusia, baik terhadap bangsa sendiri, bangsa lain, bahkan juga sesama Marxis. Contoh yang diberikan Lenin, Stalin dan Mao ditiru dengan setia oleh seluruh Partai Marxis-Leninis di 64 negara, termasuk Indonesia.

Tapi tragisnya adalah, bahwa sesudah teror PKI yang mengerikan dan ekstensif di banyak daerah semasa pra-Gestapu, kemudian Gestapu gagal, lalu PKI membayar hutang nyawa yang sangat mahal, termasuk pengucilan keturunannya dalam berbagai sektor kehidupan, yang mestinya tidak boleh terjadi.

Kepada mereka yang jolong terpukau dengan ideologi ini, tapi tak cukup umur mengalami aplikasi prakteknya, yang terbaik adalah menambah bacaan bandingan seluas-luasnya. Sejalan dengan itu jangan kita perturutkan ide pseudo-liberal yang dengan naif berniat mencabut TAP MPRS no XXV tahun 1966 itu dan dengan demikian memberikan instrumen gratis kepada Marxis spesies ini untuk memukul tengkuk kita lagi dari belakang.

Berideologi silakan, berinstrumen tidak. Pada suatu waktu, dengan pusaka kerapian organisasi dan keketatan disiplin mereka, yang tergembleng melalui gerakan di bawah tanah puluhan tahun, sejarah akan mereka ulangi. Komunisme gulung tikar dan tidak laku lagi? Itu di tempat lain, bung, di tempat lain! Itu cerita di bagian dunia lain, di tempat tukang sapu Balai Kota bergaji 5 juta rupiah per kepala (per kepala, bukan per keluarga) setiap bulan dan di negerinya cuma bayi yang bisa disuap.

Di sini, di tempat keadilan sosial tidak jalan, keputusan pengadilan diperjual-belikan, pengangguran 39 juta orang, kemiskinan 60 juta orang, kriminalitas memuncak, ekonomi amburadul, petinggi-petingginya jadi wakil bangsa pengemis kaliber dunia tak bermalu, hutang negara sebesar gunung di atas bahu, masyarakat kemelut berbunuh-bunuhan, massa murka pemuja api, rimba persilatan politik dibingungkan jurus pendekar mabuk, orang saling mencurigai dan sangat gampang difitnah --- inilah lahan chaos luarbiasa subur bagi Marxisme spesies ini untuk konsolidasi dan siap suatu waktu membalas dendam lagi.

Kita sendiri yang sukarela menyiapkan lahan gembur untuk bangkitnya sebuah kekuatan Marxis-Leninis varian baru di dunia dengan semangat muda yang anyar. Kita beri pula mereka topeng demokrasi dan HAM, yang telah dipasang di wajah mereka dengan sangat gembira. Sementara itu, inilah saat mereka untuk otokritik kegagalan taktik dan strategi masa lalu.

Misalkan Stalin masih hidup, sehat dan berkuasa sampai tahun 1965, kendali partai sedunia tetap terletak di Uni Soviet dan poros Jakarta-Beijing tak ada, maka pada waktu pimpinan PKI melapor ke Moskow, pantasnya terjadi dialog berikut ini:

"Bagaimana ini, kamerad? Otokritik dong kegagalan kalian. Revolusi 1926 kalian dulu itu, yang dilaporkan Alimin dan Musso kepada saya di Kremlin sebelum kalian lakukan, gagal memalukan. Negara Soviet di Madiun yang dibikin kamerad Musso, juga gagal memalukan. Prediksi kalian menguasa 35 % tentara ternyata keliru. Padahal pembantaian sudah lumayan bagus kalian laksanakan di situ, meniru contoh di Sverdlovsk. Nah ini lagi. Di tahun 1965 ini kalian kok gagal lagi, waaa, bagaimana to. Kalian masak lupa, kan contoh sudah aku berikan di tahun 1937, ketika aku habisi 400 jenderal Angkatan Daratku. Empat ratus! Kalian menghabisi cuma 7 jenderal saja, masih ada yang lolos. Kepriben, mas? Kurang latihan, kurang disiplin, kurang rapi berorganisasi, ya? Ulang lagi nanti, kamerad, pakai otak dan usahakan yang lebih sip." ***

(Gatra, no. 26, tahun VI, 13 Mei 2000)