Kompas : 26 Oktober 1995
MASALAH ORGANISASI TANPA BENTUK (OTB)
Frans Seda
SINYALEMEN adanya kegiatan politik organisasi tak berbentuk seperti yang dituturkan Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman --sesudah bertemu Presiden beberapa waktu yang lalu-- mendorong kegiatan dan seruan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya come-back-nya PKI dan/atau kawan-kawannya.
Memang kalau kita menelaah sejarah, maka kewaspadaan itu perlu. PKI yang di-"selesaikan" dan digusur di tahun 1948 dalam coup mereka di Madiun bangkit kembali dan berkembang dengan pesat, sampai di Pemilu pertama RI di tahun 1955 PKI masuk kelompok partai 4 besar, bersama PNI, Masyumi dan NU. Namun walaupun berada dalam posisi besar dan kuat dukungan politik, PKI tidak memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kekuasaan praktis dari negara, disebabkan tentangan dari golongan agama dan ABRI.
Nah, merasa besar tetapi berada pada periferi kekuasaan politik dan pemerintahan merupakan frustrasi politik utama PKI, yang lalu melalui intrik politik, adu domba, intimidasi sampai pada kekerasan fisik berusaha memperoleh dan memainkan peran politik sesuai dengan tuntutannya dalam mandala politik domestik dan internasional. Adalah terkenal dari strategi dan taktik politik PKI pada waktu itu, ialah di tingkat atas (nasional) menyetujui, di tingkat menengah menghasut, di tingkat bawah menyabot.
***
DALAM rangka intrik adu domba, antara gologan agama, saya masih ingat isu yang sering mereka gunakan adalah isu "kristenisasi", di tahun 60-an. Saya pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Partai Katolik dan kemudian menjadi Menteri Perkebunan, hampir setiap minggu dipanggil di Istana (Bung Karno) dan disodorkan laporan dan tuduhan-tuduhan mengenai usaha-usaha apa yang dinamakan "kristenisasi" melalui kegiatan-kegiatan sosial dan kemasyarakatan gereja-gereja atau organisasi Kristen. Itu semua merupakan laporan dari BPI-Badan Pusat Intelijen - dan kita semua tahu bahwa badan itu berada dibawah pengaruh dan pembinaan PKI (salah satu instansi pemerintah yang pertama yang dibubarkan Orde Baru dan pimpinannya ditahan!)
Untung Partai Katolik dan NU begitu erat dan mesra kerja samanya sehingga upaya PKI untuk mengadu-domba golongan Kristen/Katolik dan Islam dengan isu kristenisasi tidak mempan. (Sebab itu mereka lalu memperalat aparat pemerintah)
Frustrasi politik PKI itu lebih meningkat lagi, justru sesudah Bung Karno merangkul PKI dengan upaya pembentukan Kabinet Kaki-4 yang ditolak oleh Katolik, Islam dan ABRI. Situasi dialektis yang timbul, di satu pihak mereka diberi peluang dan restu oleh Presiden, tetapi di lain pihak ditolak oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, merupakan iklim dan medan subur PKI bergiat, malahan makin keblinger. Semboyan yang dilontarkan adalah, bahwa yang anti-PKI adalah antipemerintah dan anti Bung Karno. Begitu gencarnya PKI menguasai iklim dan medan politik, sehingga hampir tidak ada satu pejabat tinggi pemerintah termasuk menteri ataupun tokoh politik yang berani mengritik apalagi melawan PKI secara terbuka, (kecuali pimpinan AD) sebab takut akan sanksi jabatan dan sanksi politik, sebab PKI memiliki akses langsung pada Pemimpin Besar Revolusi.
***
NAMUN Tuhan beserta bangsa ini. Dalam keblingernya/over moed-nya, PKI overacting dengan melakukan sesuatu yang politis logis-rasional, yakni menyingkirkan kekuatan yang paling militan anti-dia, ialah Angkatan Darat dengan mendalangi pembunuhan terhadap enam jenderal AD, Pahlawan Revolusi itu. Reaksi rakyat merupakan surprise bagi PKI dan Bung Karno dan mulailah proses penyingkiran PKI secara fisik, politis dan kemasyarakatan dan bersama itu pula kepemimpinan Bung Karno serta Demokrasi Terpimpin beliau.
Suatu masalah politis yang paling delikat pada waktu itu adalah agar jangan sampai ABRI dan parpol-parpol sampai tergoda/terprovokasi untuk menyingkirkan Bung Karno di luar proses konstitusi. Sebab lantas mereka dapat dituduh melakukan coup terhadap Presiden/pemerintah yang syah. Dan habislah riwayat Orba.
Dalam rangka upaya ini, maka Front Pancasila yang dipelopori NU (Subchan sebagai ketua) dan Partai Katolik (Harry Tjan Silalahi sebagai Sekjen) malahan berupaya terus menerus berkomunikasi dengan Bung Karno dan berusaha membebaskan beliau dari "selfimposed" isolasi politik di istana, dengan mengadakan rapat-rapat raksasa dan mengundang Bung Karno. Salah satunya, dan yang pertama dilakukan adalah rapat raksasa yang diorganisir oleh Front Pancasila pada tanggal 9 Oktober 1965 di Lapangan Banteng Jakarta. Bung Karno menolak untuk hadir dan mengutus Waperdam III, Dr Leimena (Oom Yo!). Rapat raksasa menghasilkan sebuah isolasi yang terdiri dari 22 points, antara lain pembubaran Kabinet, PKI dan pernyataan SOB untuk seluruh negara, dan mengutus saya untuk mendampingi Dr Leimena memberi laporan pada Bung Karno.
Diterima di serambi Istana Merdeka, baru duduk, kami terus di"damprat" Bung Karno: "Oom Yo dan Frans, jangan sampai kamu menjadi alat Nekolim dan CIA yang sekarang berkeliaran mendongkel aku!". "Tidak, Bung", jawab saya. Rakyat, parpol dan ABRI malahan ingin tetap mendukung Bapa Presiden dengan menyampaikan keinginan-keinginan sesuai kenyataan!. "Kenyataan apa!", Bung Karno menyela. Semua diam, karena Bung Karno marah-marah lalu Dr Leimena menyampaikan laporan dan apa yang telah beliau sampaikan di rapat raksasa. Presiden, dan saya membaca resolusi yang terdiri dari 22 points itu.
Waktu tiba di tuntutan - SOB - seorang Waperdam lain yang mendampingi Bung Karno menyela: "Bung Frans, apakah mau diperintah oleh seorang Sersan". "Mengapa tidak", sahut saya. "kalau sersan itu melindungi saya, daripada seorang sipil yang gorok leher saya!". Pembicaraan selanjutnya adalah mengenai siasat dan strategi Nekolim untuk menghancurkan kesatuan bangsa Indonesia.
Upaya untuk membebaskan Bung Karno dari isolasi politik dan berkomunikasi dengan kekuatan Orba dilakukan antara lain juga dengan mencoba mempertemukan Bung Karno dengan KAMI. Bung Karno mati-matian tidak mau. Pada akhirnya setuju. Tetapi dengan KAMI Jaya, Saya diminta mendampingi. Baru duduk, Bung Karno langsung menanya marah ..."Mengapa kamu demonstrasi!" Jawab: "Kami melakukan "machtsvorming" dan machtsaanwending sesuai ajaran Bapa!". "Tetapi itu terhadap Nekolim, bukan terhadap saya". Jawab: "Bagi kami hanya ada yang bathil dan yang benar. Yang bathil dari mana pun datangnya, kami tentang dan yang benar dari mana pun datangnya kami dukung!".....
Pembicaraan selanjutnya mengenai strategi, siasat Nekolim dan imperialisme untuk kembali menguasai Indonesia khususnya melalui organisasi dari kaum muda dan kaum intelektual.
Seusai pertemuan saya mengikuti Bung Karno ke kamar kerja beliau di sebelah (di Istana Merdeka) dan menyampaikan kesan saya, bahwa terlihat ada satu gap antara kita kaum tua, pemerintah dengan kaum muda. Kita terkungkung oleh suatu obsesi/trauma terhadap imperialisme dan nekolim, sementara mereka karena tidak mengalaminya, malahan terobsesi dengan kesalahan-kesalahan/kekeliruan/kekhilafan-kekhilafan politik yang kita lakukan, sehingga terjadilah gap dalam hal apreasi dan persepsi politik. Juga sudah ada suatu generasi baru, yang tidak mau lagi dipaksakan untuk turut saja obsesi/trauma politik kita. "Ah, mereka dihasut!", kata Bung Karno.
***
DARI sejarah dan pengalaman ini jelas bahwa sesuatu yang sudah menjadi trauma dan obsesi tidak bisa merupakan guru yang baik dalam kita melakukan apreasiasi dan tindakan-tindakan politik. Waspada itu merupakan suatu keharusan namun tidak boleh didasarkan dan didorong oleh suatu trauma/obsesi. Sebab seperti apa yang dituturkan disini, hal itu bisa fatal bagi yang melakukannya.
Melakukan sesuatu kebijakan/kebijaksanaan berdasarkan suatu obsesi/trauma (juga dalam hal OTB) mengaburkan pikiran, akal dan apresiasi kita dan menempatkan permasalahan secara hitam-putih, secara generalisasi dan kesalahan/kekeliruan sendiri dituduhkan kepada pihak lain/lawan.
Ambil masalah tuntutan akan demokratisasi, hak-hak asasi manusia, dan perhatian terhadap lingkungan. Berdasarkan trauma/obsesi, maka tuntutan-tuntutan dinilai sebagai pengaruh dari luar dan kalau mengandung kritik terhadap pemerintah dinilai sebagai kegiatan OTB. Sedangkan tuntutan akan demokratisasi, akan hak-hak asasi manusia/warga negara dan perhatian terhadap lingkungan adalah tuntutan-tuntutan yang timbul dari perkembangan/dinamika dari dalam masyarakat kita sendiri yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, menghadapi proses globalisasi dengan revolusi komunikasi dan transportasinya, dan menghadapi proses industrialisasi dan urbanisasi yang serba intensif. Dan tuntutan-tuntutan itu adalah legal dan konstitusional sebab semua ada referensinya dalam Pancasila dan UUD '45. Juga dengan adanya generasi muda, yang seperti generasi sebelum mereka di tahun 1966, yang tidak mau begitu saja menerima norma-norma, nilai-nilai dari kita kaum tua yang sedang memegang pimpinan pemerintahan dan pembangunan.
Perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap (praktek-praktek) PKI dan kawan-kawannya tetapi bebas dari trauma/obsesi yang berkelanjutan terhadap apa yang terjadi 30 tahun yang lalu, agar kewaspadaan terhadap OTB tidak menjadi OBSESI yang terus berlanjut (Otb) dan menjurus kepada keadaan OTBB-Orang Tidak Boleh Bicara.
* Frans Seda, pengusaha, pengamat masalah ekonomi-politik.