ORANG-ORANG INDONESIA GERAKAN PERLAWANAN DI NEDERLAND

Pada bulan Juni 1941 Sicherheidsdienst dari kaum nazi mengadakan penggeledahan di berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan Indonesia -- "Perhimpunan Indonesia". Dua di antara mereka tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan F. Lubis, sedangkan yang lain dapat meloloskan diri. Pagi-pagi hari tanggal 18 Januari 1943 SD mengadakan penggeledahan kembali di tempat tinggal orang-orang Indonesia di Den Haag. Mereka menangkap dua orang mahasiswa dan dua orang buruh: R.M. Mun Sundaru, R.M. Djajeng Pratomo, Kajat dan Hamid. Empat orang tawanan ini diseret dari kamp konsentrasi yang satu ke kamp yang lain: Schoorl, Amersfoort, Vuhgt, Neugamme, Buchenwald, Oranienburg-Saxenhausen, Dachau. Dua orang dari mereka tewas karena siksaan dan penderitaan di kamp-kamp tersebut:

Sidartawan di Dachau dan Mun Sundaru di Neugamme. Pada tanggal 13 Januari 1945, mahasiswa muda Indonesia R.M. Irawan Sujono di Leiden mengangkut perlengkapan stensil yang baru saja direparasi untuk mencetak penerbitan-penerbitan ilegal. Ia bertemu dengan pasukan SS yang sedang melakukan razzia. Irawan berusaha melarikan diri, tapi dengan tak semena-mena ia ditembak mati. Yang menjadi korban ini adalah putra Raden Ario Adipati Sujono, menteri Indonesia pertama dalam pemerintah Belanda di London. Irawan adalah anggota grup perlawanan bersenjata dari Perhimpunan Indonesia.

Beberapa orang tersebut di atas adalah dari grup kecil orang-orang Indonesia di Belanda, k.l. 100 orang. mereka sebagai anggota Perhimpunan Indonesia, organisasi politik yang terlarang dan bekerja di bawah tanah, berjuang bahu-membahu dengan pejuang-pejuang perlawanan Belanda. Mengenai grup perlawanan Indonesia ini tidak banyak ditulis. Orang-orang Belanda generasi muda samasekali tidak mengetahui akan hal ini. Sebabnya tidak sulit dikaji. Pertama-tama , kebanyakan dari orang-orang Indonesia yang pernah ambil bagian dalam perlawanan ini telah pulang ke Indonesia segera sesudah perang selesai. Kedua, sesudah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terjadilah persengketaan yang sengit antara Belanda dan Indonesia. Hal ini menyebabkan perang antara Belanda dan Republik yang masih muda ini. Pada 1942 R.M. Sunito, salah seorang pimpinan pejuang-pejuang perlawanan Indonesia masa pendudukan Jerman, ditangkap oleh justisi Belanda dan diusir dari Belanda.

Sedangkan Sunito bahkan telah diangkat menjadi anggota Komisi Penasihat Nasional atas rekomandasi organisasi gerakan ilegal.+}

Jelaslah bahwa dalam keadaan yang demikian ini tidaklah cocok dalam kesempatan-kesempatan peringatan pembebasan Nederland juga memperingati perlawanan di bawah tanah dari grup kecil orang-orang Indonesia.

Mengapa orang-orang Indonesia ikut ambil bagian dalam gerakan perlawanan

Sering diajukan pertanyaan, terutama oleh orang-orang muda, mengapa orang-orang Indonesia di Belanda ambil bagian dalam gerakan perlawanan di bawah tanah untuk pembebasan Nederland, negeri yang menjajah, mengeksploitasi dan menindas Indonesia, negeri tumpah darah mereka? Untuk memahami soal ini perlulah kiranya mengenal sedikit tentang sejarah. Untuk mengikuti jejak langkah saudara-saudara setanahairnya di negeri tumpah-darah , pada 1908 mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan perkumpulan untuk dapat menyatakan ide-ide Gerakan Nasional (Indonesia Merdeka). Pada 1922 perkumpulan tersebut diberi nama "Perhimpunan Indonesia". Pada tahun-tahun tiga puluhan Perhimpunan Indonesia menjadi salah satu organisasi yang paling penting bagi orang-orang Indonesia di Belanda.

Kemudian PI merupakan inti daripada gerakan perlawanan anti-fasis bagi orang-orang Indonesia. Pada mulanya, semboyan perjuangan Perhimpunan Indonesia yalah: INDONESIA MERDEKA. Ide non-koperasi, yaitu menonak kerja sama apa pun dengan kekuasaan penjajah (kaum berkuasa penjajah ) -- menjadi asas pembimbing organisasi itu. Oleh pemerintah Belanda Perhimpunan Indonesia dinyatakan terlarang bagi pegawai dan calon pegawai (ambtenar atau calon ambtenar). Mengingat bahwa kebanyakan dari mahasiswa Indonesia di kemudian hari akan terpaksa harus bekerja pada "Pemerintah Hindia" di "Hindia Belanda", maka larangan ini berarti bahwa kebanyakan mahasiswa hanya bisa secara rahasia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Itulah sebabnya, maka organisasi ini terpaksa bekerja setengah ilegal demi keselamatan anggota-anggotanya.

Timbulnya fasisme.

Pada waktu fasisme mulai menongolkan kepalanya pada tahun-tahun tiga puluhan, orang-orang Indonesia telah menyadari bahwa dari sudut itulah akan datang bahaya besar yang mengancam. Ini dibuktikan oleh dikatatur-diktatur fasis di berbagai negeri dengan rencana-rencananya yang agresif, dengan pogrom, kebencian ras dan penindasan atas tiap hak manusia. Negara-negara yang agresif ini menaruh hasrat tamaknya pada negeri-negeri koloni. Jepang memulai dengan perang-penaklukannya: menaklukkan Manchuria pada tahun 1931 dan menyerang Cina pada tahun 1937. Hitler memperoleh kekuasaan di Jerman; di situ orang-orang Yahudi, kaum Komunis , sosialis dan demokrat lainnya dipersekusi. Dengan dianeksasinya Austria oleh Hitler, maka tidak hanya bahaya fasisme menjadi lebih serius, melainkan bahaya perang juga menjadi amat besar. Orang-orang Indonesia di Belanda melihat bahaya ini dengan jelas. Itulah sebabnya maka mereka waktu itu dengan aktif mengambil bagian dalam manifestasi-manifestasi menentang ancaman fasisme dan untuk perdamaian. Mereka mengorganisasi a.l. bantuan kepada Cina yang menjadi korban agresi Jepang.Mereka ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan internasional untuk perdamaian, a.l. fi Brussel, Paris dan New York. Juga di Indonesia sendiri kaum nasionalis melihat bahaya fasisme itu. Mereka menyatukan diri. Asas "non-koperasi" ditinggalkan. Gerakan nasional menyatakan diri siap untuk bekerja sama dengan siapa pun untuk menanggulangi serangan fasis. Namun mereka beranggapan bahwa kerjasama itu harus dilaksanakan atas dasar demokrasi penuh dan sama derajat. Sehubungan dengan itu dituntut a.l. adanya parlemen yang sempurna untuk Indonesia. Sesuai dengan sikap ini dikatakan dalam prakata dari nomor peringatan majalah Perhimpunan Indonesia dalam kesempatan ultah ke-30 berdirinya pada tahun 1938

"Dewasa ini, di mana hal yang paling berharga daripada peradaban manusia -- demokrasi -- menghadapi serangan dahsyat oleh mereka yang hendak 'menyelamatkan' manusia dengan progrom dan kekerasan yang kejam, maka suatu kerjasama antara rakyat Indonesia dan gerakan nasionalnya dengan mengemban tradisi demokrasi Belanda, diinginkan dan perlu, suatu kerjasama antara dua rakyat yang berpijak atas persamaan dan saling menghargai

Pengurus Besar Perhimpunan Indonesia menyatakan dalam nomor peringatan yang sama sbb

"Di tahun-tahun belakangan ini agresi fasis mengancam Belanda dan Indonesia. Satu-satunya jalan yang dapat membebaskan kedua rakyat ini dari bahaya yang mengancam mereka yalah adanya kerjasama antara rakyat Indonesia dan gerakan Nasionalnya dengan Belanda yang demokratis atas dasar persamaan dan saling menghargai. Dengan kesadaran bahwa suatu rakyat tak dapat memenuhi kewajibannnya tanpa adanya hak-hak demokrasi, maka Perhimpunan Indonesia berjuang untuk perubahan-perubahan demokratik dan untuk melakukan yang sama bagi kedua rakyat di bidang ekonomi, politik dan militer.

Sayang, semua keinginan yang adil dari Gerakan Nasional ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Belanda pada masa itu. Dalam hubungan ini sikap pemerintah Belanda yang mengungsi ke London itu mengejutkan. Menteri Indonesia Sujono yang telah disebut di atas, di dalam Sidang Kabinet bulah Oktober 1942 sampai tiga kali dengan berapi-api meminta kepada menteri-menteri lainnya untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada Indonesia. Permintaan ini dijawab dengan angkuh "TIDAK". Menurut saksi mata, menteri Sujono waktu itu menjadi pucat pasi. Penolakan ini rupanya begitu menusuk hatinya sampai ia beberapa bulan kemudian meninggal mendadak pada 5 Januari 1943. Dua tahun kemudian putranya, Irawan, ditembak mati oleh SS di Leiden.

Nederland diduduki

Serangan mendadak oleh nazi Jerman atas Nederland merupakan fase baru bagi perjuangan orang-orang Indonesia. Sebagai orang-orang demokrat mereka menyadari bahwa nasional-sosialisme pada saat itu adalah musuh utama. Di bawah nazi-isme pembebasan bagi rakyat-rakyat yang dijajah tidaklah mungkin dicapai! Karena itu perlulah berjuang melawan fasisme dengan menggalang kerjasama dengan siapa pun, dengan tidak pandang kepercayaan politik mau pun agama. Itulah sebabnya mengapa Perhimpunan Indonesia menggabungkan diri ke dalam gerakan perlawanan di bawah tanah di Belanda. Tugas-tugas yang dipikul Perhimpunan Indonesia dalam pekerjaan perlawanan ini mempunyai banyak segi. Pertama-tama dipandang perlu untuk menyadarkan sebanyak mungkin orang Indonesia -- terutama yang di luar Perhimpunan Indonesia, baik mahasiswa mau pun buruh akan bahaya fasisme, dan mendorong mereka untuk ambil bagian dalam gerakan perlawanan. Dengan didudukinya Belanda, kapal-kapal Rotterdamse Lloyd dan Maatschappij Nederland tidak bisa lagi berlayar keluar. Awak kapal dari kapal-kapal ini kebanyakan terdiri dari pelaut Indonesia. Perhimpunan Indonesia menganggap sebagai tugasnya untuk mencegah jangan sampai pelaut-pelaut yang terdampar di Rotterdam dan Amsterdam itu jatuh di tangan kaum nazi dan akan digunakan untuk tujuannya yang fasistis. Karena itu diperlukan pekerjaan penerangan yang intensif untuk para pelaut tsb. yang sebagian besar buta huruf. Supaya merka tidak terperosok ke dalam perangkap propaganda Jerman dan NSB. Perhimpunan Indonesia berhasil menghindarkan mereka dari cengkeraman nazi. Sementara dari awak-awak kapal itu kemudian juga aktif ambil bagian dalam gerakan perlawanan.

Pemogokan mahasiswa

Perhimpunan Indonesia mempunyai cabang-cabangnya di kota-kota universitas-universitas dan sekolah-sekolah tinggi: Amsterdam, Leiden, Untrecht, Delft, Rotterdam, Wageningen dan juga di Den Haag. Pada hari Sabtu tanggal 23 November 1940, mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tehnik Tinggi di Delft memutuskan untuk mengadakan pemogokan untuk menentang pemecatan guru-guru besar dan dosen-dosen Yahudi, a.l. Prof. Josephus Jitta, Prof. Waterman dan Prof. Dantzig. Tapi banyak mahasiswa yang sudah pulang sebelum akhir minggu. Senin pagi tanggal 25 November para mahasiswa yang mengetahui tentang semboyan pemogokan itu (di antaranya orang-orang Indonesia dari Perhimpunan Indonesia) menunggu mereka yang pulang pada akhir minggu di pintu gerbang sekolah, di perhentian-perhentian trem dan di stasion, untuk mendorong mereka menggabungkan diri dalam pemogokan. Pemogokan itu praktis menjadi pemogokan umum. Jerman STT itu. Dalam bulan Desember menyusul suatu razzia di kalangan mahasiswa Delft. Orang-orang Indonesia anggota Perhimpunan Indonesia menghindarkan diri. Di Leiden terjadi pemogokan mahasiswa pada Selasa 26 November, menentang pemecatan guru-guru besar Yahudi, a.l. Prof. Meijers. Pemogokan di sini juga menjadi pemogokan umum. Juga di sini kaum nazi membalasnya dengan menutup universitas. Orang-orang Indonesia di sini yang ambil bagian aktif dalam aksi-aksi protes a.l. adalah R.M. Sunito, R.M. Maruto Darusman, R.M. Setiadjit, R.M. Sidartawan, F. Lubis, M. Ildrem

Kerjasama dengan pers di bawah tanah

Pada waktu itu juga mulai diadakan kerjasama yang erat antara grup-grup perlawanan Indonesia dengan penerbitan-penerbitan di bawah tanah, seperti "De Vrije Katheder", "Vrij Nederland", "Het Paroool", "De Waarheid". Sudah sejak dari mulanya R.M.

Setiadjit merupakan seorang dari redaksi "De Vrije Katheder". Mahasiswa-mahasiswa Indonesia membantu menyebarkan penerbitan ini di Amsterdam, Leiden, Den Haag, Delft, Rotterdam, Utrecht dan Wageningen. Kemudian orang-orang Indonesia juga menulis artikel-artikel dalam penerbitan-penerbitan itu, a.l. dalam nomor-Indonesia dari "Vrij Nederland"'. H.M. Randwijk, kepada redaksi "Vrij Nederland" waktu itu, menulis pada 25 Mei 1945 tentang kerjasama dengan orang-orang Indonesia dalam gerakan perlawanan sbb.

".... di dalam tahun-tahun pendudukan yang gelap itu, yang sekarang telah lewat, tumbuh di antara kami suatu kerjasama atas dasar persamaan dan keakraban kawan. Kami semua adalah sukarelawan dalam pasukan di bawah tanah yang sama. Kami saling belajar untuk lebih mengerti satu sama lain, dan kami menyadari bagaimana kami bersama-sama berjuang, masing-masing di posnya sendiri, untuk ide-ide yang sama, yaitu kebebasan, kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Semoga pengalaman dan asas-asas luhur ini akan membimbing kita dalam kerjasama baru di kemudian haru antara dua rakyat

Bagian perlawanan dari Perhimpunan Indonesia di Rotterdam memiliki percetakan rahasia yang ditempatkan di sebuah rumah di Aelbrechtskade. Di situlah dicetak dan disebarkan untuk Rotterdam, selain penerbitan perlawanannya sendiri -- "De bevrijding" (tentang ini akan lebih banyak diuraikan kemudian) -- dan selebaran-selebaran, juga "De Vrije Katheder". Pada suatu waktu, karena berbagai penangkapan, "De Waarheid" di Rotterdam yang ilegal itu tidak bisa terbit, orang-orang Indonesia diminta apakah mereka dapat mencetaknya. Permintaan itu segera dipenuhi. Hal yang sama juga terjadi di Amsterdam. Orang-orang Indonesia menerima ketikan stensil di jalan dan "De Warheid" dicetak oleh mereka di sebuah tempat tingal di Amsterdam Selatan. Koran yang sudah dicetak dimasukkan kopor dan diserahkan ke alamat di Stadionweg. Pekerjaan ini dilakukan oleh oleh orang-orang Indonesia selama tiga sampai empat bulan.

Penerbitan perlawanan kepunyaan sendiri

Akhir Mei 1943, segera sesudah adanya kewajiban menyerahkan pesawat radio, Perhimpunan Indonesia di Den Haag, bersama dengan beberapa pejuang perlawanan Belanda, memutuskan untuk menerbitkan secara ilegal surat kabarnya sendiri: "Feiten".

Karena pengkhianatan , Sicherheits polizei dapar menangkap tiga orang anggota redaksi dari surat kabar tsb., di antaranya Drajat Durmakeswara. Ia kemudian dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Ia masih hidup keluar dari perang. Penerbitan "Feiten" harus dihentikan. Namun dua bulan kemudian orang-orang Indonesia menerbitkan lagi penerbitan perlawanannnya sendiri: "Pembebasan", semua di Leiden, kemudian juga di Den Haag dan Rotterdam. Tiap kota mempunyai redaksinya sendiri yang menyusun penerbitannya sendiri. Hanya editorial yang penting kadang-kadang diambil oleh kurir dari redaksi pusat di Leiden. Di Rotterdam, dengan bantuan seorang pejuang perlawanan Yahudi di bawah tanah, redaksi dapat mendirikan pos pendengaran radio di sebuah rumah di Burgemeester Meineszlaan, dengan demikian redaksi menerima berita-berita terakhir dari kaum sekutu.

Kerjasama juga dilakukan dengan penerbitan perlawanan "Trouw". Di Leiden mahasiswa-mahasiswa Indonesia membantu pengangkutan huruf cetak timah yang berat ke percetakan. Mengingat bahwa orang-orang Indonesia dasarnya bukan orang-orang yang tegap kuat, maka untuk dapat melakukan pekerjaan yang berat itu tanpa menimbulkan kecelakaan, mereka harus melakukan olahraga dengan giat lebih dulu.

Perlawanan bersenjata

Grup perlawanan Indonesia di Roterdam menyadari benar-benar, bahwa jika mereka kedapatan oleh Jerman, maka akan habislah riwayatnya. Tambahan lagi ada seorang di antara mereka di Den Haag yang tertangkap sehubungan dengan kegiatan-kegiatan perlawanan yang lain. Karena itu mereka memutuskan untuk mempersenjatai diri. Seorang dari mereka itu, T. Mudadalam Jusuf, dudul dalam K.P. Nederland. Bersama dengan teman-teman seperjuangan orang-orang Belanda, ia berhasil melakukan penyergapan terhadap suatu pos polisi, di mana mereka dapat merebut empat pistol Walther. Kemudian orang-orang Indonesia di Rotterdam mendapat lebih banyak senjata dari teman-teman seperlawanan Belanda, a.l. dua karaben dan lima pistol lengkap dengan pelurunya.

Senjata-senjata ini berasal dari serdadu-serdadu Wehrmacht yang sudah jemu perang dan menghilang dan bersembunyi di tempat-tempat orang Belanda. Orang-orang Indonesia mendapat latihan menggunakan senjata-senjata itu dari seorang dari mereka, seorang "Gefreiter". T. Mudadalam Jusuf juga ambil bagian dalam penyergapan pada suatu kantor-distribusi kupon bahan makanan di Den Haag. Penyergapan itu dilakukan dengan bersepeda. Pada awalnya aksi itu berhasil, tetapi karena orang-orang perlawanan itu bersepeda, maka tidak dapat dengan cepat melarikan diri, sehingga mereka dapat disergap oleh Jerman di tempat mereka berkumpul. Mudadalam Jusuf dapat meloloskan diri dengan membawa serta parabellumnya sendiri, sebuah pistol-FN dan sebuah granat tangan. Kemudian Perhimpunan Indonesia grup Rotterdam, dengan menempuh banyak bahaya dan risiko, dapat dengan gerobak-sepeda mengambil sembilan karung goni granat tangan, stengun-stengun yang sudah dibongkar dengan pelurunya dari Watergeusstraat, tempat seorang perlawanan Belanda yang telah kehilangan hubungan. Senjata-senjata tsb. berasal dari pendropan R.A.F

Pada bulan September 1944, di Leiden diputuskan untuk mendirikan Seksi Mahasiswa darie Kekuatan Bersenjata Dalam negeri Leiden. Seksi ini terdiri dari empat grup. Grup ke-empat terdiri dari khusus mahasiswa-mahasiswa Indonesia di bawah pimpinan "Theo", nama samaran mahasiswa Indonesia, anggota Perhimpunan Indonesia, lex Ticoalu. Persediaan senjata yang dikumpulkan oleh grup perlawanan Indonesia Rotterdam, harus dipindahkan ke Leiden. Semua itu harus dilakukan dengan bersepeda, melalui jalan-jalan sepi dan lorong-lorong dan melalui pos-pos pemeriksaan Jerman. Sesudah bersepeda berhari-hari berhasillah berpuluh-puluh stengun, dua karung goni granat tangan, pistol-pistol dengan pelurunya diangkut dari Rotterdam ke Leiden tanpa menemui aral rintangan. Di Leiden orang-orang Indonesia mengadakan latihan-latihan di ruang bawah pabrik wol dan lakan, dan di Amsterdam di rumah tunangan seorang Indonesia di Amstelkade. Grup pejuang bersenjata Indonesia mula-mula diberi nama "Suropati", seorang pahlawan dalam perjuangan pembebasan Indonesia. Kemudian, waktu seorang anggotanya, Irawan, ditembak mati oleh Jerman, mana nama itu diubah menjadi "Irawan", sebagai pernyataan hormat kepada pejuangan perlawanan ini.

Bantuan kepada orang-orang Yahudi

Berbagai bagian dari Perhimpunan Indonesia, mengatur kesibukannnya dengan membantu secara intensif orang-orang dari gerakan perlawanan dan orang-orang Belanda Yahudi yang dicari kaum nazi. Mereka menyiapkan alamat-alamat persembunyian, a.l. di Rotterdam, Delft, Den Haag dan Leiden, menyediakan kupon bahan makanan dan kartu pengenal. Demikianlah pada tahun-tahun 1842-43 dua rombongan anak-anak Yahudi di bawah oleh orang-orang Indonesia dari Amsterdam ke hutan-hutan Veluwe dan diurusnya. Empat puluh tahun kemudian, secara kebetulan, berjumpalah seorang dari anak-anak itu -- dalam pada itu ia sudah menjadi dokter -- dengan seorang dari orang-orang Indonesia yang telah menyelamatkannya dulu.

Gambaran ringkas

Dengan tulisan ini diusahakan untuk memberikan gambran secara ringkas tentang sumbangan yang diberikan oleh sekelompok orang Indonesia kepada gerakan perlawanan di bawah tanah, dengan demikian juga kepada pembebasan Nederland. Ilustrasi ini jauh daripada sempurna. Ini hanya memberikan kesan tentang perlawanan orang-orang Indonesia, khususnya tentang grup perlawanan dari Perhimpunan Indonesia. Sebagai tanda pengakuan atas pekerjaan perlawanan ini dimasukkanlah orang-orang Indonesia ke dalam Komisi Penasihat Agung Ilegalitas (R.M. Setiatjit) dan ke dalam Komisi Penasihat Nasional (R. M. Sunito). Di Leiden, R.M. Hadiono Kusumo Utojo, karena jasa-jasanya dalam gerakan perlawanan, mendapat penghargaan dengan diangkatnya sebagai anggota dewan gemeente darurat Leiden pada tahun 1945. Segera sesudah pembebasan, pada 25 Mei 1945 ulangtahun ke-37 Gerakan Nasional Indonesia diperingati dan Stadsgehoorzaal di Leiden. Dalam pertemuan ini juga berbicara Prof. Mr. R. P. Cleveringa yang pada bulan November 1941 memberikan sinyal untuk melakukan protes keras atas pemecatan teman-teman sejawatnya orang-orang Yahudi. Dalam pertemuan peringatan itu ia mengatakan a.l.

"Kalau kita berbicara tentang gerakan perlawanan di Nederland ini, kita tidak perlu bertanya: Di manakah orang-orang Indonesia berada? Mereka ada dan berdiri di posnya. Mereka telah memberikan pengorbanannya. Mereka berada di kamp-kamp konsentrasi, mereka berada di penjara-penjara, mereka berada di mana-mana.

R.M. Djajeng Pratomo


Leuven, 21 Agustus 2000. webmaster