wawancara dari harian Rakyat Merdeka, 13/3/2000 :

Ibaruri Aidit: Kesalahan PKI harus diungkap

"SOEHARTO MAU BAWA RAHASIA KE AKHIRAT?"

Jika tak ada aral melintang, salah seorang anak tokoh PKI DN Aidit, akan kembali dan menetap di Indonesia. Ibaruri Aidit mengaku tak tertarik untuk ke dunia politik seperti bapaknya, Masalah masalah humaniter, lebih menarik perhatiannya. Namun demikian, kebenaran kebenaran masalah lalu termasuk dalam tragedi G30S/PKI - harus diungkap. Berikut petikan wawancaranya:

(T) : PEMERINTAH sudah memberi peluang pada para pelarian politik Indonesia untuk pulang. Kabarnya anda mau pulang, kapan?

(J) : Benar. Saya sekarang memang masih berstatus stateles, bukan warganegara Perancis. Saya sendiri pernah mengajukan permohonan untuk jadi warganegara Perancis, tapi ditolak, dan belum mengajukan ulang. Ketika pemerintahan Gus Dur mempersilakan pulang, saya senang sekali. Saya sedang menulis surat pada Dubes Indonesia di Perancis, Pak Dadang Iskandar. Kepadanya, saya mengajukan tiga permohonan. Yaitu, agar saya bisa memulihkan kewarganegaraan Indonesia saya. Agar saya memperoleh paspor Negara Republik Indonesia. Dan, agar saya bisa pulang ke tanah air.

Tapi sampai sekarang belum ada kelanjutannya. Dan yang jelas, hati saya memang ingin pulang. Namun demikian, saya juga sadar. Bahwa saya tidak bisa melakukan tanpa persiapan-persiapan yang diperlukan. Antara lain, kepulangan itu bukan untuk sekadar berkunjung. Saya akan melihat-lihat apa yang bisa saya lakukan di Indonesia untuk bisa hidup, berkarya dan sebagainya. Apa gunanya pulang, kalau pada akhirnya hanya untuk merepotkan diri sendiri dan orang lain?

Sebaliknya, semakin baik dan cepat persiapan-persiapan itu, semakin cepat pula saya bisa pulang dan menetap di tanah air. Saya tidak menutup kemungkinan ketiga, misalnya untuk waktu tertentu saya akan bolak-balik Paris-Jakarta. Nanti kita lihatlah.

(T) : Sebagai "pelarian politik," bagaimana perasaan Anda setelah Gus Dur membolehkan Anda pulang?

(J) : Pertama, istilah "pelarian", saya sama sekali tidak pernah "lari". Lebih tepatnya, saya ini "nyangsang" dan nggak bisa balik. Dan, perasaan saya senang sekali, bahwa pada akhirnya rakyat Indonesia telah berhasil memilih presidennya yang tepat dan yang bisa memimpin negara dan Rakyat Indonesia untuk mewujudkan aspirasi-aspirasinya yang paling mendalam.

Bahwa pemerintahan Gus Dur membuka kesempatan tadi, ini adalah wajar. Itu hanya salah satu manifestasi dari tekadnya untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar.

Penghancuran PKI di masa lalu merupakan awal daripada penghancuran demokrasi di Indonesia. Dan itu merupakan basis daripada eksistensi Orde Baru atau rezim Soeharto. Oleh karena itu, saya berpendapat, tak mungkin akan ada perubahan yang sejati jika masalah dasar ini tak ditinjau secara menyeluruh. Kalau pun ada, hanya akan ada perubahan-perubahan tambal sulam. Perlahan-lahan semakin kelihatan bahwa Orde Baru ditegakkan di atas kebohongan-kebohongan.

(T) : Saat kejadian G 30 S, Anda berada dimana? Dan, bagaimana perasaan Anda saat orang tua Anda (DN Aidit) dihujat "habis-habisan" di Indonesia?

(J) : Saat itu saya berusia 15 tahun dan masuk klas 8 (kira-kira sama dengan SMU kelas I). Saya tidak tahu banyak. Karena, saya tidak banyak kesempatan membaca. Amat jarang bisa mendapat koran-koran Indonesia (sekali-sekali bisa membaca " Angkatan Bersenjata"). Teman-teman ketika itu kebanyakan mendengarkan radio. Jadi kalau soal hujatan, saya tidak begitu terkena dan peduli.

Saya kenal betul orang tua saya, cita-cita mereka, hidup mereka. Juga, untuk apa dan bagaimana hidup mereka. Jadi, saya tahu betul semua itu berisi kebohongan-kebohongan dan kekejian. Tapi, saya sempat merasa terpukul sekali. Merasa dalam waktu sekejap mata, saya kehilangan segala-gala yang saya cintai. Ini luar biasa!

Saya kehilangan keluarga. Saya tidak tahu mereka di mana dan nasib mereka baagimana. Kehilangan teman-teman. Satu per satu saya menerima kabar yang ini ditangkap, yang lain ditembak, hilang. Saya kehilangan tanah air. Saya kehilangan segala-galanya.

Berjam-jam saya bisa berdiri tanpa gerak dengan otak dan perasaan kacau. Tak tahu lagi harus berfikir bagaimana. Dan yang lebih ngenes tanpa bisa berbuat apa-apa, tak berdaya.

(T) : Lantas, bagaimana perjalanan Anda selanjutnya?

(J) : Pada tahun 1970, saya pergi ke Tiongkok. Dan baru tahun 1981 saya pindah ke Paris. Di Tiongkok, saya pernah belajar kedokteran selama 3 tahun. Ini yang memungkinkan saya bekerja sebagai perawat di Paris. Sambil bekerja malam, siang saya belajar dan mendapat DEA (kira-kira setingkat dengan S2) pada tahun 1992 dalam bidang "Sejarah dan Peradaban" (Histoire et Civilisation) di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales-Sekolah Tinggi Studi-Studi di bidang Ilmu-ilmu Sosial) di Paris. Saya mendapatkan sarjana muda dalam bahasa Jepang di INALCO pada tahun 1993 (Institut des Langues et Civilisations Orientales Institut Bahasa-bahasa dan Peradaban Timur).

Sekarang saya juga aktif di suatu LSM Perancis-Indonesia. Saya menikah dengan Budiman Sudharsono, ex Ketua IPPI di zaman Soekarno pada tahun 1971, dan dia meninggal dalam suatu kecelakaan pada tahun 1998.

(T) : Banyak fakta muncul. Bahwa, rezim Orba banyak memanipulasi sejarah. Menurut Anda, adakah rekayasa pada peristiwa G 30 S PKI itu?

(J) : Wah, kalau soal itu saya agak susah menjawab. Karena, saya selama ini di luar negeri. Pakar-pakar seperti Ben Anderson, atau ahli-ahli sejarah Indonesia lain, tentunya akan bisa bicara banyak. Tapi tentu ada yang sangat tahu soal itu. Menurut saya yang paling tahu adalah Soeharto sendiri. Mungkin Pak Nas (Jenderal AH Nasution, red) juga tahu banyak soal-soal ini.

Saya hanya bisa mengharapkan bahwa suatu ketika pelaku-pelaku utama rezim Soeharto itu sendirilah yang akan bisa-dan seharusnyalah-mereka berbicara masalah yang sebenarnya. Karena apa? Semua orang bisa bikin kesalahan. Tetapi kesalahan adalah tetap kesalahan. Pelaku-pelaku utama Orde Baru-seperti Soeharto itu-sekarang sudah berusia senja. Apakah mereka akan bawa beban mental dan dosa-dosanya yang begitu berat ke akhirat?

Dan karena itu juga saya bisa mengerti politik Gus Dur yang membingungkan banyak orang itu. Seperti tindakan beliau beranjangsana pada Wiranto, Habibie, dan Soeharto sendiri. Dan ini tidak seperti yang saya dengar. Bahwa Gus Dur adalah seorang politikus yang lihai. Dia bisa memukul lalu merangkul, dalam artian "segala cara adalah baik untuk mencapai tujuan".

Saya fikir tidak begitu. Memang, menurut penglihatan saya, ada politisi-politisi yang mempraktekkan demikian. Bagi saya Gus Dur adalah seorang humanis yang besar, yang bisa membedakan antara kesalahan dan segi-segi kemanusiaan. Politik Gus Dur bukanlah politik yang mematikan orang. Politik tumpas kelor. Tapi suatu politik yang memberikan jalan keluar pada orang.

(T) : Sosok seperti DN Aidit, selama hampir 32 tahun seolah menjadi sosok yang "dipojokkan" oleh rezim Orba tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan persoalan. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

(J) : Bukan "seolah", memang tidak pernah diberi kesempatan, dan tidak mungkin. Menurut cerita orang, ketika ayah saya ditangkap, beliau minta dipertemukan dengan Bung Karno. Tapi, takdiberi kesempatan. Kalau itu terjadi, barangkali pertumpahan darah bisa terhindar. Tapi ketika itu tidak mungkin. Yang dicari bukan masalah "salah" atau "benar". Tapi, membasmi PKI.

Ketika itu tujuannya memang memusnahkan, menghancurkan PKI dan ormas-ormasnya. Dan tentu juga citra PKI serta ormas-ormasnya. Tapi kebenaran adalah kebenaran. Jadi, walaupun sudah dicerca,dihina, difitnah secara keji selama lebih dari 30 tahun, yang benar tetap benar, dan yang salah tetap salah.

Harus diingat, bahwa ketika itu ayah saya baru berumur 42 tahun. Itu adalah usia yang sangat produktif untuk berkarya. Tapi juga relatif masih muda sebagai pemimpin. SEHINGGA BISA MEMBUAT KESALAHAN. SAYA HARAPKAN AHLI AHLI DAN PELAKU PELAKU SEJARAH SUATU WAKTU BISA MENYINGKAP DUDUK PERKARA YANG SEBENARNYA, TERMASUK DIMANA SALAHNYA PKI DAN KETUANYA DULU. MENYINGKAPKAN MASALAHNYA SECARA JUJUR DAN ADIL, SALAH DIBILANG SALAH , TAPI KALAU BENAR JUSTRU HARUS DIBILANG BENAR.

(T) : Anda sendiri bagaimana melihat komunisme itu?

(J) : Untuk menjelaskan masalah ini bisa panjang sekali. Baiklah saya coba berbicara singkat. Kalau kita bicara tentang komunisme,. seringkali belum apa apa orang sudah pasang kuda kuda, Yang satu ingin membela, dan yang lain ingin membela. Padahal, seringkali orang belum tahu benar apa yang dibela dan apa yang diserang.

KARL MARX SENDIRI TIDAK MENGATAKAN DIRINYA SEORANG MARXIS. SEMBOYAN BELIAU ADALAH " R A G U K A N L A H S E M U A ". Sikap beliau terhadap teori teori sebelumnya adalah "kritis dan revolusioner".

Karl Marx adalah seorang ilmuwan yang menstudi dan menyingkap hukum hukum perkembangan masyarakat. Khususnya hukum hukum masyarakat kapitalisme dan kemudian menyatakan bahwa masyarakat kapitalisme telah mengembangkan tenaga produksi secara luarbiasa. Tapi kemudian terhambat oleh hubungan produksi, yakni kepemilikan perseorangan atas alat alat produksi,

Oleh karena itu, dari masyarakat kapitalisme iu sendiri AKAN LAHIR MASYARAKAT YANG BARU. Di mana hasil produksi akan melimpah ruah, tenaga produksi akan berkembang dengan yang akan membawa umat manusia dari alam "keterpaksaan" memasuki "alam kebebasan". Pernah seorang mahasiswa Indonesia di Paris berkata pada saya, setelah membaca sedikit teori teori kiri. "Bahwa selama ini kami hanya diperkenankan berfikir dengan belahan otak yang kanan". Yang kiri dilarang. Sebaliknya yang mengaku diri Marxis.seringkali merasa hanya teorinya yang benar, dan teori orang lain salah. Mereka juga hanya memakai belahan otak yang "kiri". dan LALU MENGIDENTIFIASKI DIRI DENGAN KEBENARAN. MAKSUD SAYA, JANGANLAH KITA BELUM APA APA SUDAH PASANG KUDA KUDA, NGOTOT NGOTOTAN DALAM KEPICIKAN KITA. Kebenaran adalah kebenaran.

Diucapkan atau ditulis oleh siapa saja tidak peduli. Mau Marxisme, Komunisme, mau isme apa saja, SAYA TIDAK MENUTUP DIRI. GENERASI ORDE BARU SUDAH LAMA "DIBODOHKAN". Oleh karena itu yang penting sekarang adalah mengembangkan sikap yang kritis dan revolusioner, BERANI BERFIKIR, BERANI BERDEBAT DAN BERANI MENCARI JALAN SENDIRI. Mencari sendiri hukum hukum perkembangan masyarakat Indonesia. Semua teori-teori

bagus, TAPI YANG PALING PENTING ADALAH BELAJAR MELIHAT KENYATAAN, MEMECAHKAN MASALAH MASALAH PRAKTIS, MELIHAT JAUH KE DEPAN. TAPI KAKI TETAP BERPIJAK PADA BUMI REALITAS.

Masyarakat kita sangat majemuk. Seorang teman Perancis pernah berkata, bahwa INDONESIA LUAR BIASA MAJEMUK. DAN ITU ADALAH LABORATORIUM YANG LUARBIASA UNTUK SEMUA TEORI. KALAU KITA BISA MEMANFAATKAN INI, BETAPA KAYA KITA!

Jadi, saya sendiri berpendapat : BAHWA MASALAH MASYARAKAT INDONESIA, BELUM ADA TEORINYA YANG PAS. Apa ada teori yang bisa menerangkan fenomena Gus Dur?

Semua masih harus kita olah sendiri dan kita ciptakan sendiri. Saya sangat terbuka dalam hal hal begini.

(T) : Seandainya nanti anda kembali ke Indonesia, apakah anda bersedia kembali ke dunia politik?

(J) : Selama ini saya "outsider" dalam percaturan politik di Indonesia. Saya sejak kecil di luar negeri, dan sudah lama sekali berpisah dengan bumi Indonesia. HATI SAYA MEMANG MENCINTAI INDONESIA. Tapi dalam kenyataannya, sudah terlalu jauh barangkali dengan Indoensia Saya pikir saya akan terus menjadi "outsider". Paling paling saya ingin menulis, tapi bukan politik. Mengenai membentuk partai politik dan sebagainya, banyak sekali orang orang muda. Termasuk yang perempuan, yang jauh lebih kapabel dan mengerti persoalan persoalan politik Indonesia, Mereka juga sangat kreatif. Mereka itu yang harus banyak memainkan peranan. Saya lebih baik memainkan peranan di bidang humaniter sosial. (IM.Soemarsono).


Leuven, 21 Agustus 2000. webmaster