DEMOKRASI KEBUN BINATANG

Taufiq Ismail

Dalam acara Pemuda Muhammadiyah, 28 Mei, memperingati 2 tahun reformasi, bersama 6 seniman saya serta membacakan puisi saya "Kucing Jinak Dipaksakan Berdemokrasi dengan Kucing Hutan". (Metafor kucing hutan dari Asrul Sani). Salah satu yang hadir Presiden Abdurrahman Wahid.

Saya menduga dia akan mengomentari puisi saya itu, tapi taksiran saya meleset. Dia tidak berselera memberi komentar terhadap reaksi keras masyarakat yang menentang usulnya mencabut Tap MPRS no XXV / 1966. Presiden menepis semua puisi itu dengan, "Ah, itu kan cuma puisi protes saja." Tapi karena saya menyebut kucing dalam sajak humor saya, Presiden menukas, "Nah, saya punya anekdot tentang harimau".

Lelucon itu tentang seorang yang dikejar macan, dan berhenti di tebing jurang. Setengah mati ketakutan dia berdiri, memejamkan mata dan berdoa. Sehabis dia berdoa, dibukanya matanya. Dia terkejut melihat harimau yang mengejarnya tadi berdiri di sisinya, juga menutupkan mata. Orang ketakutan itu bertanya, "Yang pantas berdoa kan saya. Kenapa kamu berdoa juga?" Harimau itu menjawab: "Lha, saya kan berdoa sebelum makan." Hadirin tertawa gemuruh. Dengan lelucon itu persoalan (sepertinya dianggap) selesai.

Mari kita bersama-sama pergi ke kebun binatang, karena persoalan belum selesai. Kita dengarkan bersama gagasan pimpinan baru kebun binatang yang ingin mereposisi sebuah kandang penting. Penduduk kandang itu kambing, kancil, kelinci, kijang, kucing, kuda, anjing, domba, sapi, kerbau, gajah, rusa, perkutut, burung hantu, dan jerapah. Karena sudah 34 tahun lamanya serigala dikucilkan, pak kepala berminat benar memasukkan serigala ke dalam kandang besar itu.

Alasannya adalah bahwa demokrasi hewan harus ditegakkan, termasuk demokrasi serigala. Menurut serigala, ukuran demokrasi adalah "sama-sama hewan", dan gagasan ini dengan gigih didukung kepala kebun binatang. Ke-15 hewan lainnya itu tak setuju. Menurut mereka, definisi demokrasi adalah "sama-sama hewan yang tidak memakan satu sama lain". Pak kepala, ganjilnya, tak menerima logika ini dan tetap berfihak kepada definisi demokrasi serigala.

Pada suatu hari dia membawa seekor hewan berkaki empat ke depan kandang itu. "Kalian tengoklah makhluk penyabar ini. Nah, kan dia jinak dan baik hati," kata pak kepala. Ke-15 hewan itu berteriak. "Lho, itu kan serigala, yang memakai jaket kulit kambing dan memakai telinga kambing palsu!" seru mereka. "Biar menyamar seperti apa, pak kepala, kami tetap kenal betul bau keringat badannya!"

Keesokannya dia datang ke depan kandang, menuntun lagi makhluk itu. "Coba perhatikan ciptaan Tuhan ini, bukankah dia jinak dan baik hati?" tanyanya. Ke-15 hewan penghuni kandang bersorak. "Yaaah, itu kan serigala menyamar lagi, yang memakai rompi bulu domba, dan memakai tanduk domba palsu!" seru mereka. "Biar menyamar seperti apa, pak kepala, biar bulunya wol putih seperti domba Ostrali, kami tetap kenal gigi dan taringnya yang runcing-runcing itu!"

Kepala kebun binatang kesal. "Bagaimana ini kalian, kok tidak menghormati demokrasi serigala? Hargailah hak asasi hewan, artinya, jangan mengucilkan hewan apa pun," katanya.

Ke-15 hewan penghuni kandang berebutan bicara. "Bagi kami, hak asasi hewan adalah tidak mempertakuti hewan yang lain. Serigala ini dulu, 42 tahun yang lalu, juga 34 tahun yang lalu, bukan saja mempertakuti, tapi memakan daging penghuni kandang yang lain. Buas sekali dia ini. Pak kepala kok seperti tidak belajar biologi. 34 tahun silam, di mana pak kepala ?"

Kepala kebun binatang tidak pernah menjawab pertanyaan ini. Hewan-hewan itu berebutan bicara, "Bagaimana pak kepala ini? Jangan-jangan nanti dimasukkannya juga macan dan ular kobra ke dalam kandang kita ini, demi demokrasi serigala."

Melalui mesin waktu, lewat terowongan dengan angin taifun berputar tiba-tiba kita sampai di gedung DPR-MPR. Anak-anak tukang koran menjual harian sore tahun 2001. Sebuah jumpa pers sedang berlangsung, dipimpin Kepala Humas.

--- Saudara pimpinan. Kenapa Partai Nazi, yang dilarang di Jerman, di negara demokratis itu, dibolehkan dibentuk di dalam DPR kita?

--- Begini, bung. Sesudah Tap XXV / 1966 dicabut, maka betul-betul kita sepenuhnya melaksanakan demokrasi. Kita paling demokratis di dunia. Republik Federasi Jerman itu, katanya saja demokratis, tapi toh di sana ideologi Nazi dilarang. Aneh itu. Padahal Nazi itu cuma membunuh 6 juta orang Yahudi saja di masa perang dunia II. Ideologi komunisme, yang membunuh 100 juta orang sedunia saja, kita izinkan hidup kembali partainya di Indonesia, apalagi ideologi Nazi.

--- Saudara pimpinan. Kenapa Partai Fasis Mussolini yang tak boleh hidup di Itali itu, dibolehkan berdiri di Indonesia?

--- Begini, bung. Kita demokrat tulen di atas jagat raya ini. Itali itu katanya saja demokratis, tapi fasisme kok tabu di sana. Kita tunjukkan pada mereka, bahwa rezim ini betul-betul 100 persen demokratis. Bukan saja Partai Fasis, tapi juga Partai Homo dan Partai Lesbo sudah berdiri sekarang.

--- Saudara pimpinan. Apakah benar ada penyuapan anggota MPR, praktek money politics, yang memberi suara mencabut Tap XXV dalam sidang yang lalu, sebanyak lima trilyun, yang diduga datang dari negara kaya yang ingin melihat negara kita tercabik-cabik?

--- Tidak betul itu. Jumpa pers selesai.

Di kebun binatang, ternyata bukan cuma serigala yang masuk kandang, tapi juga macan dan ular kobra. Demokrasi serigala tegak di kebun binatang itu.***

(Gatra, Mei 2000)