POLITIK LUAR NEGERI AWAL 1960-AN

ULASAN PUSTAKA FRED BUNNEL

Pustaka yang diulas

1. Frederick P. Bunnel, "Guided Democracy foreign policy: 1960-1965, President Sukarno moves from Non-Allignment to Confrontation", Indonesia #2, October 1966, h. 37-76.

2. Frederick P. Bunnel, "The Central Intelligence Agency - Deputy Directorat For Plans 1961 Secret Memorandum on Indonesia: a study in the politics of policy formation in the Kennedy Administration", Indonesia #22, October 1976, h. 131-169.

3. Frederick P. Bunnel, "American 'Low Posture' policy toward Indonesia in the months leading up to the 1965 'Coup'", Indonesia #50, October 1990, h. 29-60.

Pengantar

Ketiga makalah ini membahas politik luar negeri Indonesia dalam periode Demokrasi Terpimpin, tahun 1959-1965, dan mencatat bagaimana reaksi dari Washington. Waktu itu politik luar negeri Indonesia semakin bersifat konfrontatif terhadap Barat. Mulai dari Kampanye Pembebasan Irian Barat, bergesernya posisi politik Indonesia dari Non Blok ke konfrontasi Nefos melawan Oldefos, kemudian memuncak dalam konfrontasi dengan Inggris/Malaysia, menyelenggarakan Ganefo, keluar dari PBB, ekonomi Berdikari, dst. Faktor yang paling berpengaruh dalam melancarkan politik luar negeri yang militan itu adalah kepribadian Sukarno. Secara ideologis dia menafsirkan sejarah sebagai pertentangan kepentingan antara kapitalisme Barat melawan negara-negara baru yang didukung oleh Blok Timur. Secara psikologis, dia menuntut hormat dari Barat yang sudah menjajah negerinya selama ratusan tahun.

Dilihat dari Washington dalam masa pemerintahan Kennedy, yang sedang menghangat dengan meningkatnya suhu Perang Dingin, maka politik Indonesia di awal 60-an itu cukup mengkuatirkan. Di kalangan pembuat keputusan, ada dua kelompok: Hard Liners dan Accomodationist. Kelompok 'garis keras' ingin menjalankan politik Ganyang Sukarno, karena kuatir komunis akan masuk pemerintahan secara legal dalam kepemimpinan Sukarno. Sedangkan kelompok 'penampung', diwakili oleh Dubes AS Howard Jones, ingin menyalurkan nasionalisme radikal Sukarno ke jalur-jalur yang konstruktif. Kedua kelompok ini tetap melihat Sukarno sebagai tokoh sentral dalam politik Indonesia waktu itu.

Menjelang G-30-S, pemerintahan Johnson mengambil posisi 'tiarap', tidak muncul di permukaan. Karena AS memang sedang pusing dengan Perang Vietnam yang tambah berkobar. Dan karena AS mendukung terbentuknya Malaysia, maka dia menjadi sasaran kemarahan Sukarno yang sedang galak-galaknya mengganyang Nekolim. Kampanye anti AS sedang subur di Indonesia. Dalam posisi tiarap itu rencana kudeta memang serius dijajaki, apalagi setelah Sukarno jatuh sakit di akhir Juli 1965. Yang dipersoalkan cuma soal taktik, kapan waktunya, siapa yang mimpin, dst. Dan hubungan dengan Angkatan Darat dikerjakan sangat serius mengantisipasi jatuhnya Sukarno. Dalam pembantaian tahun 1965-66 itu sendiri, AS memang mendukung, tetapi bukan yang menjadi penghasut (instigator).

Ulasan ini adalah ringkasan makalah Fred yang pertama. Inti dari makalah kedua dan ketiga kami sampaikan dalam pengantar ini. Pada akhir ulasan kami sampaikan beberapa hal yang bisa jadi bahan diskusi dengan Profesor Bunnel. Selamat membaca.

POLITIK LUAR NEGERI DEMOKRASI TERPIMPIN MAKIN MILITAN

Dalam Demokrasi Liberal (1950-1959) puncak prestasi politik luar negeri Indonesia terwujud dalam Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung yang melahirkan gerakan Non Blok. Dengan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD-45 dimulailah periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Dalam Demokrasi Terpimpin itu politik luar negeri Indonesia menjadi lebih militan.

Militansi ini diarahkan untuk melawan neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme, yang pada waktu itu lebih dikenal dengan nama 'nekolim'. Itu singkatan yang ditemukan oleh Let.Jen A. Yani, KSAD waktu itu, dan kemudian menjadi bahasa politik yang populer pada jaman itu (catatan kaki #1, h. 37). Dalam makalah ini, Fred Bunnel melihat akar dari militansi itu ada dalam kepribadian Sukarno, pemimpin yang paling berpengaruh pada saat itu.

a. Dua segi kepribadian Sukarno

Dua segi kepribadian Sukarno bisa menjelaskan motivasi dari militansi politiknya, segi ideologi dan segi psikologi. "On the ideological level Sukarno embraced a neo-Marxist-Leninist view of contemporary history that pits the old capitalist nations of the West in a dialectic struggle with the emergent nations and the new socialist states. It was this idea that underlay Sukarno's confrontation policy" (38). Tentang segi psikologinya, "But the dynamic of the policy was the psychological need for self-respect felt by a political elite long-humiliated by colonialism".

Bukti-bukti dari argumennya dia dapatkan dalam pikiran, perkataan dan tindakan Sukarno sendiri yang konsisten selama 40 tahun. "There is a basic consistency in both the nationalistic content and the emotional character of the Sukarno ideology as it has developed in his speeches and actions over a 40-year period" (38). Bukti-bukti lain yang menunjukkan konsistensi ideologi dan juga emosi Sukarno bisa didapat dari komentar tokoh-tokoh yang mengikuti politik Sukarno, dan juga terlihat dari naskah-naskah pidatonya seperti dalam "Indonesia Menggugat" (1930) dan "Mencapai Indonesia Merdeka" (1933).

b. Sukarno, nasionalis atau komunis?

Bagaimana menafsirkan ideologi Sukarno tadi kalau melihat kecendrungan politiknya yang semakin dekat dengan kelompok kiri yang di Indonesia maupun di kalangan internasional (Soviet dan RRC). Apakah miringnya ke kiri itu karena oportunisme atau karena memang menjadi antek Peking, seperti tuduhan Blok Barat. Menurut Bunnel tuduhan itu tidak berdasar, "In short, the suggestion of either subservience or opportunism is questionable because of the historical depth and consistency in Sukarno's view" (40). Dan, "Moreover even as she [Indonesia] collaborated with China in the anti-imperialist struggle, it is plain that Indonesia retain not only her own ambitions for leadership, but a firm attachment to her own national ideology". Singkatnya, Sukarno dapat teman, bukan jadi pengikut.

Bagaimana dengan kemungkinan dia memberi kekuasaan kepada kelompok komunis? Itu spekulasi yang beredar luas di kalangan diplomat Jakarta mulai tahun 1963 (catatan kaki #7, 40). Nggak betul juga, kata Bunnel, karena Sukarno ini seumur-umur merasa bahwa tugas-hidupnya (self-conscious lifetime task) adalah mempersatukan kelompok nasionalis, agama dan juga komunis. "Predicated on the President's admitted attraction to the PKI's revolutionary ideology, this speculation underestimated the Sukarno's devotion to Indonesian national unity".

Lalu bagaimana menjelaskan melonjaknya posisi politik PKI dalam Demokrasi Terpimpin? Ada dua hal yang harus diingat, kata Bunnel, kecanggihan PKI bermain politik dan kesadaran Sukarno bahwa keutuhan bangsa justru terancam karena PKI tidak dipercaya oleh kelompok politik lainnya. "If then the President permitted a PKI expansion, it was in part because he felt that only if the communist were given positions of responsibility could they be assimilated into the Indonesian revolution, could they loose the threatened feeling of an outside group, could their rivals come to accept them as partners as well as rivals, and could it be assured that they would become nationalist communists" (41).

Disamping itu, "Sukarno's increasing advocacy of the PKI must be understood also as a means of reducing the power of the strongest force -- apart from Sukarno himself -- in Indonesian politics. This was the army" (41). Mengapa kekuasaan tentara ini harus diimbangi oleh Sukarno dengan mendukung PKI? Kata Bunnel, "In short, the army constituted the primary obstacle to the realization of Sukarno's goal of a nationalistic, but radical left, nasakom Indonesia" (41).

Mengamati perkembangan politik di pertengahan 60-an itu, para diplomat Barat tahu bahwa merekalah yang akan keok. "Understandably Western diplomats dismissed nasakom as simply a PKI Trojan horse ridden by a communist-leaning and romantically naive Sukarno. If nasakom required Sukarno's sponsorship of the PKI coupled with maneuvering to weaken the army, clearly the West would be the loser". Karena, "In any coalition of Indonesian political forces, surely the organized, dedicated, and tactically adept PKI would eventually prevail".

BERBAGAI INTERPRETASI

Banyak interpretasi tentang politik luar negeri Sukarno dalam Demokrasi Terpimpin. Satu-satu interpretasi itu dibahas oleh Bunnel.

a. Membelokkan perhatian?

Faktor ideologi-psikologi Presiden Sukarno kelihatan jelas dalam beberapa pertemuan dalam arena internasional yang membuat Indonesia naik pamornya, seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Lalu banyak yang menafsirkan usaha cari pamor ini sebenarnya adalah untuk membelokkan perhatian rakyat dari kesukaran ekonomi. Itu penafsiran yang populer ketika Sukarno mencanangkan Kampanye Rebut Irian barat.

Sukarno ini ngejar pamor untuk membelokkan perhatian rakyatnya dari kesukaran ekonomi tahun 60-an. Ekonomi bobrok karena diabaikan oleh Sukarno. Kan dia sendiri ngaku bego soal ekonomi, "he was by his own admission uninterested in economic problems". Begitu argumen pengeritik Sukarno. Bisa jadi, kata Bunnel, tapi lebih tepat adalah Sukarno mau beresin politik dulu sebelum ngomongin ekonomi, "he insisted that the elimination of all foreign influences -- political, economic, cultural -- must precede full attention to domestic economic growth". Dan apa sich yang mereka maksud kondisi ekonomi yang bobrok itu? Karena yang masih diingat dan jadi ukuran buat orang Indonesia waktu itu (awal 60-an) adalah keadaan ekonomi di Jaman Jepang. Bagaimanapun juga penilaian Sukarno tentang kondisi ekonomi waktu itu, pendapatnya pasti akan sangat berbeda dengan para pengamat Barat, "Who were inclined to see more hardship than was actually felt by Indonesians who had endured far worse conditions during the Japanese occupation" (43).

b. Teori keseimbangan?

Penafsiran yang juga populer tentang politik luar negeri Sukarno adalah teori 'keseimbangan'. Presiden memainkan kartu tentara dan kartu PKI sedemikian rupa sehingga keduanya bisa diatur oleh Sukarno sendiri. Bisa jadi juga, karena dia memang politikus ulung. Tetapi jangan melihat keseimbangan itu sebagai rumus yang dipakai Sukarno secara kaku. Faktor ideologi-psikologi tadi tetap menonjol, karena "many moves were apparently of a quiet different order -- i.e. impulsive, instinctive responses to particular problems as they arose".

c. Meluaskan wilayah?

Ketika mencanangkan konfrontasi dengan Malaysia banyak yang mengira tujuan Sukarno adalah meluaskan wilayah RI. Anggapan itu juga tidak meyakinkan Bunnel. Propaganda politik yang dilancarkan selama Konfrontasi itu menunjukkan kandungan ideologi anti penjajahan dan dorongan psikologis (minta didengar, dihormati) yang menonjol. Tujuan meluaskan wilayah itu akan lebih meyakinkan kalau ada bukti-bukti pemimpin Indonesia yang menyatakan tuntutan wilayah Serawak, Sabah dan Brunei. Menurut Bunnel, tidak ada juga bukti Indonesia memang mempersiapkan diri untuk menduduki wilayah-wilayah itu. Yang lebih mungkin adalah Indonesia memang mau menegakkan wibawa dan pengaruhnya (sphere of influence) di kawasan Asia Tenggara. "Jakarta was determined to expell all imprealist influence there, especially in insular Southeast Asia and Malaya -- and if necessary eventually to contest with China for paramountcy of influence" (44).

KONFRONTASI TAHAP-I (PEMBEBASAN IRIAN BARAT, 1960-1962)

a. Latar belakang

Di akhir tahun 50-an, setelah berhasil meredam pemberontakan daerah, terjadi koalisi antara dua kekuatan politik yang paling besar, Sukarno dan tentara. PKI baru muncul sebagai kekuatan ketiga setelah memenangkan Pemilihan Umum Daerah tahun 1957. Kekuatan politik PKI waktu itu dibutuhkan Sukarno dalam program politiknya, Pembebasan Irian Barat. Sedangkan PKI sendiri membutuhkan Sukarno untuk melindungi diri dari penindasan tentara. "By providing the President with the organized mass support that he both needed and admired, the PKI hoped to win presedential protection from army harassment" (44). Selain butuh perlindungan itu, "The PKI sought the time to discipline its still largely unpoliticized following in the villages. At the same time identification with Sukarno could in time assist the PKI in winning the legitimacy which it lost in the 1948 Madiun Rebellion" (44-45).

b. Membangun militer

Dalam KMB, 27 Desember 1949, kedaulatan RIS (waktu itu masih negara federal, belum menjadi Negara Kesatuan) diakui, kecuali Irian Barat. Tuntutan RI di PBB untuk memasukan Irian Barat dalam wilayahnya tidak digubris sampai tahun 1957. Sukarno tahu bahwa tanpa didukung kekuatan militer maka tuntutan ini tidak akan pernah didengar Barat. Disamping itu, dengan wilayah yang luas dan banyak jumlah penduduknya maka Indonesia harus memiliki angkatan bersenjata yang memadai. Angkatan bersenjata harus dibangun bukan hanya untuk melindungi diri dari kemungkinan intervensi Barat, tetapi juga sebagai lambang kepemimpinan Indonesia bagi negara-negara Asia-Afrika.

Banyak pimpinan tentara yang setuju dengan pikiran Sukarno itu. Lalu harus beli senjata dari mana, AS atau Soviet? Tentara milih beli dari AS, tapi permintaannya ditolak. "It is certain that the army made one final plea to Washington for heavy arms in the early October 1960. Presented by General Abdul Haris Nasution himself, this plea was rejected by the Eisenhower Administration. And thus it was that a somewhat reluctant General Nasution journeyed to Moscow in January 1961 to sign an arms purchase agreement totaling 450 million dollars" (47). Total bantuan militer Soviet dalam Kampanye Irian mencvapai 1 milyar dolar, a.l. meliputi kapal perang RI Irian, pembom jarak jauh TU-16, dan pesawat tempur MIG-19. Sebagian besar bantuan Soviet jatuh ke Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sementara itu AS terus mensuplai Angkatan Darat dengan senjata ringan dan latihan-latihan (catatan kaki #19, 48).

c. Sukarno dapat teman

Sejak dukungan AS pada pemberontakan PRRI/Permesta (1958) Sukarno sudah jengkel kepada AS. Ketika permintaan untuk membeli senjata ditolak, dia tambah gondok. "The issue at hand was the highly emotional, nationalistic claim to West Irian. The public reluctance of the United States to assist Indonesia either diplomatically or by selling heavy arms became dramatically juxtaposed with the Soviet Unions's vociferous diplomatic support and her generous military aid" (49). Tambahan lagi, Presiden Soviet Kruschov, dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun sebelumnya telah memberikan bantuan ekonomi sebanyak 250 juta dollar. Tapi langkah ke kiri itu juga jangan dibesar-besarkan, kata Bunnel. Pengaruh AS tetap jauh lebih besar dari pengaruh gabungan Soviet dan Cina. Pengaruh militer AS ditegakkan oleh Armada-VII yang beroperasi di Laut Cina Selatan, dan pengaruh ekonominya terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang berpusat di Barat dan Jepang (catatan kaki #20, 49).

Main mata antara Sukarno dengan RRC juga jadi lebih genit. Menlu RRC, Chen Yi, berkunjung ke Indonesia bulan April 1961, dan Sukarno balik berkunjung ke Beijing bulan Juni. Main mata ini mengkuatirkan baik bagi AS maupun bagi Soviet yang waktu itu sudah bentrok dengan RRC. Tapi pada tahun 1961 itu, prioritas pertama Sukarno bukan konfrontasi melawan Barat (sehingga harus mendapat teman dari Timur), tetapi Kampanye Pembebasan Irian Barat. Dan suksesnya program itu tidak hanya butuh senjata Soviet, tetapi juga sangat ditentukan oleh dukungan diplomasi AS, bossnya Belanda dalam NATO.

d. Trikora

Kampanye Pembebasan Irian Barat dicanangkan dalam Pidato Sukarno tanggal 19 Desember, 1961, yang dikenal dengan nama Trikora. Intinya adalah persiapan untuk mobilisasi rakyat secara besar-besaran untuk perang menghadapi Belanda. Sejak 1949 Belanda tidak menggubris permintaan RI untuk membicarakan soal Irian dalam forum diplomasi di PBB. Setelah Trikora dicanangkan, rakyat disiapkan dan angkatan bersenjata RI sudah mulai berotot, maka posisi Belanda menjadi terpojok. Posisi AS juga berubah, sebelumnya netral tetapi pasif (meant tacit support for the 'status quo'), kemudian menjadi aktif menengahi konflik ini (tacit support for a change -- a change that could only benefit the Indonesian position).

Dari kaca mata AS, "As President Kennedy made clear, the American interest lay in preventing such a conflict". Alasannya, " Not only that it could involve the Cold War antagonists in a dangerous confrontation, but it would at very least greatly enhance the influence of communism in Indonesian domestic and foreign affairs" (52). Pemerintahan Kennedy juga berusaha "to develop a relationship of mutual trust with President Sukarno". Lalu Kennedy mengirim misi ekonomi ke Indonesia, mengisyaratkan kemungkinan bantuan ekonomi AS untuk Indonesia kalau konflik Irian bisa selesai dengan damai.

Dua cara ini -- otak dan otot -- berunding dalam arena diplomasi sekaligus menggunakan tekanan militer, dijalankan dengan canggih oleh Sukarno. Tekanan militer ditingkatkan dengan operasi pendaratan pasukan payung di Irian Barat mulai April, 1962. Operasi militer itu menunjukkan Indonesia serius dengan operasi militer kalau usaha diplomasi macet. Pada akhir Juli, pasukan RI (darat, laut, udara) disiapkan untuk posisi menggempur walaupun sikap pemimpin militer waktu itu memang belum satu. "The attitude of the military leadership at this juncture is still a matter of controversy. Moreover, it seems likely that the leadership was not entirely united on which was the preferred solution from the standpoint of the Army's political position". Sikap pimpinan militer di pusat berbeda dengan sikap komandan-komandan di lapangan. Mobilisasi rakyat sudah menciptakan suasana yang membuat komandan-komandan di lapangan siap untuk berperang. "a tremendous psychological momentum had been generated by the long mobilization process. Many of the field commanders were more than ready" (53).

Para diplomat Belanda menjadi yakin bahwa Sukarno bukan cuma 'ngomong doang'. Robert Kennedy, Jaksa Agung dalam pemerintahan Presiden Kennedy yang menaruh perhatian khusus pada Indonesia, juga sudah yakin (53). Akhirnya tidak terjadi konflik bersenjata. Masalah Irian diselesaikan dengan sangat menguntungkan bagi posisi RI dalam perundingan di Washington, 15 Agustus 1962.

e. Bergeser dari Non Blok ke Nefos

Berbarengan dengan Kampanye Pembebasan Irian, Sukarno mengajak bangsa-bangsa yang baru merdeka untuk menggempur kapitalisme Barat. Bulan September 1960 Sukarno berpidato di PBB, menghimbau dunia internasional untuk "Membangun Dunia Kembali", "A world in which the emerging countries would attain the self-respect of an equal share in both the councils and the riches of the world". Bagaimana mencapainya? "... only by a relentless struggle -- a confrontation -- against all the bullwarks of power controlled by the capitalist nations of the West" (54).

Ketika Perang Dingin semakin menjadi isu, terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno melawan Nehru-Tito-Nasser. Teman-temannya di KAA Bandung itu melihat negara-negara yang baru muncul di kawasan Asia-Afrika sebagai 'penengah' untuk meredakan ketegangan antara Barat-Timur dalam Perang Dingin. Sukarno sendiri melihat Perang Dingin itu bukan persoalan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Dalam Konferensi Non Blok di Beograd, September 1961, Sukarno menguraikan pendapatnya, "Sukarno stress was on the necessity of combatting imperialism, colonialism, and their more subtle manifestations in post-independence societies, neo-colonialism. That combat deserved priority, for it was these evil forces, not the Cold War, that constituted the most urgent threat to world peace" (56-57).

Konferensi Non Blok di Beograd itu adalah tonggak penting dalam perkembangan politik luar negeri Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin. Sepulangnya dari Beograd, ketika disambut di lapangan terbang, Sukarno berpidato tentang "the new emerging forces", yaitu "the developing nations, the socialist nations, and the progressive elements in the established nations". Tugas sejarah bagi 'nefos' ini adalah menggempur 'oldefos', yaitu 'old established forces', untuk membangun dunia kembali. Dengan munculnya si Nefos melawan si Oldefos ini, politik luar negeri Indonesia menjadi semakin konfrontatif.

KONFRONTASI TAHAP-II (1962-1965)

Setelah Kampanye Pembebasan Irian berhasil dimenangkan, Sukarno punya kesempatan untuk membereskan ekonomi. Dan memang usaha untuk itu sudah terlihat pada pertengahan 1963 dengan program stabilisasi ekonomi menuruti resep dari para ekonom Barat. Tetapi politik luar negeri tetap menjadi prioritas pertama Sukarno. Beberapa program besar dia canangkan: Kampanye melawan Malaysia, dan memperjuangkan konsep New Emerging Forces (Nefos) yang diwujudkan dengan menyelenggarakan Ganefo, keluar dari PBB, secara ekonomi mau Berdikari dan terakhir membuat rencana menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo).

a. Konflik Malaysia

Pemberontakan Brunei

Propaganda Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia mulai ketika terjadi pemberontakan rakyat Brunei pada tgl. 8 Desember 1962. "Although Jakarta did extend some covert aid to the rebels prior to the revolt, it is conceded even by the Malaysian that Indonesia did not instigate the rebellion" (59). Pemberontakan Brunei itu menjadi alasan Indonesia untuk menentang rencana Federasi Malaysia yang diciptakan Inggris tetapi tidak didukung oleh rakyat di Brunei, Sabah dan Serawak. Kemudian Indonesia memberikan bantuan moral, politik dan militer kepada pemimpin pemberontakan, A.M. Azahari, yang sudah memproklamirkan berdirinya Negara Kalimantan Utara.

Usaha Maphilindo

Perundingan antara para pemimpin Malaya (Tengku), Pilipina (Macapagal) dan Indonesia (Sukarno) dilakukan di Manila untuk mencapai kesepakatan supaya rencana Inggris untuk membentuk Federasi Malaysia itu bisa diterima oleh bangsa-bangsa di kawasan itu. Dalam Konferensi Manila itu, Indonesia dan Pilipina sepakat untuk menerima Malaysia, kalau, "the support of the people of the Borneo territories is verified by an independent and impartial authority, the UN Secretary General or his representative". Sesuai dengan pendapat ini, maka ketiga pimpinan negara Malaya, Pilipina dan Indonesia meminta Sek-Jen PBB, U Thant, untuk menunjuk suatu tim kerja untuk mendengar pendapat rakyat di Kalimantan Utara. Disamping itu, ketiga kepala negara juga menyetujui usul Presiden Macapagal untuk membentuk MAPHILINDO, suatu organisasi tiga negara dengan ras Melayu, untuk mengatur keamanan di kawasan Asia Tenggara. Dan Sukarno menerima pendapat Malaysia dan Pilipina yang menyatakan pangkalan-pangkalan militer Asing di negara mereka hanyalah, "temporary in nature".

Reaksi Inggris

Walaupun sudah muncul harapan untuk menyelesaikan soal Malaysia dengan damai, Inggris melihat kesepakatan Konferensi Manila dengan ragu-ragu dan merasa terhina. Inggris tidak menerima Badan PBB yang akan mengawasi penentuan pendapat rakyat di Kalimantan Utara itu, karena itu berarti tidak mempercayai hasil survey mereka sendiri. Akibat reaksi Inggris ini terjadi ketegangan politik antara Inggris dengan Indonesia. Apalagi setelah Inggris menyatakan bahwa Malaysia tetap akan diproklamirkan, tidak perduli apapun hasil pengumpulan pendapat oleh PBB. Sampai akhirnya, "the Indonesians in the end refused to accept U Thant's finding that Malaysia did command popular support in the two Borneo territories". Ketegangan memuncak dengan pembakaran kedutaan Inggris di Jakarta.

Konfrontasi bersenjata

Pertengahan bulan Agustus, Indonesia memutuskan untuk melancarkan perang gerilya bukan hanya di Kalimantan Utara tetapi juga meluas ke Semanjung Malaya. Inggris membangun kekuatan bersenjata untuk membela Malaysia. Australia juga mengirim pasukan membantu Inggris. AS menyambut kedatangan Tengku di Washington dan menjanjikan bantuan senjata. Indonesia minta bantuan senjata lagi ke Soviet, tetapi pengirimannya tersendat. Ketika usaha pendaratan Indonesia di Malaysia bisa digagalkan, maka simpati internasional mulai tertuju pada Malaysia.

Arena diplomasi

Setelah pendaratan yang gagal, Indonesia dituduh melakukan agresi. Bulan September 1964, Indonesia mempertahankan posisinya di PBB dengan menyatakan bahwa, "prevailing standards of international law as irrelevant to a situation which Indonesia had chosen to define as a conflict between the new emerging forces and the old established forces" (64). Posisi Indonesia tidak banyak mendapat simpati, termasuk dari negara-negara Asia-Afrika sendiri. Tindakan berikutnya adalah Indonesia

menyatakan diri KELUAR DARI PBB, Januari 1965. Ketika Indonesia semakin terisolasi, maka dia semakin bergeser mendekati RRC. Negara yang dihuni seperempat penduduk bumi itu pada waktu itu juga belum diterima sebagai anggota PBB. Kemudian Sukarno mulai bicara tentang Poros Jakarta-Peking-Pyongyang, tiga negara yang berpolitik sangat radikal pada waktu itu.

Dalam negeri

Ketika Sukarno semakin dekat dengan Cina, maka politiknya di dalam negeri juga semakin dekat dengan PKI. Gejala ini mengkuatirkan bagi pimpinan militer. Sementara itu, Sukarno sendiri mulai berusaha merintis perdamaian dengan Malaysia. Usaha-usaha untuk itu mulai dijajaki pada awal Maret dan Mei 1965, meskipun Sukarno tetap menolak untuk berunding.

b. Memperjuangkan konsep Nefos

Ganefo

Konsep new emerging forces itu bukan hanya jadi slogan politik, tetapi betul-betul mulai diwujudkan. Dan Ganefo (games of the new emerging forces) adalah bentuknya dalam dunia olah raga. Ganefo juga merupakan bentuk konfrontasi melawan IOC yang dianggap bagian dari kekuatan Barat. Ada 26 negara yang mensponsori federasi olah raga Ganefo yang bermarkas di Jakarta. Bulan November 1964 Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertandingan olah raga untuk 50 negara-negara baru.

Berdikari

Dalam Konferensi Non Blok di Kairo, Oktober 1964, "Sukarno ridiculed the idea that non-alignment still had a role to play in a world now marked by the fragmentation of the earlier cold war blocks". Sukarno juga

mengajukan konsep berdiri di atas kaki sendiri, "the self-reliance induced through waging a vast combat against nekolim was more than worth the economic cost. Such was the priority on achieving self-reliance, or character building, that all assitance from abroad was suspect" (68). Dari pemikiran ini juga keluar kata-katanya yang kemudian menjadi slogan politik waktu itu, "Go to hell with your aid".

Conefo

Konsep Sukarno tentang Nefos melawan Oldefos ini dalam arena politik internasional ingin diwujudkan dalam suatu konferensi besar yang disebut Conefo. Rencananya Conefo akan menjadi suatu badan internasional yang akan mewakili kepentingan negara-negara yang baru muncul (Nefos) dan markas besarnya akan berada di Jakarta. Conefo ini jelas mau menyaingi PBB. Konferensi ini tidak pernah diadakan karena meletusnya G-30-S disusul dengan kejatuhan Sukarno.

EVALUASI

a. Bold, cunning, unpredictable

Politik luar negeri Demokrasi Terpimpin dinilai, "Bold, cunning and unpredictable, this conduct tends to keep her opponents off balance. Best illustrated by the method employed to recover West Irian, Indonesia executive astuteness commanded considerable respect from diplomats" (71). Sukarno tidak ragu-ragu untuk mengambil resiko diplomatik dan juga sering tidak memperhitungkan kepentingan ekonomi Indonesia sendiri. Menurut Bunnel, penyebab paling utama langkah-langkah politik ini adalah "the emotional nationalism that was at the forefront of the President's motivation". Nasionalisme yang berkobar-kobar ini juga yang membuat Sukarno memilih diplomasi revolusioner, bukan menempuh cara-cara diplomasi yang biasa (72).

Boldness (keberanian) ini didasarkan pengalaman Sukarno dalam revolusi kemerdekaan. Dia percaya pada "Indonesia's ability to triumph over the most impossible odds. Encouraged by the success of the current revolutionary generation in defeating the Dutch..". Cunning (cerdik), itu seperti bertentangan dengan boldness tadi, tetapi sifat cerdik ini kelihatan dari, "... a deftness in maneuver that won grudging respect from Indonesia's enemies as well as friends. This respect derived from admiration from Sukarno's masterful handling of the West Irian campaign, the success in organizing Ganefo, and Subandrio's finesse in handling conference politics" (72).

b. Soal ekonomi, tidak becus atau resiko?

Bagi negara-negara yang baru merdeka, soal yang mendesak memang soal kemajuan dalam perekonomian. Dalam soal ekonomi ini, "Sukarno himself would admit his low rating. He would debate with his critics only about the degree of his failure in the economic field" (74). Sukarno melihat kesukaran ekonomi yang dihadapi pada masa itu sebagai "the necessary

concomitants of his confrontation foreign policy".

c. Persatuan bangsa, berakar atau cuma di kulit?

Cita-cita Sukarno, persatuan bangsa, itu mendasari politiknya. Berapa efektif langkah-langkah politik Sukarno dilihat dari tujuannya untuk mempersatukan bangsa? "Generally, even Sukarno's opponents will credit him with building in Indonesia, at least for a while, the national feeling that is prerequisite to building a consensus in a transitional society. More directly bearing on political unity is Sukarno's widely recognized accomplishment in balancing and harnessing for a period of time Indonesia's antagonistic ideological, socio-religious, ethnic and regional groupings".

Soalnya, "how lasting was the feeling and substance of unity that Sukarno created. There is no indication that his nasakom formula for political integration took root in the attitudes of major political parties". Dan para pendukungnya, "confessed apprehension about a post-Sukarno period when Indonesia would have the legacy of only the President's vague formulas, not the magic of his personality" (74).

d. Pembangunan watak, apa bisa berakar?

Sukar untuk menilai ini. "It is plain to even the foreign observer that Indonesians of the revolutionary and post-revolutionary generations are much more confident than their elders in dealing with foreigners". Program-program politik Sukarno membuat "politically aware Indonesian a greater sense of his nation's importance". Simbol-simbol kebanggaan nasional itu, seperti monumen-monumen dan menjadi tuan rumah konferensi dan pertandingan olah raga dunia, betapapun besar ongkosnya, memberi kepercayaan bahwa Orang Indonesia bisa melakukan sesuatu yang biasanya dianggap "outside the competence of 'natives'" (75).

Tetapi sekali lagi, pertanyaannya adalah, "it remains unclear in the long run how deep, how extensive, and how lasting these feelings are". Lebih mendasar lagi, " Even if he built unity and confidence, was it

worth the stagnation -- at times -- suffering endures by his people in the economic sphere" (75).

e. Pengaruh ke luar

Kekuatan militer yang dibangun Sukarno memang mengesankan dan berpengaruh. Kampanye Pembebasan Irian Barat bisa dinggap kecanggihan menggunakan kekuatan militer dan kemampuan diplomasi. Sedangkan kampanye Ganyang Malaysia bisa dinilai tidak berhasil. Bahkan menjadi 'bomerang', membuat Indonesia menjadi lebih terkepung oleh kekuatan militer Barat. Yang mengkritik Sukarno akan mengiyakan pendapat 'bomerang' ini. Tetapi pada waktu itu Inggris sendiri sudah mulai mengeluh dengan beban keuangan yang harus dia pikul ketika terpaksa menghadapi politik konfrontasinya Sukarno. Dan AS sendiri juga semakin terpojok akibat perlawanan di Vietnam. Bukan tidak mungkin pengorbanan yang dibutuhkan untuk politik konfrontasi akan bersifat sementara, dan tujuan akhir Sukarno untuk mendepak kekuatan asing dari Asia Tenggara akan bisa tercapai.

f. Apakah ada jalan lain?

Bunnel menutup makalahnya dengan suatu kesimpulan. "And in conclusion, the honest observer must recognize the compelling, if simple, logic of Sukarno's basic approach. Confronted with the reality of Western political and economic dominance in world affairs generally as well as in his own region, Sukarno saw no other way to achieve his personal-national aspiration for influence and respect than by relentlessly battling against the West".