Hersri Setiawan:
HADIAH ULANG TAHUN ANAK
"dimasyarakatkan kembali" catatan eks-tapol g30s-$uharto-CIA pulau buru
KATA orang Jawa, kalau anak cepat pandai berbicara, biasanya lambat pandai berjalan. Sebaliknya, kalau anak cepat pandai berjalan, biasanya lambat pandai berbicara.
Begitulah halnya, anak tunggal perempuan kami. Baru sekitar setengah tahun ia sudah pandai ceblang ceblung, berceloteh satu dua patah kata pendek dan sederhana: mama, oma, papa, opa, pipis, pup, ma-em dan semacamnya. Tapi memang benar. Baru sesudah lebih satu tahun, ia pandai berjalan tanpa perlu ditetah. Padahal sudah sejak enam bulan ia belajar berdiri dan rambatan di dalam boks. Anak ini memang lucu.
Bergolek terlentang, miring dan tengkurab, dan langsung berdiri merambat di kisi kisi boks. Ia tidak kenal kiat memberangkang. Tentu bukan karena Mama dan Papa nya yang selalu sadar diri, sebagai makhluk yang mampu berdiri tegakdan berjalan di atas kedua kaki sendiri. Mereka memang orang orang yang tidak suka merangkak rangkak, apalagi melata lata, di atas muka bumi dan di depan mata sesama manusia.
Tapi bukan. Bukan karena itu anak kami tidak mengenal kiat merangkak. Melainkan karena rumah kami yang terlalu kecil. Tidak ada jerambah yang cukup lapang untuk mengumbar anak, sehingga ia bisa berangkangan leluasa ke sana kemari. Lagi pula jerambah ruang tamu, yang sekaligus merupakan Ruang makan, yang sedikit tersisa, ubinnya terlalu dingin bagi daya tahan anak, yang tubuhnya masih terlalu peka terhadap berbagai macam pengaruh dari luar. Kami tinggal di pemukiman baru di Jakarta, yaitu di kawasan Tebet, bekas hutan buah buahan Yang mulai dibuka sejak Asian Games 1962. Namanya saja "tebet", logat Betawi untuk "tebat", kata lain untuk "rawa". Karena itu tentu saja lembab dan dingin udara yang menyelimuti kawasan ini.
Begitulah. Anak kami, pada umurnya yang baru bulanan itu, sudah bisa menghubungkan antara lambang lambang suara dengan bentuk sosoknya masing masing. Semuanya itu hari demi hari berulang dan bertambah, dan disimpannya dalam perbendaharaan jiwa dan ingatannya. Kami, mama dan papanya, bukan hanya menerima paham tabula rasa untuk ibarat anak kecil, tapi juga percaya pesan pepatah Jawa "janma tak kena kinira". Dan bahwa "janma" bukanlah monopoli orang orang dewasa dan tua saja. Juga anak anak ialah "janma", walaupun masih cilik. Tapi justru oleh kecilikannya itulah ia bebas dari segala rupa pamrih.
Karena itu kami, istriku dan aku, lalu bersama sama mengambil langkah. Menciptakan dunia lambang lambang di sekeliling anak. Tentu saja lambang lambang yang sederhana. Di boks dan di lantai, yang sempit itu, tidak hanya berserakan benda benda permainan. Tapi juga pensil atau kapur berwarna dan kertas kertas. Garasi yang berfungsi sebagai tempat jemuran dan "kandang" tujuh ekor kucing itu kami tutup. Lalu aku cat dengan warna abu abu muda. Dan Jitske, istriku, yang memang punya hobi melukis, melukisinya dengan lukisan panorama. Pohon, gubuk, hamparan sawah, gunung, dan burung burung di angkasa dalam warna warna yang mempertegas penyederhanaan bentuk. Bidang di bawah dibiarkan kosong, untuk ruang anak kami membuat corat coret. Kapur warna warni tersedia di sudut, dalam satu kotak.
Kadang kadang istriku, aku atau bersama sama, menyertai anak kami belajar mengenal dan membuat corat coret. Lambang lambang bentuk diselang seling dengan lambang lambing bunyi atau suara. Yaitu huruf huruf hidup dan mati yang paling banyak diucapkan sehari hari. Pada umur menjelang dua tahun anak kami sudah pandai membaca empat puluh lebih kata kata yang terdiri dari dua sukukata. O-m-a, o-p-a, m-a-m-a, p-a-p-a, t-i-t-i, a-d-i, o-o-g, o-o-r, s-l-a-ap, dan kata kata sederhana semacamnya.
Suatu hari Julia datang menengok kami. Ia membawa sebuah poketbuk, karangan seorang Amerika pengamat dan pendidik anak anak balita. Penulis ini membela pendapatnya bahwa, bertolak dari teori 'tabula rasa' yang tua itu, anak umur dua tahun
memang sudah siap menerima pelajaran mengenal huruf. Ia bersama Mas Aam, suaminya, pernah mencoba mempraktikkannya untuk Adi, anak mereka. Pendapat penulis Amerika itu tidak perlu kami pertanyakan. Sebaliknya, kami justru menjadi mantap dengan kesimpulan sendiri, yang merupakan satu varian dari hadis Nabi tentang alat musik kecapi. Pada Hadis Nabi kecapi sebagai amsal perempuan, sedang pada kami sebagai amsal anak anak. Ia akan menyanyi lagu apa saja bergantung pada jari jari yang menyentuh nya ...
Sepekan lagi anak kami berulang tahun. Tahun kedua. Pagi itu kami berangkat bersama. Naik bis PPD berwarna biru nomor sembilan satu, jurusan Grogol. Istriku, dengan menggendong anak dan menyandang tas penuh buku, menuju tempat ia mengajar di sekolah Belanda di Slipi. Aku turun di depan MBAU, di seberangan "Patung Anoman" di Pancoran Tebet, pindah ke bbi lain yang menuju Blok M Kebayoran Baru. Aku dan istriku telah sepakat, hendak memberi hadiah ulang tahun berupa buku pelajaran mengenal huruf dalam bahasa Indonesia. Di kantung bajuku sehelai uang kertas berharga lima rupiah.
Turun di terminal Blok M aku berjalan kaki, menuju ke Toko Buku "Gunung Agung". Toko itu terletak di sudut salah satu jalan Panglima Polem, yang - kalau aku tidak buta kiblat- di arah tenggara terminal. Berseberangan dengan toko buku, bangunan gereja yang berhalaman luas dan teduh oleh naungan pohon pohon munggur dan bugenfil. Gereja Bethel, tertulis di papan nama. Jalan ketika itu masih belum terlalu padat dengan kendaraan bermotor seperti sekarang. Masih banyak becak dan sepeda, tidak sedikit juga orang orang parlente yang berjalan kaki. Karena itu juga suara dan suasana belum terasa terlalu bising dan panas menyala nyala.
"Pak Hersri!" Suara laki laki memanggil, dari halaman gereja.
Tak jadi menyeberang jalan, aku menoleh. Di balik pagar batu setengah badan, yang berjeruji besi di atasnya, seorang laki laki sebayaku kulihat berlari gapah gopoh. Menuju arah tempat aku berdiri di trotoar. Di sudut halaman sana, di bawah naungan bugenfil, ada satu bangku setengah panjang dan satu kenap. Sudut penjagaan, pikirku.
"Pak Hersri, bukan?" Dari balik pagar ia menegasi sapanya padaku. Matanya bundar tetap seperti dulu. Cuma pandangannya agak lebih keruh. Tampak lebih kurus. Wajahnya lebih coklat oleh terik kota Jakarta. Kumisnya yang kurus tampak tak terurus.
"Bung Yusmin!" Seruku.
Yusmin Sudiro. Ia temanku satu riungan, berbulan bulan selama di Salemba, mula mula di Blok F dan kemudian di Blok I. Aku ketua kelompok riungan waktu itu. Tapi dialah tukang membagi lauk pauk dan makan tambahan dari besukan untuk tujuh orang seriungan kami. Sepanjang waktu seriungan itu dia sendiri tidak pernah menerima besukan dari keluarganya. Tapi ia pandai membuat label tas besukan, yang dibordirnya dari benang warna warni yang dilolosinya dari aneka gombalan. Dari hasil kerjanya itu ia mendapat imbalan dari sesama tapol pemesan: gula merah, tembakau, teh dan terkadang sebatang rokok kretek. Aku sendiri pernah dibuatkan olehnya label bundar selebar cawan, sulaman profil Gatutkaca, satria Pringgadani yang tegar gagah dan pendiam itu. Bagus sekali label itu.
Kami berpisah ketika aku mendapat giliran ke Buru lebih awal dari dia. Ia menangis memelukku erat erat, ketika aku berpamitan di pintu gerbang Blok I. Terpisah sebentar di
Pulau Buru, aku di Unit XIV Bantalareja dan dia di Unit XVI Indrakarya. Kemudian, entah mengapa, ada pertukaran tapol antara dua unit itu. Beberapa tapol Unit XIV dibawa ke
Unit XVI, dan dalam jumlah yang sama beberapa tapol Unit XVI Dibawa ke Unit XIV. Yusmin termasuk seorang di antara mereka yang dipindah ke unit kami.
Sepulang dari Buru, atas pertolongan Domine M., beberapa orang ET dipekerjakan di Gereja itu. Pada waktu itu ada beberapa yayasan sosial yang giat memberi santunan pada ET dan keluarga mereka. Ada yang dikelola oleh para dermawan Islam, Kristen, Katolik, dan kemanusiaan umumnya. Pada saat saat tertentu yayasan yayasan memberitakan tentang adanya lowong kerja di sana atau di sini. Ada yang menjadi juru masak di dapur, tukang sapu, jaga malam, dan pengantar surat, dan aneka "pekerjaan kasar" lainnya.
"Dan Bung Yusmin?"
"Kami bertiga tugas jaga malam bergilir. Saya, Panjul dan Praptono. Tukang pukul sagu di Wai Tui 1) semua, Pak. Cuma Pak Hersri yang tidak ikut kami." Katanya sambil tertawa. Aku Ikut tertawa.
Benar. Ketika Unit XIV Bantalareja dibawah Dan Unit Lettu Yusin Zainal yang rakus (ya, mana ada Dan Unit tapol yang tidak rakus!), aku ditunjuk menjadi Kepala Regu Kerja Pukul Sagu yang terdiri atas enam puluh orang. Berarti enam Tenaga kerja dari tiap barak diserap ke rawa sagu, terserak serak dalam dua puluh satuan pemukul yang kami namai "kole kole". Dua puluh kole kole, masing masing terdiri tiga orang. Yusmin Sudiro, Suparno Panjul, dan Supraptono termasuk di antara Regu enam puluh orang itu. Yusmin tenaga pemeras yang cekatan, Panjul dan Partono tenaga tenaga pemukul yang kuat. Terutama Partono pandai menaksir "isi" batang batang sagu yang Hendak ditebangnya. Pada tahun tahun pertama di Buru, hanya batang yang ditaksir menghasilkan paling sedikit 30 tomang 2)akan kami tebang. Jika kurang dari taksiran, kita tunggu sampai batang itu menjadi lebih tua dan "berisi". Mereka bertiga mampu menghabiskan tiga perempat batang sagu, panjang kira kira lima belas meter, dalam satu hari kerja.
Juga ketika masih di Salemba, aku agak lama satu blok dengan Panjul dan Partono. Kedua mereka ini juga bertangan terampil. Panjul pandai membuat pipa rokok dari tempurung kelapa, Partono membuat jarum jarum akupungtur dari sendok alpaka. Yusmin, seperti sudah kukatakan di atas, telaten menyulam label atau menganyam tas plastik. Mereka bertiga orang orang muda asal Madiun, drop-out SMP dan SD yang mencoba mencari hidup di ibukota sejak awal 60-an. Bekerja di "Pabrik Panci" Cawang, dan menjadi anggota SBIRBA (Serikat Buruh Industri Ringan dan Bangunan). Ditangkap Operasi Kalong
Pada awal 1966, karena dituduh sebagai anggota SB yang direkrut untuk sukarelawan G30S di Lubang Buaya.
"Berapa gaji Bung sebulan?"
"Lima belas ribu, Pak."
"Lima belas?!" Tanyaku gusar. Aku merasa tenggorokanku seperti sejurus tersekat. Begitu sedikit, pikirku. Ketika itu cewek manis Fy., Sekretaris Redaksi "Kompas", menerima gaji empat puluh ribu satu bulan. Dan Bung Kastur Kr., penekun administrasi biro penerjemah kami "Inkultra", menerima honorarium tiga puluh ribu. Gaji rata rata satu bulan pembantu rumah tangga, di rumah rumah keluarga kelas menengah di Tebet, sekitar tiga sampai tiga setengah ribu rupiah.
"Ah, daripada nganggur Pak!" Jawabnya, menangkap suasana kegusaranku. "Lagi pula kami senang jatah berasnya Pak! Tidak ada apa apa biarlah! Asal beras sudah ada, kan tenang?"
"Berapa kilo Bung dapat satu bulan?"
"Dua puluh lima. Dan bapak bapak yang di kantor itu banyak yang tidak suka ambil. Jadi suka dikasih sama kita."
"Kenapa tidak mau?"
"Penguk Pak! Mana mau bapak bapak itu?"
Aku urung ke Gunung Agung. Tenggelam menyelusuri jejak jejak lama, dan memasuki bayangan jejak jejak baru Bung Yusmin. Menjelang tengah hari kami tinggalkan halaman Gereja. Aku singgah ke gardu telpon, menelpon istriku. Ia akan Sangat cemas jika aku terlambat pulang tanpa kabar. Sambil menggendong anaknya di selendang, jika aku terlambat pulang,ia pasti sudah menunggu aku di ujung gang, di tempat metromini biasa berhenti. Ia menjadi sangat gelisah dibayangi angan angan sendiri. Siapa tahu aku ditangkap lagi, atau diteror dengan tabrak lari di tengah jalan?
Kami berjalan kaki ke Kampung Pela, tempat tinggal Bung Yusmin bersama istrinya. Dengan mencuri pandangan Kuperhatikan alas kakinya. Masih sandal plastik murahan seperti ketika masih di Buru. Mata dan hatiku bersitatapan dan berdialog dengan beban kemiskinan di sekujur tubuhnya, tapi juga disapa oleh keikhlasan dia menghadapi beban yang berat itu. Aku menjadi gelisah oleh selembar uang lima ribu di saku bajuku. Timbul rasa malu untuk berangan angan masuk ke Toko Buku, apalagi untuk menukar uang sepertiga gaji Yusmin dengan sebuah buku. Hadiah ulang tahun anak dua tahun. Tapi sebaliknya aku juga malu menghadapi sahabat senasib dengan sikap seorang filantrop yang merayap rayap di dadaku.
Bung Yusmin kuajak belok masuk ke toko. Tentu saja bukan toko buku. Uang lima ribu rupiah kubelanjakan untuk dia: kemeja, sandal, gula kopi, dan rokok. Sisanya kuselipkan
dengan paksa ke kantung bajunya. Ya. Akhirnya perasaan iba seorang yang ingin berhati baik itu lah yang menang. Semangat bela rasa hati yang sarat belas kasih sesama, tapi barangkali bersih dari perhitungan kebersamaan kelas. Tiba di rumah kuceritakan semuanya itu pada istriku.
"Besok kamu pergi lagi ke Gereja itu." Katanya, sambil memberi aku dua lembar lima ribuan.
"Mencari buku lagi?"
"Tidak. Berikan untuk dua temanmu yang lain itu. Siapa nama mereka?" Nama nama Jawa tentu saja agak susah buat istriku untuk diingat dan diucapkan.
"Buku hadiah anak kita?"
"Aku akan membuatnya sendiri. Dan kamu, rekamlah suaramu sendiri. Menyanyi dan mendongeng. Dia tidak pernah mau tidur sebelum kamu nyanyikan "Nina Bobo", bukan? Dan dongeng Kancil?"
Aku diam. Kupandangi wajah istriku. Kedua matanya bersinar sinar jernih. Ikhlas.
"Pipa tempurung dan foto foto Buru di lemari itu hadiah hadiah untuknya yang tidak ternilai. Berikanlah kelak, jika dia sudah agak sedikit besar ..."
Sekali lagi kutatap sinar mata istriku. Ia tersenyum. Aku sendiri tak tahan membendung airmataku yang meleleh bersembulan ...***
Catatan: