PI (Perhimpunan Indonesia) Dan Nasionalisme Dari Atas

(Ringkasan buku John Ingleson, "Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan," yang berjudul asli "Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist.")

Berbeda dengan para pemuda di tanah air yang nasionalismenya berkobar sebagai akibat menghadapi 'musuh' yang nyata, baik itu Sekutu/Belanda maupun para antek-anteknya (dalam revolusi sosial), seperti kita lihat dari buku Revoloesi Pemoeda-nya Pak Ben, nasionalisme yang tumbuh dalam diri para pemuda yang tergabung dalam PI (Perhimpunan Indonesia) bisa dikatakan sebagai nasionalisme dari atas. Dikatakan 'dari atas' karena lebih banyak dipengaruhi oleh paham-paham/isme-isme yang mereka pelajari selama di Belanda daripada oleh pengalaman konkret di lapangan. Memang, beberapa pemuda seperti Hatta dan Sutomo pernah terlibat dalam aktivitas politik di tanah air (Hatta di Jong Sumatranen Bond dan Sutomo di Budi Utomo) tetapi pergaulan internasional mereka itulah yang lebih banyak menentukan. Selain itu, ada pula beberapa faktor pendorong lain, yang akan dibahas nanti.

Pergeseran-Nama dan Keanggotaan

Kesadaran nasionalisme ini tampak dalam perubahan nama yang mereka pakai. PI bermula dari sebuah perkumpulan sosial bernama IV (Indische Vereeniging) yang terdiri dari mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri Belanda, tempat para mahasiswa itu bergosip politik tanah-air. Berdiri pada tahun 1908, kelompok ini masih bisa dikatakan moderat sampai lima tahun kemudian. Baru setelah para pemimpin Indische Partij pada tahun 1913 dibuang ke Belanda (dr. Tjiptomangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Surjo-ningrat), IV berkenalan dengan konsep 'Hindia bebas dari Belanda.' Secara perlahan IV pun mengarah ke politik, ditandai dengan diterbitkannya jurnal Hindia Poetra pada tahun 1916, dan menjadi lebih tajam dengan kedatangan para tokoh PKI seperti Darsono, Semaun, dan Abdul Muis pada tahun 1920. Ketika pada tahun 1917 mereka bergabung dengan Chung Hwa Hui (organisasi mahasiswa Indonesia-Cina), mereka memberi nama federasi ini dengan Indonesische Verbond van Studeerenden (Persatuan Mahasiswa Indonesia). Kata Indonesia memang sudah dipakai, tetapi belum mempunyai makna politik positif.

Anggotanya tidak banyak, hanya sekitar 30-an (pada tahun 1926 saja anggotanya hanya 36 orang). Namun pengalaman di Belanda ini, yang nota bene memberi wawasan baru dan pengalaman hidup di tengah masyarakat yang lebih terbuka, berpengaruh besar terhadap diri para anggotanya, yang kebanyakan masih berusia 20-an.

Anggotanya antara lain Iwa Kusumasumantri (lahir 1899), Moh. Nasir Datuk Pamuntjak (1897), Hatta (1902), Sutomo, Sartono (1900), Ali Sastroamidjojo, Budiarto, Iskaq, J.B. Sitanala (1899), Darmawan Mangunkusumo (1901), Sastromuljono (1898), Gatot Mangkupradja (1898), Subardjo (1897) dll. Mereka kebanyakan memang berasal dari keluarga terpandang atau elit tradisional di Indonesia.

Pada tahun 1923 Iwa Kusumasumantri menjadi ketuanya. Pada masanya inilah (1924) IV berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau PI, sedang jurnalnya berubah dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Kata Indonesia sudah secara sadar dipakai untuk maksud politis. Kesadaran ini muncul justru oleh pengaruh keberanian Belanda melawan Spanyol dalam sejarah. Setahun kemudian (Januari 1925) IV (baru) ini resmi menjadi organisasi politik yang radikal dan sebulan kemudian nama PI-lah yang dipakai.

Ideologi, Program, dan Strategi

Pandangan-pandangan PI ini banyak terungkap dalam jurnal Indonesia Merdeka yang mereka terbitkan. Dalam hal ini Mohammad Hatta banyak berpengaruh. Ia memang banyak belajar dari lingkungan intelektual Eropa, lebih-lebih ide-ide Marxis-Leninis (karena penjelasannya yang meyakinkan tentang situasi penjajahan dan karena menggunakan filsafat determinisme historisnya). Ketiga pemimpin Indische Partij tadi pun banyak berpengaruh padanya. Dari pengaruh-pengaruh inilah ia menanamkan ide nasionalisme ke tubuh PI, yaitu nasionalisme yang bebas dari batasan agama dan komunisme. Ada empat tujuan politik: kesatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi, dan swadaya.

Untuk ini mereka mengembangkan kesadaran akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta menyetujui pandangan tentang persamaan hak dan pemerintahan rakyat. Peran intelektual pun diperlukan. Meski demikian, Ingleson mencatat bahwa mereka -karena latar belakang keluarga- tidak mengembangkan analisis kelas, melainkan mendorong perjuangan ras. (Hatta baru menganjurkan pembinaan kesadaran kelas pda tahun 1928-1929.) Selain itu mereka pun berprinsip untuk tidak memakai jalan kekerasan dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan, kecuali jika keadaan sangat memaksa. Karena itu, untuk memperoleh kemerdekaan, rakyat harus diorganisasi untuk menyusun aksi massa.

Sehubungan dengan masa depan Indonesia, PI, dalam rapat tanggal 7 dan 28 Maret 1926 (pada waktu Hatta menjadi ketuanya) menyetujui bentuk negara kesatuan; meski tidak sedikit yang lebih menginginkan negara federal (termasuk Hatta) mengingat beragamnya kebudayaan. Dalam bidang ekonomi tidak ada usulan pasti meski sudah pada masa itu Hatta mengusulkan suatu bentuk berdasar sistem koperasi, meniru model Eropa, yang cocok dengan bentuk gotong-royong di Indonesia. Selain itu, yang menjadi perdebatan ramai adalah boleh-tidaknya alumni PI menduduki jabatan pegawai negeri, mengingat banyak mahasiswa dibiayai pemerintah. Karenanya, hal ini lalu diserahkan kepada masing-masing individu.

Kegiatan mereka tidak hanya berdiskusi. Ada strategi lain untuk memperoleh kemerdekaan sekaligus menanamkan 'ideologi' nasionalisme ini. Yang pertama adalah menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda yang bersimpati serta dengan organisasi-organisasi internasional. Mereka ingin mempropagandakan tuntutan Indonesia, menandingi propaganda Belanda tentang Indonesia bahwa tanah jajahan belum siap merdeka. Mereka ingin pula menunjukkan bahwa mereka ini mempunyai ideologi yang masuk akal dan mempunyai pengikut di Indonesia.

Selain membina hubungan dengan organisasi-organisasi mahasiswa Asia lainnya di Eropa, PI juga membina hubungan dengan Asosiasi Mahasiswa Cina-Indo di Paris, Communistische Partij Nederland (Partai Komunis Belanda), dan organisasi-organisasi yang disponsori Comintern yang nota bene mendukung gerakan nasionalis nonkomunis di Asia. Bahkan, PI sempat mempunyai wakil di Comintern pada tahun 1925, yaitu Iwa dan Semaun. PI pun mengirim delegasi ke kongres 'Liga menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial' di Brussels pada bulan Februari 1927. Atas pengaruh hubungan dengan organisasi-organisasi internasional inilah mereka menyatakan maksud untuk memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur hukum. Tetapi, ketika sesudah tahun 1928 tampak bahwa Comintern ingin memanfaatkan organisasi-organisasi nonkomunis untuk tujuannya sendiri, keterlibatan PI mengecil dan kemudian mundur, selain karena kemerosotan PI sendiri.

Yang kedua adalah menjalin komunikasi dengan tanah-air sambil menyusupkan mantan anggota PI yang telah kembali ke dalam partai-partai yang ada di Indonesia. Misalnya, Sudjadi, Iskaq, dan Singgih masuk ke Budi Utomo, Sukiman ke Sarekat Islam. Di samping itu, Hatta juga menjalin hubungan dengan Semaun sebagai 'wakil' PKI.

Penyebaran paham nasionalisme itu pun dilakukan dengan menyebarkan jurnal 'Indonesia Merdeka' secara sembunyi-sembunyi. Dengan cara inilah kemudian artikel-artikel yang ada di dalamnya didiskusikan para mahasiswa Batavia dan Bandung.

Yang agak memprihatinkan dalam hubungan dengan strategi kedua ini adalah kenyataan bahwa banyak mantan PI tidak banyak aktif lagi di bidang politik. Mereka lebih tertarik untuk membina karier dalam profesi mereka sendiri. Tetapi karena ternyata di antara mereka ada yang ingin meneruskan rasa persatuan dalam perjuangan, dibentuklah kelompok-kelompok studi di beberapa kota besar, sekaligus sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap partai-partai politik yang ada. Setelah sebuah kelompok studi didirikan di Surabaya pada bulan Juli 1924, pada bulan November 1924 berdiri Kelompok Studi Umum. Kelompok studi ini menolak keanggotaan orang PKI karena pada waktu itu PKI sedang ditekan oleh pemerintah. Penolakan ini sempat menggusarkan Hatta, yang ingin menyatukan partai-partai yang bertujuan sama: kemerdekaan. Sekitar waktu itu pula Hatta menerima usulan Sudjadi untuk mendirikan partai baru, yang akan dinamai Nationaal Indonesische Volkspartij (Partai Rakyat Nasional Indonesia).

Kala pemberontakan PKI 1926 gagal dan PKI kemudian 'diberangus', rencana mendirikan partai baru memperoleh dorongannya karena ada kekosongan dalam gerakan kebangsaan. Partai ini direncanakan sebagai partai nasionalis yang tidak berdasarkan komunisme maupun agama (Islam). (Pada saat-saat ini pula Semaun mengajukan rencana mendirikan partai berdasar prinsip nonkooperasi dan swadaya yang lebih 'radikal' dan condong ke komunisme.

Karena ini Hatta menolaknya, tetapi sempat membuat konvensi dengan Semaun atas nama PI dan PKI (5 Desember), tanpa sepengetahuan pengurus PI dan Comintern, sehingga dibatalkan Comintern dua minggu kemudian.) Rencana pendirian partai baru itu sendiri dilaksanakan oleh kelompok pemuda nasionalis di Bandung yang tergabung dalam Kelompok Studi Umum, meski bersikap melepaskan diri dari PI dan usulan Hatta yang dipandang terlalu moderat.

Selain itu, ada perbedaan strategi antara Hatta dengan Kelompok Studi Umum. Hatta lebih berorientasi partai kader, yang mendidik kader yang setia dan sadar politik sebagai basis suatu organisasi massa. Sementara itu Kelompok Studi Umum, yang dimotori oleh Sukarno dan Sartono, lebih memilih orientasi partai massa yang digerakkan dengan agitasi-agitasi. Meski strategi berbeda, sebenarnya mereka mempunyai tujuan dan ideologi yang sama. Kemudian, pada tanggal 4 Juli 1927 akhirnya PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) resmi diumumkan.

PNI ini mempunyai ideologi yang sama dengan yang dikembangkan PI, tetapi dengan formulasi dan strategi yang berbeda.

Karena melihat bahwa PI berhubungan erat dengan Comintern, pemerintah Hindia Beanda dan Menteri Jajahan cemas. Mereka lalu mengambil tindakan mengancam mencabut beasiswa para mahasiswa yang giat berpolitik serta memperingatkan orang-tua mereka. Untuk menghindari tekanan ini, PI pada tahun 1927 membuat pengurus 'bayangan' dengan menyembunyikan mahasiswa yang mendapat beasiswa pemerintah. Selain itu mereka membentuk Fonds Nasional untuk membantu mahasiswa PI yang dicabut bantuan finansialnya, baik dari orang-tua maupun dari pemerintah. Fonds ini berasal dari para almuni PI yang telah bekerja. Bahkan, dari Fonds ini pula kegiatan PI seperti propaganda, pengiriman delegasi, dan penerbitan 'Indonesia Merdeka' dibiayai.

Akibat kecurigaan terhadap PI makin kuat, pada 10 Juni 1927 diadakan penggeledahan di penginapan beberapa tokoh PI, yang dilanjutkan dengan penangkapan-penangkapan pada tanggal 27 September. Aksi penangkapan ini diprotes oleh partai-partai nasionalis di Indonesia seperti PNI, PSI, dan Budi Utomo. Mereka ini kemudian mengumpulkan sumbangan (terkumpul 2000 gulden!) untuk membayar pengacara yang akan membela mahasiswa yang ditangkap itu (tetapi ternyata pembelanya, J.E.W Duijs tidak mau dibayar juga). Pada bulan Maret 1928 mereka itu diadili, dan di sini Hatta membacakan pembelaannya yang terkenal itu: Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), dan kemudian mereka dibebaskan.

Rupanya, peristiwa-peristiwa itu menjadi 'puncak karir' PI, karena sesudah itu tanda-tanda kemunduran makin terasa, lebih-lebih ketika Hatta mundur sebagai ketua pada bulan Februari 1929. Meski begitu Hatta tetap menghadiri rapat-rapat, di tengah keprihatinannya melihat perkembangan PNI di Indonesia yang didominasi oleh Sukarno dengan gaya agitasi dan aksi masa-nya. Dalam hal ini Sjahrir, yang datang tahun 1929 pada umur 20 tahun, menjadi kawan dekatnya karena sama-sama berpandangan sosialis demokratis. Kemunduran PI mencapai puncak ketika pada bulan November 1931 Hatta dan Sjahrir dipecat sebagai anggota. Pada waktu itu PI sudah dikuasai oleh pihak komunis, di bawah Rustam Effendi. Duet Hatta-Sjahrir ini kembali bangkit di Indonesia, nantinya, ketika mereka mengambil alih kepemimpinan PNI Baru pada akhir tahun 1931. Sementara itu PI masih terus hidup sebagai organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda dan sebagai penyebar informasi dan propaganda Indonensia, tetapi tidak 'sebesar' jaman Hatta lagi.

Faktor-faktor Yang Berpengaruh

Faktor pertama yang mempengaruhi tumbuhnya PI adalah politik etis Belanda. Sambil 'membayar hutang moral' Belanda ingin mempersiapkan pejabat-pejabat yang mampu melanjutkan kepemimpinan Belanda di Hindia Belanda. Karena inilah pada awal abad ini banyak mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda.

Yang kedua adalah iklim intelektual dan politik Eropa yang 'membuka' mata mereka, dan memberi kesempatan untuk mengembangkan pengalaman politik yang sudah mereka miliki di Indonesia. Terlebih lagi, para mahasiswa yang sadar politik ini lalu saling berhubungan erat. Kemenangan Jepang atas Rusia memberi tambahan kepercayaan diri sebagai mahasiswa non-Eropa.

Yang ketiga adalah informasi dan suntikan 'semangat' dari tokoh-tokoh Indische Partij dan PKI yang dibuang ke Belanda. Dari merekalah tertanam ide-ide Indonesia merdeka, yang dapat digabungkan dengan ide nasionalisme dari pergaulan intelektual-politik mereka di Belanda itu. Dari mereka pula para mahasiswa PI ini mendapat informasi tentang 'ulah' Belanda di Indonesia, yang membuat mereka perlu memikirkan strategi-strategi baru.

Sementara itu, ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran. Yang pertama adalah semakin sedikitnya mahasiswa Indonesia yang datang ke Belanda. Sebabnya adalah sudah didirikannya beberapa lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, seperti Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (1920), Sekolah Tingngi Hukum di Batavia diubah menjadi Fakultas Hukum (1924), dan STOVIA menjadi Fakultas Kedokteran (1927). Selain itu, beasiswa memang dikurangi karena pemerintah tidak ingin para mahasiswa Indonesia ini menimba gagasan politik di Eropa.

Karena ini pula, dengan kepulangan banyak tokoh PI ke Indonesia, tidak cukup banyak mahasiswa yang 'kuat' sehingga akhirnya bisa 'diperalat' pihak komunis untuk tujuan komunis sendiri. Dengan ini 'kegalakan' politik PI menurun, tetapi toh telah berhasil mendorong suatu arus nasionalisme sekuler di Indonesia, suatu dasar dari arus utama gerakan kebangsaan setelah tahun 1927.


Leuven, 21 Agustus 2000. webmaster