KETIKA POLITIK TURUN KE JALAN
DANIEL LEV TENTANG DEMOKRASI TERPIMPIN
T: Kami sudah wawancara Ben Anderson tentang pembunuhan massal pada tahun 1965. Pembunuhan itu menjadi titik akhir dari Demokrasi Terpimpin, dan awal dari Orde Baru. Beberapa hal yang dia utarakan antara lain: Itu terjadi karena Suharto dkk memakai media massa untuk mengadakan kampanye fitnah tentang Lubang Buaya; Karena RPKAD memang dikirim ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali untuk mengadakan pembunuhan; Karena bentrokan antara PKI dengan kelompok agama gara-gara soal tanah; Karena soal ekonomi yang sangat buruk, dsb. Ben Anderson juga mencatat beberapa kesalahan pimpinan PKI waktu itu. Kami ingin mendengar komentar ringkas dari Pak Dan tentang pikiran Ben Anderson itu.
J: Pada umumnya saya setuju dengan analisis dan pandangan Ben. Hanya saya kira perlu tambahan sedikit tentang rejim Demokrasi Terpimpin dan suasana pada waktu itu. Saya sendiri mengalami masa itu karena berada di Indonesia pada tahun 1959 sampai 1962, lalu kembali lagi pada bulan Oktober 1964 sampai bulan Januari 1965.
T: Memang dari Pak Dan kami ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang politik dari pembunuhan massal tahun 65 itu. Kami ingin tahu apa yang terjadi pada jaman Demokrasi Terpimpin.
Pemilu Daerah 1957
J: Ceritanya agak panjang. Sebaiknya kita kembali ke tahun 1957, setelah Pemilihan Umum Daerah untuk memilih anggota DPRD. Dari Pemilu-57 itu terlihat bahwa di hampir semua tempat PKI makin kuat. Malahan kalau kita memeriksa hasil Pemilu Daerah itu, terlihat PKI sudah menjadi partai yang paling kuat di Indonesia. Lalu ini menimbulkan semacam reaksi. Itu hal yang pertama.
Lalu suasana waktu akhir tahun 50-an itu juga sangat dipengaruhi oleh PRRI/Permesta. Akibat PRRI ini, Masyumi makin lemah. Dalam kedua partai yang besar lainnya, PNI dan NU, muncul ketakutan kalau PKI akan bertambah kuat lagi. Akibatnya pimpinan PNI, NU, Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, PSI, dll semua memutuskan untuk tidak usah diadakan pemilu lagi yang rencananya akan diadakan tahun 1959. Karena mereka pikir mungkin sekali PKI yang akan menang. Pokoknya kebanyakan partai yang berpengaruh ternyata rela mengorbankan pemilihan, yang merupakan dasar daripada sistim parlementar, karena kuatir kekuatan PKI.
Undang-undang Keadaan Perang-1957
T: Pada bulan Maret 1957 diumumkan Undang-Undang Keadaan Perang atau SOB. Apa dampaknya untuk politik akhir tahun 50-an ini?
J: Sangat menentukan. Dari satu sudut SOB bisa dianggap kemenangan luar biasa untuk Jenderal Nasution. Pada waktu itu, sejak 1956, sudah muncul macam-macam kesulitan di daerah. Ada penyelundupan di Sulawesi dan Sumatra, kritik terhadap dominasi Jawa, dan ada pengaruh Perang Dingin -- yaitu campur tangan Amerika Serikat -- dari luar.
Yang memainkan peranan besar dalam keresahan di daerah-daerah itu, baik di Sulawesi maupun di Sumatra, adalah panglima-panglima lokal. Terutama yang di Padang, Medan, Makasar dan Menado. Nah, ini membuka kesempatan bagi Pak Nas dan stafnya di Jakarta, yang memang sudah lama tidak senang dengan sistim politik Demokrasi Parlementer.
Kalau kita mundur sedikit lagi, tahun 1952 Pak Nas sudah memberi tahu bahwa sistim politik yang ada waktu itu sangat lemah dan membuat kacau keadaan. Dan tanggal 17 Oktober itu dia minta perubahan yang mendasar. Tapi waktu itu Bung Karno menolak dengan tegas. Pada akhir 1956, Pak Hatta sudah meletakkan jabatan, tidak jadi wakil presiden lagi. Padahal dia yang dianggap tokoh yang dihormati oleh orang-orang luar Jawa. Kemudian Bung Karno juga sudah mulai menghantam sistim kepartaian waktu itu.
Kabinet Ali ke-2 sudah mengaku tidak bisa mengatasi keadaan yang kacau itu. Pak Nas meminta supaya tentara diberi peranan yang lebih besar, sebagian karena memang tentara di luar Jawa yang menyebabkan kesulitan ini. Lalu tgl 14 Maret disetujui untuk mengumumkan Keadaan Perang, SOB itu. Walaupun harus dimengerti juga bahwa sebelumnya di beberapa daerah memang sudah dinyatakan dalam keadaan perang. Tapi pada bulan Maret 1957 untuk pertama kalinya keadaan perang dinyatakan untuk seluruh Indonesia.
Artinya, sejak saat itu -- sampai tahun 1963 ketika SOB dicabut -- tentara akan berperan dalam segala hal. Yaitu dalam soal politik, soal ekonomi, soal pers, dll, baik di pusat maupun di daerah. Dan sejak itu tentara mulai duduk di kabinet, parlemen, jadi gubernur, bupati, dst.
T: Bagaimana sikap Bung Karno sendiri tentang SOB ini?
J: Dalam hal ini BK merasa dipojokkan. Dalam suasana itu, tahun 57 timbul ide dari Bung Karno yang disebut "Konsepsi Bung Karno." Dia mulai memikirkan semacam rejim Demokrasi Terpimpin. Tapi sebetulnya waktu itu belum ada konsepsinya yang jelas. Dia baru mulai omong sedikit tentang sistim politik yang lain. Tapi belum terang betul apa wujudnya. Dan belum ada bukti bahwa BK memang betul-betul punya ide yang baru.
Yang kemudian mengambil inisiatif adalah Angkatan Darat, yaitu Nasution sendiri. Bung Karno sangat tertekan. Dalam partai-partai lain sudah ada kecendrungan bukan hanya untuk menunda Pemilu-59, tetapi juga untuk berpihak pada tentara yang dianggap sebagai kekuatan yang bisa membendung PKI. Kemudian Pak Nas dkk mulai ambil inisiatif sendiri.
Sesudah dinyatakan SOB, Bung Karno terpaksa mulai kejar. Dia coba menciptakan suatu sistim yang bisa antara lain mengelakkan dominasi Angkatan Darat. Pada pertengahan 1957, misalnya, dia membentuk Dewan Nasional sebagai badan penasehatnya. Pak Juanda, yang tidak berpartai, diangkat sebagai perdana menteri pada bulan April 1957. Dari satu sudut Bung Karno nampaknya sudah bisa mengatasi keadaan. Tetapi dari lain sudut beliau terbatas sekali kemampuannya. Umpamanya, partai-partai mulai disingkirkan, yang cocok dengan keinginan Bung Karno atas sistim lain, akan tetapi juga lama-kelamaan justru memperlemahkan kekuatan politik yang bisa menolong untuk membatasi tentara.
Sejak tahun 1957 inisiatif terus diambil oleh Pak Nas dan Angkatan Darat. Atas dasar SOB Angkatan Darat semakin masuk dalam politik. Terutama di daerah-daerah. Kalau di pusat masih agak sulit karena adanya Bung Karno sendiri dan pimpinan partai-partai.
T: Apa sebabnya partai-partai setuju dengan SOB?
J: Sebagian karena mereka, terutama PNI -- tetapi Masyumi dan NU juga -- mulai ragu apakah pemerintah mampu mengatasi keadaan di daerah. Ditambah lagi dengan perasaan bahwa rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan pada pemerintah. Ada banyak anggota Parlemen yang tidak setuju dengan pernyataan SOB, tetapi yang menolak terutama PKI. Begitu juga pada tahun 1958, ketika akan diumumkan untuk menunda Pemilu-1959. Semua partai penting setuju, kecuali PKI. Pimpinan partai-partai lain kuatir melihat hasil Pemilu Daerah-1957.
Kampanye Sita Modal Asing
T: Setelah usaha diplomasi di PBB untuk memperoleh kembali Irian menemui jalan buntu, kampanye Sita Modal Belanda dijalankan sejak Desember 1957. Tentara kemudian menjadi pewaris dari perusahaan-perusahaan Belanda (perkebunan, pertambangan, dsb) yang disita. Apa dampaknya dalam politik Demokrasi Terpimpin?
J: Kampanye sita modal asing itu mula-mula dipelopori oleh serikat buruhnya PNI. Baru kemudian PKI. Lantas pada tahun 1958, perusahaan-perusahaan yang disita itu dinasionalisasi. Kemudian dengan cepat Angkatan Darat yang masuk dan menguasai bekas perusahaan- perusahaan asing itu. Sejak itu Angkatan Darat sudah mulai mendapat sumber keuangan sendiri dan dari situ mulai berperan dalam ekonomi.
Tapi akibat dari SOB dan kampanya sita modal asing itu, pada tahun 1957 dan 1958 tentara sudah memainkan peranan besar dalam politik dan ekonomi di seluruh Indonesia.
Jalan Tengah Nasution
T: Bulan Nopember 1958 Pak Nas mengumumkan Doktrin "Jalan Tengah Tentara." Dia antara lain bilang bahwa "TNI bukan seperti tentara di negara Barat yang menjadi alat pemerintah, dan bukan juga seperti tentara di Amerika Latin yang menjadi penguasa." Apa latar belakang munculnya Doktrin Jalan Tengah ini?
J: Dari satu sudut, apa yang dikatakan Pak Nas itu memang betul. Tentara adalah organisasi yang baru lahir dalam revolusi kemerdekaan. Terdiri atas orang-orang yang masih muda. Pada waktu revolusi tentara sudah mulai bentrok dengan orang-orang sipil mengenai diplomasi dengan Belanda. Banyak perwira itu tidak senang dan tidak menghormati pimpinan sipil. Tetapi selain itu mereka sudah mulai menganggap diri sebagai suatu kelompok yang berhak untuk turut menentukan politik.
Kebanyakan perwira adalah orang-orang yang pada jaman kolonial bisa disebut berasal dari semacam kelas menengah. Bukan dari kalangan bangsawan atau priyayi. Kalau tidak ada revolusi, mereka tidak akan mendapat kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat. Tapi setelah revolusi mereka menganggap diri cukup penting, ambisius, dan berhak untuk turut main.
Sesudah revolusi, sejak awal tahun 50-an mulai timbul ketegangan dalam hubungan sipil-militer. Tentara sering merasa diintervensi oleh sipil. Kementerian Pertahanan waktu itu menginginkan anggaran belanja yang cukup besar, tetapi tidak dipenuhi tuntutannya. Dan ada kritik juga dari DPR terhadap tentara.
Sejak tahun 50-an itu tentara sudah muncul sebagai organisasi yang memikirkan urusan politik, bukan hanya dalam arti permainan birokratis seperti semua tentara di mana pun, tetapi juga sudah mulai berpengaruh di satu-dua koran, sudah mulai mencari kontak-kontak politik, dan ada beberapa perwira yang berpengaruh dalam macam-macam golongan. Misalnya Pak Simatupang berpengaruh di PSI. Bambang Utoyo dekat dengan PNI, dsb.
Apalagi setelah ada pemberontakan di Maluku (RMS) dan Kalimantan, lalu Darul Islam di Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Aceh. Tentara terus terlibat dalam perang di dalam negeri. Perang saudara macam ini membentuk pendirian para perwira pada jaman itu terhadap Islam yang berpolitik, antara lain. Tetapi yang lebih penting lagi, pengalaman ini dengan sendirinya mempengaruhi pandangan perwira terhadap politik pada umumnya. Termasuk perasaannya tentang pimpinan sipil dan tentang kemampuan dan pertanggungjawaban tentara sendiri.
Perkembangan selanjutnya di tahun 50-an membuat tentara menganggap orang-orang sipil ini tidak mengurus tentara dengan baik. Akibat semua pengalaman itu timbul keinginan untuk menentukan sendiri politik pemerintah. Ini jelas sekali terlihat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, yang antara lain menjelmakan konflik di dalam korps perwira yang cukup berpengaruh atas evolusi pandangan politik pimpinan Angkatan Darat. Pokoknya, sebelum tahun 1956 tentara sudah merupakan semacam kelompok politik. Bukan hanya kelompok militer profesional. Hanya saja, pandangan politiknya, formulasinya, belum terang.
Rumusan yang utuh belum ada pada tahun 1952. Sebagian karena perpecahan di dalam tentara sendiri, karena konflik dengan pimpinan pemerintah, kesulitan memikirkan keinginan politik dan ideologis terhadap sistim politik yang ada, dstnya. Bagaimana merumuskan semua itu? Nah, sejak tahun 1957 Pak Nas mulai merumuskan ide-idenya setelah mengadakan kontak dengan orang-orang seperti profesor Djoko Sutono dari Fakultas Hukum UI.
Jalan Tengah Tentara itu dirumuskan Pak Djoko. Tetapi ide awalnya memang sudah ada dalam pemikiran Pak Nas. Saya kira Pak Nas sudah lama mengerti betul bahayanya kalau tentara merampas kekuasaan negara. Berbahaya buat negara, berbahaya juga buat Angkatan Bersenjata sendiri. Karena banyak orang, termasuk perwira, yang akan menentang atau akan berebut kedudukan dan pengaruh. Tapi pada tahun 1958 Pak Nas tahu, dan semua elite sipil juga tahu, bahwa tentara tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Sesudah SOB dan Sita Modal Asing itu tentara sudah berperan besar dalam politik dan juga ekonomi. Lalu Pak Nas dan cukup banyak perwira lain tidak mau melepaskan peranan itu.
Organisasi Teritorial AD
T: Sejak kapan Angkatan Darat mulai membentuk organisasi teritorial yang sejajar dengan organisasi pemerintahan sipil? Seperti kodam sejajar dengan propinsi, kodim sejajar dengan kabupaten, koramil sejajar dengan kecamatan, babinsa sejajar kelurahan, dsb.
J: Yang lebih mengerti soal ini Ruth McVey. Karena dia sudah mempelajari perkembangan organisasi Angkatan Darat dalam masa transisi setelah revolusi kemerdekaan. Kalau menurut saya ide organisasi teritorial itu diterapkan di seluruh Indonesia waktu SOB diundangkan. Mulai tahun 1957-58. Walaupun di beberapa tempat, misalnya di Jawa Barat, sebelumnya sudah ada organisasi teritorial tentara seperti pemerintahan sipil.
Tetapi sesudah SOB Angkatan Darat mulai mempertimbangkan organisasi yang lebih kompleks dan lengkap untuk dibebankan pekerjaan yang jauh lebih luas daripada pertahanan saja. Seperti Civic Mission, atau Operasi Karya itu, yang formulasinya berasal dari Amerika. Walaupun ide awalnya sudah ada sejak menumpas DI di Jawa Barat. Tetapi kemudian juga dipengaruhi oleh ide tentang peranan militer di Amerika Selatan yang dipelajari dalam kursus di AS.
Kalau membaca bukunya Pak Nas sendiri tentang Perang Gerilya, ide organisasi teritorial itu terlihat sudah ada bibitnya. Yang didasarkan atas kebutuhan kalau ada serangan dari luar.
Motivasi Perwira AD
T: Sudah agak jelas tentang sepak terjang pimpinan Angkatan Darat menjelang Demokrasi Terpimpin ini. Yang masih kurang jelas adalah motivasinya. Bisakah Pak Dan menjelaskan lagi apa motivasi pimpinan AD selama Demokrasi Terpimpin?
J: Ada macam-macam motivasi karena memang ada macam-macam perwira waktu itu. Pertama, tentunya mereka menginginkan status sosial yang lebih tinggi.
T: Setelah revolusi, pimpinan AD adalah elite yang status sosial dan ekonominya meningkat pesat. Sebagai lembaga, AD juga mewarisi semua kompleks bangunan fisik bekas KNIL dan Peta. Mulai dari kompleks perumahan, tempat latihan, perkantoran, gudang, perlengkapan, dsb. Secara keseluruhan, AD mendapat keuntungan sangat besar setelah revolusi. Apalagi setelah 1958 mereka juga yang kemudian mewarisi perusahaan-perusahaan Belanda.
J: Ya, tapi itu dirasakan tidak cukup.
Motivasi kedua, karena mereka yang merasa memenangkan revolusi, tapi lalu pimpinan sipil yang ambil oper. Dan ketiga, ya mereka merasa pimpinan sipil itu memang nggak becus, terlalu korup, tidak tegas, main-main, dll. Dan militer bisa lebih baik. Banyak perwira yang memang merendahkan pimpinan sipil.
Pada waktu revolusi memang perwira merasa selalu diganggu oleh pimpinan sipil. Karena orang-orang sipil itu merasa yang terbaik adalah melakukan perundingan, tawar-menawar, diplomasi. Pimpinan tentara tidak setuju itu.
T: Tapi kan cukup banyak juga pimpinan sipil yang memang berjuang secara politik, ekonomi dan juga militer. Seperti misalnya Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Atau Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin.
J: Tapi bukan mereka yang kemudian memegang pimpinan negara.
T: Tentang persepsi "Yang memenangkan revolusi itu adalah militer," apa itu cocok dengan sejarah perjuangan kemerdekaan. Perjuangan itu sudah dimulai sejak Jaman Pergerakan dengan berdirinya Serikat Islam (1912). Kemudian dengan berdirinya PKI (1920), PNI (1927), dst. Sudah lebih dari 30 tahun orang berjuang, sudah ribuan orang korbannya, sebelum proklamasi-45.
J: Yang dimaksud oleh pimpinan militer dengan revolusi adalah selama tahun 1945 s/d 1949. Itu suatu masa yang luar biasa, betul-betul ada peperangan. Dalam masa itu mereka memang berperan besar sekali. Dan memang ada yang mati, ada yang hilang, ada yang betul-betul ikut perang, dsb. Buat mereka itu suatu saat yang menentukan.
Dari sudut sipil, tentunya mereka yang merasa menang lewat jalan diplomasi. Dan selain itu mereka memang merasa Indonesia harus mempunyai pemerintahan sipil. Militer harus tunduk pada pimpinan sipil. Dan ini menjadi semacam perbedaan ideologi juga. Kalau dilihat dari sudut sejarah Indonesia, pimpinan sipil itu lama, sedangkan pimpinan militer itu baru.
T: Waktu kami ngobrol dengan Pak Kahin (9 Maret 1996) tentang revolusi kemerdekaan ini, antara lain dia bilang bahwa, "Perang gerilya itu sendiri adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan yang panjang." Dan dalam perang gerilya selama 1948-1949 itu perlawanan rakyat sangat meluas. Katanya, "Popular resistance was very impressive."
J: Tapi kalau dilihat dari sudut orang-orang yang ikut dalam revolusi itu, dengan sendirinya orang sipil akan menonjolkan peranan sipil dan orang militer akan menonjolkan peranan militernya. Dan kedua-duanya merasa menang. Kalau dilihat secara netral, dari sudut yang tidak berpihak, keduanya memang berhasil mengalahkan Belanda. Tapi dari sudut politik intern, baik pimpinan sipil maupun pimpinan militer merasa mereka lah yang memenangkan revolusi itu.
Lantas, sampai sekarang perwira yang cukup tua itu selalu merasa berhak partisipasi dalam pemerintahan. Persis karena merekalah yang memenangkan revolusi. Mereka yang mengalahkan Belanda.
T: Tapi itu kan persepsi, bukan kenyataan?
J: Ya, dalam politik semua itu persepsi, kan?
T: Apa ada kemenangan militer, kemenangan dalam medan pertempuran, yang sangat menentukan. Kemenangan yang kemudian memaksa Belanda angkat kaki dari Indonesia? Seperti misalnya kemenangan rakyat Vietnam melawan Perancis dalam pertempuran di Dien Bien Phu.
J: Dari sudut militer, merekalah yang sudah konfrontasi, yang tembak menembak, yang mempertaruhkan nyawa.
T: Perang gerilya selama tahun 1945-47 (dari Proklamasi sampai Linggajati) itu adalah perlawanan rakyat yang meluas. Laskar-laskar yang bergerak. Perang terbesar, Pertempuran Surabaya, itu contoh perlawanan rakyat yang paling hebat waktu ABRI atau TNI belum lahir. Perang gerilya sesudah Agresi-2 (dari Desember 1948 s/d Perjanjian Roem-Royen Mei 1949), itu praktis cuma satu semester. Tapi tanpa kesadaran rakyat untuk melawan secara meluas, baik laskar maupun tentara itu bisa apa? Dan kesadaran rakyat itu kan dibangun selama berpuluh tahun.
J: Coba kamu pikirkan dari sudut militer. Dari sudut mereka yang penting adalah apa yang mereka kerjakan. Begitu juga Bung Karno, Hatta, dll itu. Bagi mereka yang penting adalah apa yang sudah dikerjakan orang sipil, dan tentara itu harus tunduk pada pimpinan sipil.
Sedangkan dari sudut pimpinan militer, orang-orang sipil itu kerjanya hanya omong saja, berdebat saja. Mereka tidak bisa memimpin dengan baik. Akibatnya ada DI, RMS, dan macam-macam lagi. Lalu orang-orang sipil itu tidak mau menghadapi langsung, mereka terus saja omong. Tentunya banyak orang militer yang lalu pikir, "Wah, gimana ini? Kita yang benar-benar berdiri di garis depan, yang rela mati. Sedangkan orang-orang sipil itu cuma omong terus. Atau lari."
Dalam debat "Siapa yang memenangkan revolusi" ini, apakah sipil atau militer, memang ada yang suka dilupakan. Karena sebetulnya yang memenangkan revolusi itu adalah rakyat. Perang gerilya memang tidak mungkin tanpa dukungan rakyat. Pimpinan sipil juga tidak bisa berbuat apa-apa tanpa sokongan rakyat, bukan?
T: Betul.
J: Dan rakyat juga yang selalu menderita. Baik selama revolusi maupun sesudahnya. Sesudah tahun 1950, justru rakyat yang hidupnya paling susah. Tapi dari sudut politik itu memang biasa. Di manapun juga.
Politik Turun ke Jalan
T: Bagaimana suasana setelah Dekrit 59?
J: Sesudah Dekrit 5 Juli 1959, "Kembali Ke UUD-45," Demokrasi Terpimpin mulai jalan. Kelihatan bahwa sebagian dari PNI, NU, Parkindo, Katolik, PSI, dan terutama dari Masyumi, semuanya memandang Angkatan Darat sebagai kekuatan politik yang paling penting bukan hanya untuk melawan PKI tetapi juga untuk mengontrol Bung Karno. Ada grup-grup lain, umpamanya sebagian PNI, Partindo yang dihidupkan lagi tahun 1958, dan Baperki yang merasa terikat pada Bung Karno dan rela mengikuti dia hampir ke mana saja.
Dalam keadaan baru ini, PKI sebetulnya yang paling rugi dari satu sudut. Sejak tahun 1953 PKI sudah memutuskan untuk memilih jalan parlementer. Padahal sesudah Dekrit itu, parlemen hasil Pemilu-55 tidak diperbarui pada tahun 1959 dan kemudian malah dibubarkan pada tahun 1960. Gantinya adalah DPR-Gotong-Royong yang lemah karena tidak ada pemilu lagi. Anggota parlemen tidak lagi dipilih tetapi diangkat atau ditunjuk oleh presiden.
Akibatnya, PKI dan juga partai-partai lain sekonyong-konyong terpaksa mengikuti permainan politik yang sama sekali lain. Partai-partai itu sudah tidak ada target lagi karena sudah tidak ada pemilu. Ini berarti forum kepartaian sudah tidak jalan lagi. Akibatnya partai sendiri menjadi tidak begitu penting lagi. Yang menjadi lebih penting adalah ormas-ormasnya. Yaitu organisasi buruh, tani, pemuda, cendekiawan, wanita, seniman. Ormas-ormas itu yang kemudian mulai bergerak. Tetapi forum mereka bukan lagi parlemen, tetapi jalanan!
Akibatnya, dalam masa Demokrasi Terpimpin politik itu mulai mengalir ke bawah. Dan sulit untuk dikontrol dari Jakarta oleh para pemimpin partai yang seolah-olah melepaskan ormasnya. Gaya politik menjadi berubah sama sekali. Yang makin penting bukan perdebatan, diskusi, kompromi, dsb. Melainkan pertandingan kekuatan, demonstrasi, kontak ke atas, pendekatan pada Bung Karno, macam-macam gerak-gerik di bawah tanah dan di belakang pintu.
Di antara kelompok yang paling mahir dalam politik jalanan adalah PKI. Antara lain karena BTI (Barisan Tani Indonesia) organisasinya kuat dan punya isu yang betul dekat dengan kaum tani, yaitu memperjuangkan landreform, dsb. Dan organisasi buruhnya, SOBSI, juga lebih terorganisir dibandingkan ormas buruh parpol-parpol lainnya. Dalam PKI sendiri, ide dan semangat itu boleh dikatakan cukup besar. Sedangkan organisasi lain, kecuali NU, tidak begitu kuat.
Sesudah tahun 60, sejak politik itu turun ke jalan, mulai muncul ketegangan di daerah-daerah. Yang menjaga ketegangan itu supaya tidak meletus adalah tentara. Yang mencari semacam keseimbangan adalah Bung Karno.
Kalau sekarang kita memandang ke belakang, memikirkan kembali sejarah Demokrasi Terpimpin, mungkin penting untuk memikirkan kembali peranan Bung Karno waktu itu. Pertama harus kita ingat bahwa BK itu cuma satu pribadi. Dia sendirian. Kekuatannya adalah karismanya sendiri dan kecintaan rakyat kepada dia. Tapi walaupun BK amat berpengaruh waktu itu, dia bukan yang paling kuat. Pada akhirnya, yang paling kuat adalah Angkatan Darat.
Angkatan Darat itu adalah satu unsur kekuatan yang selalu bermain. Dan menurut saya, PKI waktu itu sama sekali tidak siap untuk betul-betul menghadapi tentara. Kalau dalam sejarah ada dosa pada pimpinan PKI, itu persis karena anggotanya tidak disiapkan untuk menghadapi kekuatan tentara. Persiapan macam apa? Saya nggak tahu. Tetapi jelas ini persoalan yang sangat menyulitkan bagi pimpinan PKI. Apalagi bagi anggota-anggota partai yang pada akhirnya dihabiskan begitu saja.
Selain itu, ada soal lain. Karena ormas itu yang kemudian menjadi penting, kadang-kadang hubungan antara pimpinan partai dengan ormas buruh, tani, pemuda, dsb itu agak lemah. Itu terlihat misalnya pada tahun 64, ketika PKI mengadakan Aksi Sepihak. Mungkin sekali pimpinan PKI di Jakarta tidak bisa mengontrol BTI di daerah. Bentrokan dengan partai-partai lain sudah terjadi. Di mana-mana, terutama di Jateng, Jatim, Bali dan Sumatra Utara keadaan sudah tegang sekali. Sudah ada orang yang terbunuh. Di Bandar Betsy, Sumatra Utara, seorang tentara dibunuh. Di Boyolali ada orang-orang BTI yang dibunuh.
Pada pertengahan Desember tahun 64, Bung Karno memanggil semua pimpinan parpol supaya datang ke Bogor. BK meyuruh supaya Aksi Sepihak itu dihentikan. Aidit disuruh memberitahu BTI untuk menghentikan aksi-aksinya. Tapi saya sendiri tahu waktu itu banyak sekali pimpinan BTI yang tidak setuju dan mereka jalan terus. Malahan mulai timbul ketegangan antara pimpinan PKI dengan BTI.
Tahun 64 itu, di kota-kota juga sudah mulai ada bentrokan di jalanan. Di Surabaya, saya lihat sendiri hampir setiap minggu ada demonstrasi dari PKI lalu demo balik dari NU atau PNI. Sudah sering ada yang main pukul. Dan sebetulnya pembunuhan sudah mulai pada akhir tahun 64. Hanya tidak secara massal seperti yang terjadi tahun 65. Yang saya dengar waktu itu, pernah ada pelemparan granat di Jatim dan Bali. Orang-orang dapat granat dari mana?
T: Siapa yang melempar granat?
J: Saya tidak tahu persisnya. Tapi satu kali waktu saya ikut menghadiri suatu apel PNI di Bali, kira-kira bulan Desember 64, saya masih ingat ada yang melempar granat. Di Jatim juga begitu. Bukan hanya apel PNI yang kena, tapi PKI juga pernah kena. Dalam demo di daerah-daerah juga sudah sering ada perkelahian. Karena itu suasana tahun 65 itu tegangnya bukan main.
Yang juga punya pengaruh dalam menciptakan ketegangan itu adalah koran-koran. Waktu itu koran sudah dikontrol ketat sekali oleh pemerintah. Banyak juga wartawan yang sudah dipecat. Lantas ada macam-macam orang membayar wartawan-wartawan yang menganggur untuk mencari berita. Dan seringkali juga wartawan-wartawan itu bikin berita yang sembarangan saja, asal dianggap menarik. Desas-desus mengalir dengan cepat sekali dan memanaskan keadaan. Berita di koran-koran juga ikut mempertegang keadaan.
Timbul juga macam-macam ramalan. Ada yang bilang tentara yang bakal ambil oper pemerintahan. Atau PKI yang akan bikin kudeta, padahal itu sama sekali tidak masuk akal. Atau bakal ada konfrontasi dan lalu Amerika atau Soviet bakal turun tangan. Dan banyak lagi sas-sus lainnya. Setiap hari macam-macam sas-sus itu membuat orang tegang, ketakutan, dll.
Akhir tahun 64 hampir semua orang sudah melihat bahwa sebetulnya cuma ada dua kekuatan politik, PKI dan Angkatan Darat. Dan orang juga sudah menduga bahwa akhirnya akan terjadi konfrontasi. Yang aneh waktu itu, saya pernah bicara sendiri dengan jenderal Haryono, stafnya Pak Yani yang kemudian juga dibunuh pada malam 30 September.
Kebetulan saya kenal baik dengan dia. Haryono pernah mengatakan, kalau BK meninggal ada kemungkinan pimpinan PKI dan pimpinan Angkatan Darat akan mengadakan semacam negosiasi untuk mengelakkan konfrontasi, supaya ketegangan bisa sedikit diredakan. Saya kira omongan jenderal Haryono ini menunjukkan dalam pimpinan tentara sendiri ada pemikiran untuk menghindari kekerasan. Tapi ada pimpinan tentara lain yang malah mau main keras.
Pengalaman pada massa itu penting sekali untuk bisa menilai suasana waktu akhir Demokrasi Terpimpin itu. Apa yang diduga, diharapkan, ditakuti orang. Dan menurut saya, yang sangat penting, banyak orang pada waktu itu, bukan hanya pimpinan PKI dan pimpinan Angkatan Darat, yang sudah menduga bakal ada sesuatu. Suasana sudah tegang dan bakal ada ledakan.
T: Sekarang juga timbul pertanyaan, apakah ada unsur luar yang waktu itu ikut bermain?
J: Menurut Kahin kemungkinan CIA ikut main itu ada. Saya sendiri tidak tahu apa mereka betul-betul main pada akhir 64 sampai awal 65 itu. Paling sedikit saya tidak melihat bukti-buktinya. Dan saya sendiri masih mau menunggu pembukaan arsip-arsip CIA untuk bisa tahu dengan pasti.
ANGKATAN DARAT DALAM DEMOKRASI TERPIMPIN
T: Bulan Juni 1962 Bung Karno mengangkat jenderal Yani sebagai KSAD. Nasution diangkat sebagai KSAB, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang posisinya lebih tinggi tetapi wewenangnya cuma koordinasi dan administrasi. Apa latar belakang naiknya Grup Yani dan minggirnya Grup Nasution?
J: Bung Karno dan Pak Nas itu memang sering tidak cocok. Mungkin yang ada dalam pemikiran BK waktu itu Yani lebih gampang dipengaruhi. Mungkin karena dia orang Jawa yang jauh lebih muda dan anggap dirinya sebagai anak angkat Bung Karno (Yani lahir 1922, ed). Sering Bung Karno itu memang lebih senang, lebih comfortable, kalau berhubungan dengan orang Jawa. Tapi pada akhirnya, BK memang tidak banyak berhasil mempengaruhi Angkatan Darat.
Jangan lupa bahwa tentara pada umumnya suatu organisasi yang ketat. Mungkin kekuatan luar bisa main di situ. Tetapi pimpinan tentara pada umumnya ketat dengan organisasinya. Dan Yani tahu bahwa nasib dia akhirnya tergantung pada tentara, bukan kepada Bung Karno. Toch betul bahwa hubungan Bung Karno dengan Yani itu lebih baik dari pada hubungannya dengan Nasution. Tapi pengaruh BK terhadap Yani itu tetap terbatas. Terlihat 3 tahun kemudian memang Yani melawan keinginan Bung Karno.
Bahwa Pak Nas dipindahkan berarti pengaruhnya ingin dikurangi oleh Bung Karno, tapi Pak Nas masih saja berpengaruh dalam Angkatan Darat. Para perwira betul-betul menghormati dia. Dan dia memang cukup pandai main politik.
T: Dalam bukunya Pak Kahin yang terbaru itu, "Subversion as foreign policy," dikatakan bahwa pada bulan Maret 1964, Howard Jones (Dubes AS di Jakarta) melaporkan bahwa dia bertemu Nasution dan mencoba menjajaki kemungkinan Nasution untuk mengambil alih kekuasaan untuk melawan PKI (Kahin, h 225).
J: Ya. Tapi Nasution tidak mau.
T: Mengapa? Tadi Pak Dan bilang Angkatan Darat adalah unsur politik yang paling kuat waktu itu? Yang paling kuat bukan PKI dan juga bukan Bung Karno.
J: Waktu itu banyak orang mengatakan Nasution itu seperti Hamlet, terus ragu-ragu. Kalau menurut saya dia tidak berani, atau tidak mau, karena beberapa alasan. Pertama, dia berasal dari Batak. Bakal cukup banyak perwira Jawa yang akan menentang kalau dia ambil alih. Kedua, Nasution itu orang pinter dan tahu betul bahwa Bung Karno banyak pendukungnya dalam ABRI sendiri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ketiga, waktu itu sudah ada ketegangan antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian -- bahkan sebelum Demokrasi Terpimpin ketegangan itu sudah ada -- karena yang selalu memimpin ABRI dan selalu dapat anggaran paling besar itu ya Angkatan Darat. Selama Demokrasi Terpimpin, ketegangan itu memang dipakai oleh Bung Karno untuk sedikit membatasi Angkatan Darat.
Karena BK sendiri tidak punya kekuatan dalam bentuk organisasi atau parpol yang dia pimpin sendiri, maka dia terpaksa main. Ada yang menganggap BK komunis, dsb, padahal itu sama sekali tidak betul. Dia tertarik pada PKI karena dinamikanya, yang tidak terlihat pada partai lain, tetapi bukan karena itu dia rela mendekati PKI. Selama Demokrasi Terpimpin dia bergeser ke kiri sebagian karena menginginkan perubahan sosial dan ekonomi, tetapi terutama karena dalam sistim politik waktu itu yang terkuat adalah Angkatan Darat. Dan hanya PKI yang dapat dipakai untuk mengimbanginya.
Logika politik dalam Demokrasi Terpimpin memang begitu. Bung Karno main dengan PKI sebagai satu-satunya partai yang cukup kuat, karena organisasi dan massanya, untuk memaksa pimpinan Angkatan Darat berpikir dua kali. Karena itu sebagian dia ngomong dengan bahasa kiri.
Tapi pada akhirnya, BK jarang bisa ambil inisiatif. Biasanya BK malah terpaksa bereaksi menghadapi langkah-langkah Angkatan Darat, dan tidak bisa berbuat banyak untuk memaksakan pimpinan tentara untuk berbuat menurut keinginan BK sendiri.
Ada yang menduga bahwa Nasution mau jadi presiden, dan ada juga yang bahkan menganggap dia seharusnya jadi presiden. Tapi setahu saya, Nasution tidak mau ambil oper saja semua. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa memobilisasi rakyat; dia mengerti sifat dirinya sendiri. Saya kira dia menginginkan suatu keadaan di mana bukan tentara yang jadi presiden atau yang menguasai pemerintahan, tetapi tentara yang menjadi unsur politik yang cukup menentukan.
T: Seandainya tahun 1964 itu Nasution dan Angkatan Darat ambil kekuasaan, apa yang mungkin terjadi?
J: Ada kemungkinan akan terjadi perang saudara. Katanya orang, bakal ada beberapa batalion, terutama dari Jateng dan Jatim yang akan berontak. Kalau ada kudeta, belum tentu juga semua perwira Siliwangi akan berpihak pada Pak Nas. Belum tentu dia bisa mengontrol seluruh Siliwangi, divisi yang paling kuat waktu itu, dan yang punya hubungan dekat dengan Nasution. Sebab itu juga dia tidak berbuat apa-apa. Dan sejak bulan Juni 1962, dengan diangkatnya Yani -- yang lebih dekat dengan Bung Karno -- sebagai KSAD, kekuasaan dan pengaruhnya Nasution semakin lama semakin berkurang. Walaupun Nasution tetap sangat dihormati oleh banyak perwira.
ELITE MERASA TERANCAM
T: Dalam studi tentang tahun 1957-59, Pak Dan menulis, "The PKI was able to expand its appeal beyond a single aliran context. Therefore the PKI threatened not only other parties but the entire traditional elite" (Dan Lev, h 10). Apa maksudnya "ancaman bagi seluruh elite tradisional" ini?
J: Ancaman terhadap elite tradisional atau elite yang berasal dari kalangan priyayi itu berasal dari dua sumber. Pertama, dari Islam, terutama aliran "modernis" yang mendorong Masyumi. Dan kedua, dari Komunis. Kedua-duanya didasarkan pandangan egalitar dan mencerminkan semacam ambisi menuju ke revolusi sosial. Yang lebih menakutkan ialah PKI, karena dianggap terang-terangan akan menggantikan semua elite lama.
T: Apakah ancaman terhadap elite lama ini ada hubungan dengan pengamatan Herb Feith. Karena tentang PKI dia bilang, "Pimpinannya, pusat dan daerah, pada umumnya orang-orang yang datang dari lapisan sosial yang rendah dibandingkan dengan para pemimpin kelompok politik lainnya..." (Feith, h 149).
J: Ya. Elite dari partai-partai yang lain itu umumnya orang yang terdidik dan berasal dari kalangan tinggi. Terutama pimpinan PNI, PSI, Katolik, Parkindo dan banyak juga dari Masyumi. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan atas, walaupun pada waktu revolusi muncul unsur-unsur sosial yang baru.
Pimpinan PKI ada juga yang dari kalangan atas. Misalnya Nyoto dari keluarga yang cukup tinggi. Sakirman itu lulusan ITB dan dari keluarga Mangkunegara. Tetapi pada umumnya, bukan hanya pimpinan PKI itu berasal dari kalangan yang lebih rendah, tetapi pemilih PKI itu adalah rakyat banyak dari kalangan petani, buruh, dll, yang jumlahnya jutaan orang. Tentu saja elite kelompok lain itu agak kuatir.
Selain itu, pimpinan PKI itu lebih muda. Sekitar satu generasi, 10-15 tahun, lebih muda dari elite partai lainnya. Kecuali orang seperti Sakirman dan 3-4 orang lainnya, mereka tidak dikenal baik oleh elite sipil lainnya. Karena itu tidak selalu bisa diajak main kong-kali-kong. Elite PKI bisa dibilang 'outgroup,' terisolasi. Dan mereka memang sering omong secara revolusioner tentang hak tani dan buruh.
T: Sebagai partai terbesar dalam Pemilu Daerah-1957, PKI tetap tidak berhasil masuk dalam pemerintahan. Ini saya kutip data dari bukunya Kahin, "Sampai bulan April 1965 dari 79 menteri kabinet, PKI hanya dapat jatah 3 kursi menteri (satu menteri olah raga dan dua menteri tanpa portofolio, tanpa kementerian dalam kabinet). Sedangkan ABRI sudah dapat 23 kementerian. Dalam pemerintahan daerah, PKI juga tidak berhasil masuk. Dari 24 gubernur, 12 adalah militer, dan tidak satupun gubernur PKI" (Kahin, h 224). Bagaimana Pak Dan menjelaskan hal ini? Karena tadi dibilang setelah Pemilu-1957 cuma ada 3 kekuatan besar: tentara, PKI dan Bung Karno.
J: Persis karena yang saya bilang tadi. Ada perbedaan ideologis yang mendalam dan serius. Selain itu partai-partai lain, apalagi tentara, benci dan takut pada PKI. Karena PKI bermaksud mengadakan revolusi sosial. Dan ini berarti bahwa semua kekuatan yang mau mempertahankan sistim yang ada itu akan disingkirkan. Termasuk elite tentara, kelompok birokrasi, dan priyayi. Dari sudut Islam, berarti bahwa sebagai kekuatan politik Islam itu tidak akan diperhatikan dan malahan akan dihancurkan. Karena itu semuanya kuatir pada PKI.
Dari sudut logika politik waktu itu, Bung Karno sendiri harus pakai PKI untuk mengimbangi tentara. Karena memang tidak ada sumber kekuatan politik yang lain. PNI terlalu lemah. Masyumi dan NU tentunya anti-PKI dan pro-tentara karena takut pada PKI. Jadi siapa yang dapat dipakai untuk membatasi tentara? BK tidak punya organisasi sendiri. Memang sejak tahun 1958 dia coba mengembangkan Partindo, tetapi Partindo tidak pernah berkembang betul. Yang jelas ada cuma PKI.
T: Jadi setelah Pemilu Daerah-1957 itu, walaupun sudah jadi partai paling besar, dan juga didukung BK tetap PKI tidak bisa masuk pemerintahan?
J: Tidak. Karena yang lain menentang. Cuma sebagian dari PNI yang setuju. Hampir semua orang anggap BK kuat sekali selama Demokrasi Terpimpin, tetapi sebenarnya BK tidak bisa berbuat banyak. Karena kekuatan yang betul-betul nyata itu apa? Ya tetap tentara. Pada akhirnya, siapa saja yang bentrok dengan tentara pasti akan kalah.
T: Pada bulan Juli 1960 itu juga Nasution menangkap pucuk pimpinan PKI (Aidit, Nyoto dan Sakirman, dan juga pimpinan di daerah). Mereka diinterogasi oleh Achmad Sukendro, kepala intelnya Nasution. Dan hanya dibebaskan setelah perintah BK. Bulan Agustus 1960 terjadi juga Peristiwa-3-Selatan. Semua kegiatan PKI di Sumsel, Kalsel dan Sulsel itu dilarang dan pemimpinnya ditangkap.
J: Itu atas inisiatif tentara sendiri. Bung Karno tidak setuju dengan penangkapan dan aksi tentara di 3-Selatan itu. Pak Nas dan pimpinan tentara lainnya memang mau bertindak terhadap PKI karena kelihatan PKI semakin kuat, semakin sulit untuk dikontrol. Peristiwa 3-Selatan itu menunjukkan kemampuan tentara untuk memaksakan kemauannya. Dan Pak Nas sendiri dalam bukunya memang mengakui bahwa dia coba mendorong Bung Karno untuk memperhatikan persoalan PKI. Lantas tentara bertindak sendiri.
Membubarkan Masyumi dan PSI itu lebih gampang karena tentara bisa pakai alasan terlibat PRRI/Permesta. Tapi tentara tidak punya alasan untuk menghantam PKI. Lantas tentara terus main untuk mendapat alasan dan kemudian mau memaksa Bung Karno untuk membubarkan PKI juga. Tapi BK nggak mau. Karena kalau PKI yang hilang atau diperlemah, maka BK sendiri juga akan menjadi lemah dalam menghadapi tentara. Persis itulah yang terjadi pada akhir 1965.
DAMPAK DIBUBARKANNYA MASYUMI
T: Menurut studinya Bu Audrey dan Pak Kahin, setelah PRRI/Permesta keseimbangan politik yang sudah ada sebelumnya jadi berubah total karena Masyumi kemudian dibubarkan. Ini saya kutip catatan Kahin, "The major void in the old party lineup was, of course, created by the absence of the Masyumi, the party having been discredited because of the involvement of some of its leaders in the rebellion" (Kahin, h 219).
J: Masyumi dan PSI itu baru dibubarkan pertengahan tahun 1960. Tapi tahun 59 sudah mulai menyusut peranannya. Akibat PRRI, Masyumi sudah merasa lemah karena sebagian pimpinannya sudah berada di luar RI.
T: Mengapa BK membubarkan Masyumi dan PSI?
J: BK sendiri kurang senang dengan kedua partai itu sama pimpinannya, yang sejak dulu agak bertentangan dengan dia. Tetapi karena PRRI pimpinan tentara juga mendesak. Masyumi dan PSI dianggap menyokong PRRI.
T: Yang menyokong PRRI itu kan cuma sebagian pimpinannya? Bukan partainya sendiri, kan? Itu juga diuraikan dalam bukunya Kahin ini.
J: Ya, betul. Kedua partai itu tidak pernah ambil keputusan untuk menyokong PRRI. Dan malahan banyak orang Masyumi sendiri, termasuk kebanyakan pimpinannya, tidak setuju dengan PRRI. Tetapi ada beberapa yang setuju atau, seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang kebetulan ada di Padang waktu PRRI mulai. Yang juga penting dalam hal ini adalah bahwa Masyumi agak jauh sedikit dari partai-partai besar yang lain, karena 50% pemilihnya dari luar Jawa. Dan salah satu daerah di mana Masyumi kuat sekali adalah Minangkabau.
Selain itu, Masyumi itu sangat anti komunis. Dan ada kecendrungan dalam Masyumi untuk menyokong federalisme. Pada waktu itu, Masyumi satu-satunya partai yang sebagian pimpinannya masih berpihak pada sistim pemerintahan federal, karena mereka punya kekuatan di luar Jawa.
Dari 4-Besar hasil Pemilu-55 dan juga Pemilu Daerah-57 -- PNI, Masyumi, NU dan PKI -- tiga diantaranya (PNI, NU dan PKI) itu mayoritas pemilihnya dari Jawa. Sedangkan pemilih Masyumi itu 50% dari Jawa (separohnya di Jawa Barat), dan 50% dari luar Jawa. Ketiga partai lain itu paling sedikit sudah kenal satu sama lain karena daerah pemilihnya hampir sama. Kalau terhadap Masyumi pimpinan tentara sudah lama tidak senang, bukan hanya soal PRRI itu. Pada tahun 1959 dalam Konstituante Masyumi merupakan hambatan yang paling besar untuk "Kembali Ke UUD-45." Dan Masyumi juga terus mendorong NU untuk ikut menentang Kembali ke UUD-45. Karena itu tidak bisa dicapai 2/3 suara, untuk Kembali ke UUD-45. Dan Nasution yang memimpin usaha untuk Kembali Ke UUD-45 ini jengkel dengan peranan Masyumi itu.
T: Akibat dibubarkannya Masyumi itu, menurut Kahin, "With a much less pluralistic political spectrum than before, the country was left with a tense and brittle tripolarization of just three major political forces, each now stronger than before -- the army, the communist party, and Sukarno. That was a formula for neither effective government nor political stability. Indeed it incorporated the necessary ingredients for a major political explosion" (h 220).
J: Waktu Masyumi dibubarkan berarti banyak sekali orang yang merasa tidak punya wakil lagi karena partainya sudah hilang. Mereka juga takut kepada PKI. Lantas di Minangkabau, Sumsel, Sumut, Aceh, Kalsel, Sulsel, dll, karena tidak ada kekuatan yang lain, hanya tentara yang bisa mereka harapkan untuk mengontrol PKI.
Walaupun saya setuju dengan Kahin, tapi menurut saya bahkan sebelum Masyumi dibubarkan, pada tahun 1959 sudah terang bahwa partai-partai lain, kecuali PKI, sudah menjadi lemah. Terbukti waktu mereka mau membentuk Liga Demokrasi setelah Masyumi dibubarkan. Kelihatan bahwa orang-orang yang mendukung Liga Demokrasi itu -- bekas Masyumi, PSI, Parkindo, Partai Katolik, dan beberapa lainnya juga -- terbukti tidak bisa berbuat apa-apa. Dan akhirnya Liga itu dibubarkan juga oleh Bung Karno.
Menurut saya, sejak tahun 1959 -- ketika tentara memaksa Bung Karno untuk kembali ke UUD-45 -- sudah kelihatan parlemen tidak berarti lagi karena tidak ada lagi pemilihan umum. Konstituante sudah dibubarkan. Orang sudah tahu betul bahwa yang paling kuat tinggal tentara dan PKI yang masih aktif sekali. Sedangkan PNI sedang ditempeleng oleh BK. Masyumi sebagai wakil dari kekuatan luar Jawa itu sudah lemah sekali karena pemberontakan. Jadi pada tahun 1959 semua orang sudah tahu bahwa yang kuat cuma tiga unsur itu. Dua organisasi, tentara dan PKI. Dan satu orang, Bung Karno.
POLITIK PNI
T: Tadi Pak Dan bilang Bung Karno tidak punya organisasinya sendiri. Padahal Bung Karno selalu dianggap bapaknya PNI. Karena memang dia yang mendirikan PNI (tahun 1927) dan menjadi ketuanya yang pertama. Mengapa dia tidak betul-betul mengurus PNI sebagai organisasinya sendiri?
J: Dari sudut pandang Bung Karno, waktu tahun 57 itu PNI sudah rusak. Pimpinannya tidak punya imajinasi, selalu memikirkan kepentingan kelompoknya sendiri, tidak bisa bertindak tegas terhadap orang-orang PNI yang korup. Dan pada akhirnya PNI itu pecah. Ada yang condong ke kiri, ada yang tengah dan ada yang justru belok ke kanan. Karena itu PNI sukar digerakkan. Kalau BK minta mereka begini atau begitu, mereka tidak mau. Karena pimpinan PNI itu memikirkan kepentingan partainya sendiri yang tidak selalu cocok dengan politik BK.
Lalu PNI hanya memakai BK sebagai simbol saja. Jadi dari sudut BK, PNI itu tidak banyak gunanya. Ketika Bung Karno minta Partindo dihidupkan kembali pada tahun 1958, mungkin saja dia mengharapkan itu bakal jadi tempelengan yang akan membuat PNI bangkit kembali.
T: PNI memang ingin merangkul Bung Karno lagi. Dalam Kongres ke-10, 1963, Bung Karno mendesak pimpinan yang tua supaya memberi kesempatan bagi orang-orang muda. Lalu pemimpin muda seperti Ir. Surachman, naik sebagai Sekjen (Rocamora, h 370-373). Bulan Agustus 1965, beberapa tokohnya yang tidak cocok dengan BK lalu disingkirkan. Seperti Hardi dan Hadisubeno (Rocamora, h 414). Jadi memang sudah ada kemungkinan akhirnya PNI akan ikut politik Bung Karno.
J: Sudah terlambat. Walaupun ada pimpinan baru di pusat yang mau merangkul Bung Karno tetapi mereka tidak bisa memobilisasi partai sebagai suatu kekuatan yang nyata. Karena banyak sekali pimpinan PNI yang terlalu konservatif. Soal ini terlihat jelas dalam landreform pada tahun 60-an. Undang-undangnya sudah ada tahun 1959 (UUPBH) dan tahun 1960 (UUPA), tetapi tidak dijalankan. Bukan hanya karena ditentang oleh NU tetapi ditentang juga oleh sebagian dari PNI sendiri. PNI banyak yang menjadi pamong praja, dan antara mereka ada cukup banyak yang punya tanah.
Padahal Bung Karno sendiri menganggap Landreform itu amat penting. Akhirnya siapa yang mendesak pelaksanaan UUPA dan UUPBH? Bukan PNI, bukan NU, bukan pamong praja, tetapi PKI. Nah ini juga membuat Bung Karno kecewa pada PNI.
PENDIDIKAN MILITER DI AS
T: Ini ada makalah dari seorang perwira AS, Bryan Evans III, dalam majalah "Indonesia" no 47, April 1989. Dia membahas tentang pendidikan perwira Angkatan Darat selama tahun 50-an dan awal 60-an. Ini sebagian datanya. Tahun 1959: ada 41 orang perwira dilatih di AS, 1960: 201, 1961: 498, 1962: 1017, 1963: 568, 1964: 313 dan 1965: 3 orang. Sebelum peristiwa 65 total sudah ada 2800 perwira Angkatan Darat yang dilatih di AS dan ada 53 jenderal Indonesia yang ikut 'SESKOAD'nya AS.
AS juga membantu program "Civic Mission," Operasi Karya Angkatan Darat, dengan memberi dana, latihan dan perlengkapan. Kesimpulan dia, "US assistance has both enhanced technical skills and influenced the political orientation of the Indonesian officer corps developing in a pro-American/pro-Western direction." Menurut Pak Dan berapa jauh peranan pendidikan perwira di AS ini dalam Demokrasi Terpimpin?
J: Sukar diketahui. Apakah ada pengaruh ideologis, dsb, itu saya kurang tahu. Waktu PRRI/Permesta tahun 1958, hubungan antara pemerintah Indonesia dengan AS itu tegang sekali. Tapi waktu tahun 1958 itu Hankam AS sudah setuju untuk menjalankan terus hubungan dengan Angkatan Darat. Sesudah tahun 1958 itu pemerintah AS sudah memilih Angkatan Darat sebagai temannya. Lantas hubungan antara AD dengan Hankamnya AS itu jadi akrab sekali. Kalau tidak, mana mau mereka melatih ribuan orang perwira AD di Amerika?
Tapi pengaruh ideologisnya, saya nggak tahu. Pengalaman di AS itu mungkin saja meyakinkan para perwira bahwa kalau suatu waktu perlu, AS akan mendukung mereka. Paling sedikit itulah yang mereka rasakan.
TRIKORA DAN DWIKORA
T: Apa pengaruh dari Kampanye Irian Barat atau Trikora, Agustus 60 s/d Agustus 62, dalam politik Demokrasi Terpimpin?
J: Saya nggak tahu dengan persis berapa besar pengaruhnya dalam politik. Dari satu sudut, Trikora itu memang memperkuat tetapi juga mempertegang hubungan antara semua unsur politik yang ada. Terutama antara BK, Nasution dan Aidit. Tetapi bagaimana persisnya, saya kurang tahu.
T: Kalau Dwikora? Dalam kampanye Ganyang Malaysia yang mulai bulan September 1963 itu Omar Dhani diangkat BK sebagai panglima Kolaga -- Komando Mandala Siaga -- untuk memobilisasi rakyat dan tentara. Lalu ada pendaftaran sukarelawan yang katanya jumlahnya sampai 21 juta orang. Apa ada pengaruhnya dalam politik Demokrasi Terpimpin?
J: Yang terang Omar Dhani makin lebih dekat dengan BK. Angkatan Udara dan Angkatan Laut juga makin menonjol selama Dwikora itu. BK dari semula mencoba mempermainkan persaingan dan iri hati yang ada antara semua angkatan. Tapi akibatnya dengan persis? Saya nggak tahu.
Setahu saya, selain Nasution tidak ada banyak lagi yang pernah diwawancarai tentang periode ini. Pak Harto sendiri, yang kemudian menjadi wakilnya Omar Dhani dalam Kolaga, juga tidak pernah diwawancarai mengenai Dwikora ini. Omar Dhani sekarang sudah bebas. Tapi sepertinya dia tidak mau bicara Dwikora ini atau soal lain dari jaman itu.
T: Apakah Dwikora ini memang menjadi bagian dari politik BK untuk mencari keseimbangan antara angkatan sebagai usahanya untuk mengurangi pengaruh Angkatan Darat?
J: Mungkin saja begitu. BK mengharap supaya AL dan AU itu bisa mengimbangi AD. Tetapi sulit sekali, malah tidak mungkin terjadi. Dan bahkan usaha itu membuat hubungan antara angkatan menjadi lebih tegang lagi. Pada akhirnya Angkatan Darat tidak mungkin dikalahkan oleh angkatan lain. Dan saya kira para perwira mengerti itu. Lantas tentunya ada yang merasa jengkel pada BK mengamati persaingan itu.
T: Menurut Kahin, setelah Inggris menghimpun kekuatan udara dan laut di Malaysia, dan kemudian juga kekuatan daratnya, maka lebih banyak lagi pimpinan tentara yang mau menghindari konfrontasi, "Thus, increasingly during 1964 and early 1965, they simply went trough the motions of mounting a campaign, doing substantively little to implement it" (Kahin, h 222). Dan itu diperlihatkan dengan tidak munculnya pasukan para AD dalam penerjunan di Malaysia. Menurut Pak Dan bagaimana sikap pimpinan Angkatan Darat dalam Dwikora?
J: Saya kira analisanya Kahin itu benar. Sudah sejak semula Angkatan Darat ragu-ragu dalam kampanye Ganyang Malaysia ini. Mereka tidak mau karena sadar atas bahayanya. Tentara sudah ada pengalaman dalam kampanye Irian. Dalam Dwikora Angkatan Darat tidak betul-betul siap untuk peperangan yang sungguh-sungguh menghadapi kekuatan militer dari luar. Ada soal perlengkapan, soal logistik, soal training, dsb. Apalagi ada soal politik dalam negeri.
Dari sudut kepentingan Angkatan Darat sendiri, prioritas pertama mereka adalah politik dalam negeri. Bukan politik luar negeri. Karena itu mereka mau menghindari pertempuran betulan melawan Inggris. Apalagi karena kemungkinan besar Amerika bakal masuk membantu Inggris. Padahal hubungan antara pimpinan Angkatan Darat dengan pimpinan Hankam AS itu cukup dekat. Ini sudah mulai sejak tahun 1957. Penasehat-penasehat militer dari AS itu sering berhubungan dengan pimpinan Angkatan Darat. Yang berperan waktu itu dari fihak Amerika ialah staf atase militer kedubes, terutama Kolonel George Benson.
T: Siapa itu?
J: George Benson itu seorang militer AS yang sangat dekat dengan pimpinan Angkatan Darat. Dia kenal semuanya. Tahun 1957, waktu ada ketegangan politik antara Jakarta-Washington mengenai PRRI/ Permesta, George Benson ini terus saja ngomong dengan pimpinan AD dan malahan Hankam AS kemudian mulai membuka kemungkinan latihan di AS. Padahal hubungan diplomatik antara Indonesia dan AS sedang tegang sekali.
Waktu Dwikora itu, Angkatan Darat punya pemikiran lain. Satu, mereka tidak betul-betul siap untuk perang betulan. Kalau perang gerilya di Kalimantan Utara, ya itu masih okelah. Tapi penyerbuan ke Malaysia itu, terus terang saja harus dikatakan rencana militer itu tidak masuk akal, dan tidak didasarkan atas intelijen militer yang baik. Dan akibatnya memang parah.
Untuk paham soal ini sebaiknya anda membaca "Memoar Oei Tjoe Tat." Pak Oei diberi tugas oleh Bung Karno untuk mencari teman-teman di luar negeri, yaitu di Hong Kong, Singapura, di Malaysia sendiri, dll. Dan Oei Tjoe Tat memang ngomong dengan macam-macam orang dan kemudian melaporkannya pada Bung Karno.
Mungkin juga Bung Karno sendiri yang memutuskan penerjunan pasukan di Malaysia itu. Mungkin juga Angkatan Udara yang merencanakan itu sendiri. Saya tidak tahu pasti. Yang jelas penyerbuan pertama ke Malaysia itu gagal total.
Saya kira AD memang tidak begitu senang dengan konfrontasi melawan Inggris itu. Selain karena ketidak-siapan teknis itu, konfrontasi ini memaksa Angkatan Darat untuk sedikit melepasin politik dalam negeri. Tapi saya sendiri tidak tahu banyak tentang soal konfrontasi ini. Dan belum ada banyak dokumentasi.
Bung Karno sendiri tidak pernah omong secara mendetail tentang Dwikora. Tapi kalau dilihat dari sudut kepentingan politik Bung Karno, soalnya lebih kompleks. Konfrontasi itu mungkin saja dipakai sebagian untuk mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia sendiri. Keadaan dalam negeri tegang sekali. Hampir setiap minggu ada demonstrasi, ada clash politik, ada kesukaran ekonomi, dsb. Saya sendiri masih ingat keadaan ekonomi waktu itu memang payah betul untuk kebanyakan orang.
Inflasi luar biasa. Ada paceklik di beberapa daerah di Jawa. Di daerah selatan Jogya ada orang yang mati kelaparan. Saya tidak selalu setuju dengan analisa macam ini, tapi saya kira BK memang melihat konfrontasi itu sebagai semacam perang patriotis, perang membela tanah air dari kepungan kekuatan asing, yang bisa memindahkan perhatian masyarakat dari kesulitan dalam negeri. Dan tentu ada unsur untuk mengalihkan perhatian tentara. Macam-macam lagi harapan BK dengan Dwikora itu. Antara lain juga untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang ada di Indonesia. Tapi pada akhirnya, konfrontasi atau Dwikora ini memang tambah mengacaukan.
ANGKATAN KE-5
T: Buku Kahin ini bilang, "Ketegangan antara Angkatan Darat dengan Bung Karno mulai muncul pada pertengahan 1964" (h 223).
J: Betul, ketegangan mulai memuncak tahun 1964. Dan pada tahun 1965 menjadi sangat tegang karena berita tentang Surat Dubes Inggris, Gilchrist. Dan kemudian dengan usul PKI untuk membentuk Angkatan Ke-5 itu. Usul itu secara sengit ditolak oleh Angkatan Darat. Pak Yani tidak mau melatih rakyat, yang terutama akan berasal dari PKI, untuk pegang senjata.
T: Tapi Angkatan Laut dan Angkatan Udara mau. Dan dalam pidato 17 Agustus 1965 Bung Karno juga mengatakan bahwa dia sudah memikirkan tentang pembentukan Angkatan Ke-5 itu.
J: AU dan AL mendukung Dwikora. Seperti dibicarakan tadi, sudah ada ketegangan antara AU dan AL dengan Angkatan Darat. Karena Angkatan Darat selalu mendapat perhatian yang jauh lebih besar, dan perwira angkatan lainnya merasa dikesampingkan. Lalu Bung Karno juga main di situ. Soal Angkatan Ke-5 itu Bung Karno sendiri mau. Karena kalau Angkatan Ke-5 dibentuk maka akan ada satu lagi kekuatan yang bisa membendung Angkatan Darat.
T: Yang mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan itu kan bukan hanya PKI?
J: Ya, mungkin banyak lagi. Tapi soalnya bukan itu. Selama ini hanya tentara yang punya monopoli atas kekuatan senjata. Mereka tahu kalau mulai membagikan senjata pada rakyat itu akan mempersulit keadaan pada umumnya dan posisi tentara juga tentunya.
T: Tapi waktu itu kan isunya adalah konfrontasi dengan Malaysia?
J: Iya, tetapi pimpinan tentara mengatakan bahwa ABRI yang bertanggung jawab atas peperangan, bukan rakyat pada umumnya, terkecuali kalau ada serangan dari luar. Rakyat dapat dipakai asal bisa dikontrol oleh tentara sendiri. Dan waktu itu tentara sendiri sudah mulai mengharuskan banyak orang untuk ikut latihan militer. Ada wajib latihan buat mahasiswa, dsb. Tapi semuanya harus dipimpin oleh Angkatan Darat. Sedangkan Angkatan Ke-5 itu adalah ancaman yang luar biasa untuk Angkatan Darat. Karena itu mereka menolak. Dan Pak Yani terang-terangan menolak pada bulan September itu.
ISU DEWAN JENDERAL
T: Isu Dewan Jenderal ini mulai muncul bulan Januari 1965. Kemudian bulan Februari, di depan seorang utusan Gedung Putih Bung Karno bilang, "CIA sudah di luar kontrol" (Kahin, 225). Bulan Mei jenderal Yani dipanggil BK, ditanyakan soal isu Dewan Jenderal itu. Dan Yani menolak. Dia bilang, itu Dewan untuk promosi perwira Angkatan Darat, dsb. Dan tidak mengurus politik.
J: Betul.
T: Tapi laporan CIA tentang 65 mengatakan bahwa Dewan itu memang membahas politik. Ini kutipan dari bukunya Kahin, "According to a CIA study however, the council did in fact have a broader concern." Kahin mengutip laporan CIA itu, "In January, General Yani and a group of his most trusted advisers in the Army began to meet together informally to discuss the deteriorating political situation and what the Army should do about it" (h 226).
J: Saya tidak tahu apakah memang ada Dewan Jenderal yang memikirkan soal di luar urusan tentara. Yang pasti, bukti-buktinya sampai sekarang belum ada. Tapi dari sudut lain, isu ini sepele saja. Karena semua perwira sudah tahu bahwa tentara masuk politik. Mereka omong tentang politik hampir setiap hari. Apakah Dewan Jenderal itu ada atau tidak ada, saya kira bukan itu soalnya. Semua orang pada waktu itu sudah tahu bahwa Nasution, Yani dan Staf Umum AD itu terus saja omong tentang politik. Waktu itu kita bisa baca di semua koran. Surat Gilchrist itu tentu saja membuat keadaan jadi lebih tegang. Surat itu ditunjukkan oleh Subandrio kepada Bung Karno bulan Mei. Karena itu Yani dipanggil oleh BK.
Ini ada hal yang menarik. Kalau kita baca dengan teliti perkara Mahmilub Subandrio, di situ kelihatan sekali bahwa yang membuat tentara marah kepada Subandrio -- lebih dari yang lainnya -- adalah soal Dokumen Gilchrist itu. Karena Bandrio itu anti tentara. Kalau mengikuti pertanyaan-pertanyaan dari Durmawel yang jadi oditur dalam perkara Subandrio, dia terus mengejar soal permusuhan antara Bandrio dengan tentara.
Ini membuktikan sesuatu. Tentara sudah lama mempunyai semacam konsep politik, yang terutama berasal dari Nasution. Dan banyak perwira tinggi sudah tahu ada pegangan politik dalam tentara. Dan karena itu tentunya juga muncul reaksi politik. Dari sudut ini, apakah Dewan Jenderal itu ada atau tidak ada, tidak menjadi hal yang amat penting. Soalnya, apakah antara perwira tinggi ada rencana atau maksud. Cukup terang bahwa waktu itu pimpinan tentara merupakan juga suatu kelompok elite politik. Dan mereka juga punya intel yang cukup banyak. Bukan hanya Bandrio dengan BPI yang punya intel pada waktu itu.
ISU PERAN CIA
T: Mungkin ini cocok dengan obrolan Pak Dan dengan jenderal Haryono. Dubes Jones pada bulan Maret 1965 kuatir bakal ada, "Some accomodation between the army and the PKI." Pernyataan Jones dalam Konferensi Chief of Mission AS di Pilipina ini dikutip oleh Kahin, "From our viewpoint, of course, an unsuccesful coup attempt by the PKI might be the most effective development to start a reversal of political trends in Indonesia" (Kahin, h 225).
J: Soalnya apakah pikiran Jones itu kemudian disetujui oleh Washington? Peran CIA itu merupakan soal yang kunci. Apakah pada pertengahan 1965 itu State Department dan CIA sudah setuju untuk berbuat sesuatu? Atau tidak? Mungkin saja mereka sudah mulai main. Tapi saya tidak tahu. Mungkin saja ada orang CIA yang bekerja keras di Indonesia waktu itu. Tapi bahan-bahan tentang hubungan CIA dengan pimpinan tentara atau dengan kelompok Suharto, itu belum ada. Yang terang, sesudah kudeta CIA memang masuk, mereka kasih bantuan.
T: Itu disebut juga dalam bukunya Kahin, "The United States quickly fulfilled the army's request, relayed by Sukendro on November 6, 1965, for weapons to arm Moslem and nationalist youth in Central Java for use against the PKI" (h 230).
J: Tapi sebelumnya, bagaimana? Itu masih rahasia.
T: Apa arsip-arsip CIA belum keluar?
J: Belum. Mestinya bahan rahasia sesudah 25 atau 30 tahun akan bisa dikeluarkan. Tapi kalau pemerintah di Washington masih menganggap bahan-bahan itu sangat sensitif -- umpamanya karena ada hubungan dengan pimpinan luar negeri yang masih hidup -- mereka tidak mau melepaskan. Karena itu belum semua arsip-arsip CIA tentang tahun 65 dikeluarkan.
GERAKAN-30-SEPTEMBER
T: Saya kutip catatan dari Kahin tentang G-30-S, "They completely ignored the nearby headquarters of Suharto's Kostrad with its vital communication links to military units throughout Indonesia."
J: Banyak orang sudah memperhatikan kejanggalan itu. Ketika anggota Staf Umum sudah ditangkap dan dibunuh, dst, yang tidak diganggu adalah Suharto. Padahal dialah yang punya kekuatan yang menentukan pada waktu itu. Sebagai Pangkostrad dia yang pegang komando pasukan. Kenapa dia tidak diapa-apakan oleh G-30-S? Itu pertanyaan yang sangat penting tentunya.
Ada beberapa interpretasi. Umpamanya, yang buat kudeta itu bodoh sehingga mereka tidak memperhitungkan adanya pasukan Suharto. Atau Suharto sendiri dapat jaminan dari G-30-S, karena dia sendiri yang sebenarnya memimpin atau mempermainkan kudeta itu.
Tapi sebelum ada bahan-bahan yang baru, kita tidak mungkin tahu dengan persis apa yang sebenarnya terjadi. Banyak orang mengira bahwa Suharto sudah tahu sebelumnya. Tapi ini soal yang sangat peka, tentunya. Sebab itu tentara menulis sejarahnya sendiri.
Pada suatu waktu sejarah dari kup 1965 mungkin akan tambah jelas. Mungkin akan keluar bahan-bahan yang tertulis. Walaupun kalau ada bahan-bahan tertulis yang relevan kemungkinan besar sudah dibakar semuanya.
T: Kalau soal Biro Khusus itu, apa Pak Dan punya pendapat?
J: Apakah ada organisasi rahasia dalam PKI, yaitu Biro Khusus? Saya tidak tahu dengan persis. Ada beberapa orang yang dulu di penjara ketemu dengan anggota PKI dan yakin bahwa Biro Khusus itu ada. Dan di situ, menurut mereka, yang menentukan adalah Aidit dan Syam. Kalau Syam berpengaruh di BC, harus ditanyakan bagaimana pengaruhnya, seberapa besar, dst. Yang sekarang kita tahu tentang Biro Khusus itu kebanyakan spekulasi campur desas-desus.
Salah satu hal yang penting adalah evaluasi pimpinan PKI tentang pengaruhnya dalam Angkatan Darat. Tapi tentang soal ini informasi sejarah betul-betul kurang. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam PKI. Berapa besar pengaruh orang seperti Syam itu, yang konon punya pengetahuan tentang keadaan Angkatan Darat? Ada yang mengatakan bahwa menurut Sjam 30% dari Angkatan Darat itu sudah mau mendukung PKI. Apakah pimpinan PKI betul percaya informasi itu, atau tidak?
Saya pernah ngomong dengan Aidit pada akhir tahun 1964. Waktu itu keadaan tegang sekali karena bentrokan di daerah-daerah akibat Aksi Sepihak. Dan ada ketegangan antara CC-PKI dengan pimpinan BTI, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena BTI mau jalan sendiri dengan landreform karena merasa mendapat banyak dukungan dari petani. Tapi Aidit disuruh menghentikan Aksi Sepihak oleh Bung Karno. Akibatnya PKI dan BTI itu jadi tegang.
Waktu itu Aidit mengatakan bahwa kudeta (oleh PKI) di Indonesia sulit sekali, karena untuk menguasai Jakarta harus bisa menguasai Bandung. Bagaimana bisa memegang Bandung karena di situ ada Siliwangi? Jadi, menurut saya, kemungkinan besar CC-PKI tidak akan memikirkan kudeta terkecuali percaya bahwa ada sokongan yang cukup luas dari tentara.
Tapi seberapa jauh yang Aidit katakan bulan Desember 1964 itu betul, saya tidak tahu. Dan kalau betul apakah dia masih berpikir seperti itu pada pertengahan tahun 1965? Ini juga saya tidak tahu. Apakah kemudian ada evaluasi lain tentang pengaruh PKI pada tentara? Apakah pertimbangan itu kemudian menimbulkan semacam optimisme tentang kekuatan PKI, lalu membuat mereka jadi overconfident? Atau apa pimpinan PKI sendiri bingung memikirkan keadaan politik pada tahun 1964-65?
Selama Demokrasi Terpimpin, seolah-olah ada kemungkinan PKI akhirnya akan bisa masuk dalam pemerintahan. Sebagian karena hubungannya dengan Bung Karno, sebagian karena pertumbuhan partai yang pesat sekali. Lalu mungkin timbul semacam overconfidence, terlalu percaya diri, dalam PKI. Tetapi mungkin juga sebaliknya.
SUPERSEMAR
T: Tentang pembunuhan massal kami sudah dapat beberapa penjelasan dari Ben Anderson. Kemudian kami juga mendengar pengalaman Pipit Rochijat yang mengalami sendiri apa yang terjadi di Kediri dan sekitarnya ketika pembunuhan itu berlangsung pada akhir tahun 1965. Tentang sejarah munculnya KAMI, KAPI, Tritura, dsb, itu kami sudah agak paham. Yang masih sering dipertanyakan adalah lahirnya Supersemar. Dari Pak Dan kami ingin tahu sedikit tentang Supersemar.
Dalam bukunya Ulf dan juga Crouch -- keduanya studi tentang tentara -- Supersemar dibahas cukup panjang. Tanggal 11 Maret itu akan ada Sidang Kabinet di Istana. Lalu ada ribuan mahasiswa berdemonstrasi di luar, dan menurut Ulf dan Crouch, demo itu dibeking oleh 3 kompi RPKAD tanpa pakaian seragam. Lalu BK jadi ngeri, dan dia kabur dengan helikopter ke Bogor ditemani oleh Subandrio. Kemudian tiga jenderal datang ke Bogor: Amir Machmud, Basuki Rachmat dan Jusuf. Lahirlah Supersemar. Bagaimana Pak Dan sendiri memahami kelahiran Supersemar ini?
J: Selama bulan Februari dan Maret 1966, mungkin sekali sudah terang bagi Suharto dan para pendukungnya dalam KAMI, KAPI, KASI, dll itu, bahwa Bung Karno sudah habis. Dan BK sendiri juga saya kira sudah tahu itu. Lantas ketika ada demo besar di Jakarta dan kemudian dia didatangi oleh 3 jenderal itu di Bogor, kemungkinan besar BK diancam. Dalam arti Bung Karno diberi tahu bahwa akan ada lagi pembunuhan yang luar biasa di Indonesia. Pokoknya, kalau bapak mau teruskan, oke, kami bisa teruskan. Kalau tidak, ya sebaiknya menyerahkan kekuasaan pada Suharto.
Ada yang lebih menarik mengenai politik pada awal tahun 1966 itu. Sesudah kup, selama bulan November, Desember, kemudian Januari dan Februari, yang main secara agresif itu sebenarnya justru Subandrio, bukan Sukarno. Mungkin, dan ini spekulasi saja, Bung Karno pada waktu itu sudah mulai merasa sedih sekali. Bukan karena keadaan dirinya sendiri, tetapi karena apa yang sudah terjadi di Indonesia.
Bung Karno sendiri, waktu memikirkan pembunuhan massal itu, mungkin merasa ikut berdosa. Seolah-olah dia merasa berpartisipasi dalam menciptakan keadaan yang berakibat sangat menyedihkan itu. Dan mungkin dia mulai lesu, kehilangan semangatnya. Karena itu Subandrio yang main sana-sini. Tapi BK sendiri tidak banyak bikin apa-apa. Kadang-kadang saja dia keluar sebentar, lalu kasih pidato yang kedengarannya cukup berkobar. Tapi, menurut dugaan saya, sebenarnya BK pada waktu itu mau secepatnya mengakhiri semua pembunuhan itu.
Pada bulan Maret 66, saya kira, BK sudah tahu betul bahwa karir politiknya sudah habis. Karena hilangnya PKI dan karena begitu banyak organisasi yang memusuhi dia. Walaupun dia masih punya banyak pendukung, tapi semuanya bisa saja dihabiskan. Waktu dia ditekan oleh Suharto melalui Yusuf dkk itu, ya dia menyerah. Tapi apa yang sebenarnya dibicarakan dalam kamar di Istana Bogor, saya tidak tahu. Saya nggak ada di situ sih. Tapi keadaan psikologis, perasaan Bung Karno pada waktu itu mungkin sekali sangat sedih, sangat tertekan. Bukan karena dirinya sendiri, ya. Tetapi karena sudah terjadi pembunuhan yang begitu banyak. Pada akhirnya, sebagai pemimpin dia merasa gagal. Dan itu kegagalan yang sangat tragis.
T: Ini mungkin cocok dengan catatan dalam "Memoar Oei Tjoe Tat." Dan dalam salah satu pidatonya di depan HMI pada bulan Desember, BK memang minta supaya orang-orang yang dibunuh itu paling tidak dikuburkan. Menyentuh sekali waktu saya baca itu.
J: Bung Karno tahu, sebagai pemimpin mau tidak mau dia yang akan dianggap bertanggung-jawab atas apa yang terjadi waktu itu. Padahal bukan itu yang dia inginkan dalam seluruh perjuangannya. Jangan lupa, sejak dulu sekali, sejak awal tahun 30-an, BK yang selalu mengatakan, "Kita harus mempersatukan seluruh kekuatan rakyat ini." Tapi apa yang terjadi tahun 1965 itu? Kekuatan itu kemudian membunuh satu sama lain. Saya yakin dia sedih sekali.
T: Selain meneken Supersemar itu apakah memang ada pilihan lain yang sebenarnya bisa diambil oleh Bung Karno dan para pendukungnya pada bulan Maret 1966 itu?
J: Bung Karno bisa mengerti keadaan politik. Dia tahu, dengan hilangnya PKI pada akhir 65 itu sejarahnya sendiri sudah habis. Mungkin Subandrio belum mengerti itu, lalu masih mengira ada kemungkinan menang menghadapi Angkatan Darat. Lalu dia coba membentuk Barisan Sukarno. Yang akhirnya backfire juga. Tapi BK mengerti betul perimbangan kekuatan dalam politik. Apalagi selama Demokrasi Terpimpin itu semuanya sangat tergantung pada langkah- langkah politik yang sedikit canggih, dan tergantung pada taktik untuk mengontrol bedil itu.
Sejak semula pilihan Bung Karno agak terbatas. Lihat saja apa yang sebenarnya diciptakan oleh Bung Karno selama Demokrasi Terpimpin? Sebetulnya nggak banyak. Idenya nggak banyak, persis karena pilihannya terbatas. Setiap hari dia harus menghadapi tentara. Dia harus selalu mencegah tentara itu memakai bedilnya. Dan akhirnya memang gagal total.
T: Padahal Bung Karno waktu itu begitu dicintai oleh rakyat. Bahkan sampai sekarang banyak orang masih cinta pada Bung Karno.
J: Tapi pada akhirnya yang menentukan adalah kekuatan senjata. Hanya itu! Dari semula, sejak tahun 1957, Bung Karno mengerti bahwa itulah yang harus dicegah. Semua partai juga sadar atas realitas ini. Keadaannya memang sulit sekali.
Makin lama saya memikirkan Bung Karno selama Demokrasi Terpimpin itu, semakin saya sadari bahwa Bung Karno dalam setiap langkahnya hampir selalu terpojok. Tidak banyak pilihan bagi Bung Karno. Yang selalu harus dipikirkan Bung Karno adalah pimpinan Angkatan Darat. Dia merasa didesak terus oleh mereka. Bung Karno tentunya cukup sadar dengan jeleknya ekonomi. Tapi dia sendiri tidak mengerti ekonomi, dan dia mengakui itu. Korupsi waktu itu begitu banyak dan Bung Karno tidak bisa mengontrol itu. Dia tidak bisa mengawasi orang-orangnya sendiri yang korup.
T: Mengapa sampai detik terakhirnya Bung Karno tetap tidak mau membubarkan PKI?
J: Satu, dari sudut politik itu berarti dia kehilangan pendukungnya. Kedua, saya kira Bung Karno sendiri juga mengerti bahwa G-30-S itu bukan perbuatan PKI.
T: Tapi di depan MPRS, waktu diminta pertanggung-jawaban soal G-30-S, Bung Karno bilang, "Ada pimpinan PKI yang keblinger."
J: Ya memang. Tapi pimpinan partai lain juga keblinger. Pimpinan tentara juga. Lalu kenapa hanya PKI yang disalahkan? Saya kira Bung Karno secara pribadi tidak begitu senang dengan pimpinan PKI. Mereka dianggap terlalu agresif, suka terlalu mendesak dia. Kadang-kadang dianggap tidak mengerti betul keadaan. Kadang-kadang mereka dianggap kurang ajar, seperti dalam soal Aksi Sepihak itu.
Tapi toch Bung Karno perlu mereka. Dan Bung Karno menghormati mereka. Paling sedikit karena itu satu partai yang cukup berdisiplin, cukup aktif, dan pimpinannya muda. Ketika kudeta meletus, dia marah pada PKI. Kepada yang lain juga. Tetapi saya kira dia juga mengerti bahwa akhirnya yang mati begitu banyak adalah orang PKI. Saya betul-betul mau tahu, bagaimana perasaan Bung Karno waktu itu. Tapi mungkin tidak ada lagi orang yang tahu.
T: Mungkin Subandrio tahu?
J: Saya tidak yakin. Bandrio itu orang yang sangat egois. Dan orang seperti itu tidak selalu bisa mengerti perasaan orang lain. Karena yang dipikirkan dirinya sendiri.
T: Mungkin nggak pada saat-saat terakhir Bung Karno sudah memikirkan, "Biarlah akhirnya sejarah yang akan jadi hakim." Karena dalam pidatonya yang terakhir dia bilang, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah."
J: Ya, mungkin juga. Tapi saya nggak yakin bahwa yang bikin dia prihatin adalah tempatnya dalam sejarah Indonesia. Malah yang menyiksa jiwanya adalah ketidak mampuan dia untuk mencegah pembunuhan massal itu.
SOAL TANAH
T: Tadi Pak Dan sudah mulai bicara soal payahnya ekonomi. Dalam wawancara dengan Ben Anderson, dia bilang bahwa salah satu sebab mengapa orang mau melakukan pembunuhan besar-besaran pada tahun 65 itu adalah karena keadaan ekonomi yang sangat buruk. Orang merasa nasibnya tidak menentu, jadi gampang mata gelap.
J: Dalam hal ini saya setuju dan tidak setuju dengan Ben. Karena sebetulnya kebanyakan orang yang melakukan pembunuhan itu justru bukan orang yang lapar. Memang betul ada rasa tidak menentu, orang menderita karena kemiskinan, dsb. Tapi pembunuhan massal itu terjadi sebagian karena persoalannya dijadikan isu agama. Sebagian juga karena orang-orang dipaksa, sadar atau tidak sadar, untuk ikut arus.
Yang paling penting menurut saya, sebenarnya ada yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pembunuhan itu. Masyarakat pada waktu itu harus dimobilisasi, harus dikerahkan untuk membunuh. Sudah ada keputusan yang diambil di Jakarta untuk mengadakan pembunuhan massal. Dan sesudah keputusan itu diambil, gampang saja dikerjakan. Bikin kampanye media massa, dsb. Dan sebelumnya memang sudah ada ketegangan politik dan juga kesukaran ekonomi.
Bahwa NU dan PKI sudah pernah bentrok fisik di Jatim, dan PNI dan PKI juga sudah bentrok di Bali, itu kita sudah bicarakan tadi. Dan pada tahun 1964, soalnya bersangkut paut dengan tanah, yang tentunya sangat penting di seluruh Jawa, Bali dan juga di Sumatra Utara. Kebanyakan pembunuhan besar itu terjadi di daerah di mana sebelumnya memang sudah ada persoalan tanah. Tidak semua, ya, tapi kebanyakan. Di Jateng, Jatim, Bali, dan Sumut, sebelumnya sudah tegang sekali karena soal landreform. Dan persis di daerah-daerah itulah terjadinya pembunuhan massal.
SEANDAINYA TETAP PILIH JALAN DEMOKRASI
T: Ini seandainya, pak. Kalau pada tahun 1957 itu semua elite politik tetap mau memakai jalan demokrasi. Mereka mau meneruskan sistim parlementer, pemilu-59 tetap diadakan, dst. Sebenarnya seberapa jauh ketakutan PKI bakal menang itu memang masuk akal?
J: Kemungkinan itu agak terbatas. PKI memang bisa jadi partai yang terbesar tetapi tetap bukan mayoritas. Artinya dia tetap harus berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Kalau melihat hasil Pemilu-57, PKI betul makin kuat. Dan salah satu sebabnya adalah karena PKI selalu berada di luar pemerintahan. Mereka tidak pernah masuk dalam kabinet, dan karena itu tidak bisa disalahkan, tidak bisa diminta ikut bertanggung-jawab atas keadaan. Malahan mereka yang selalu bisa bilang, "Nah, ini salahnya si ini atau si itu!"
Karena itu BK pernah bilang, "Harus ada pemerintah seperti kuda yang kakinya empat." Yang dia maksud adalah supaya 4-Besar pemenang pemilu itu -- PNI, Masyumi, NU dan PKI -- semuanya duduk dalam kabinet. Saya kira BK ingin supaya PKI ikut mengurus negara dan juga bisa diminta juga tanggung-jawabnya. Karena pada waktu itu, dari sudut korupsi, ketidak-jujuran, plin-plan, yang dianggap bersih cuma PKI. Padahal kalau PKI dapat kesempatan, ya mereka bisa korup juga. Waktu orang PKI yang jadi walikota Solo, ya macam-macam juga kesulitannya.
Tapi seandainya diberikan kesempatan masuk dalam kabinet, apakah PKI akan terima? Karena mereka juga cukup pinter. Dan mereka tahu kalau masuk dalam kabinet itu artinya ikut bertanggung-jawab atas kebobrokannya. Belum tentu pimpinan partai mau.
T: Ini seandainya lagi. Andaikan setelah Pemilu-57 itu semua pimpinan sipil tetap konsisten memilih jalan demokrasi.
J: Ini anda tidak memperhitungkan pengaruh luar negeri?
T: Tidak. Atau kita anggap saja Amerika baik sekali, mau mendukung demokrasi. Sehingga PRRI/Permesta tahun 1958 itu tidak terjadi. Kalau semua sepakat untuk meneruskan demokrasi parlementer, apakah pembunuhan massal itu bisa dihindari?
J: Menurut saya bisa.
T: Jadi sebenarnya memang ada pilihan lain?
J: Ada. Hampir selalu ada pilihan lain. Tapi option itu sudah ditolak pada tahun 1957. Kemenangan Pak Nas dengan Undang-Undang Keadaan Perang itu sangat menentukan. Sejak itu inisiatif yang paling menonjol dan paling berhasil adalah inisiatif Angkatan Darat. Sebaiknya ingat lagi: kembali ke UUD-45 itu bukan idenya BK, melainkan idenya Pak Nas. Dan yang paling berkepentingan dengan sistim politik Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat.
Dalam Demokrasi Terpimpin yang paling menentukan itu bukan ide demokrasi, bukan hasil pemilu, tetapi kekuatan yang nyata. Dan kekuatan nyata waktu itu cuma ada dua. Yang satu adalah keanggotaan atau dukungan rakyat. Dan satu lagi bedil. Dari satu sudut, bisa dikatakan juga bahwa Bung Karno sendiri ikut membuat kesalahan yang luar biasa dengan kembali Ke UUD-45 itu.
T: Saya sendiri memang keberatan dengan pendirian BK waktu itu bisa dipaksa tentara untuk Kembali ke UUD-45. Karena waktu itu BK sangat dihormati oleh semua kelompok politik. Semuanya! Jadi andaikan tahun 1959 itu BK bilang tegas, "Kita tetap pakai jalan parlementer." Rakyat sudah pasti ikut Bung Karno. Saya kira hampir semua elite sipil pada waktu itu, dan mungkin sebagian elite militer bakal ikut dia. Apa bukan begitu?
J: Mungkin. Tapi jelas bakal timbul kesulitan. Bagaimana reaksi tentara? Bukan tidak mungkin pimpinan tentara akan memikirkan sudah tiba waktunya untuk mengambil kekuasaan. Tahun 1958 Pak Nas sudah mendesak betul. Waktu itu dia sering mengatakan, "Nah, ini sudah ada kudeta di Iraq, di Pakistan. Jadi enaknya bagaimana ya? Kita tidak mau mengadakan kudeta, tapi tentu tergantung pada keadaan." Dan orang jadi takut sekali bakal ada kudeta.
Dan kalau betul-betul ada kudeta waktu itu, saya tidak yakin bahwa Bung Karno bisa berbuat banyak. Kemungkinan besar Bung Karno juga mengerti itu. Lantas setelah itu seolah-olah BK hanya bereaksi menghadapi inisiatif tentara.
Persoalan yang muncul pada tahun 57 itu memang ruwet. Ada ketakutan terhadap tentara. Ada ketakutan terhadap PKI, terhadap Islam, terhadap pemberontakan panglima-panglima daerah. Lalu ada lagi campur tangan luar. Ruwet sekali.
Masih ada lagi satu hal. Ruth McVey pernah menulis bahwa pada tahun 55, 56, 57 itu kaum birokrat, kaum priyayi lama, mulai sadar bahwa mereka sudah menjadi suatu kelompok elite yang terancam. Mungkin betul. Pengamat dan penganalisa mungkin kurang memperhatikan perkembangan di dalam kelompok priyayi ini.
APA YANG DIINGINKAN BK
T: Apa sebenarnya yang diinginkan Bung Karno dalam menjalankan Demokrasi Terpimpin? Apa ide dasarnya?
J: Bung Karno menginginkan suatu revolusi yang mendalam sekali, yang bisa mengubah masyarakat Indonesia secara mendasar. Saya kira itulah hal yang paling penting dalam cita-cita Bung Karno. Bung Karno menginginkan revolusi, tetapi revolusi yang tanpa banyak kekerasan. Apalagi karena dia sendiri tidak berpengalaman memimpin secara kekerasan. Dia tidak bisa mengontrol kekerasan itu.
Kadang-kadang saya agak meragukan imajinasi politik Bung Karno. Maksud saya, dalam Demokrasi Terpimpin dia ikut menciptakan negara, artinya pemerintah, yang kuat sekali. Dengan akibat masyarakat menjadi semakin lemah. Padahal mungkin bukan itu yang dia inginkan. Akhirnya kekuatan negara itu dipakai buat korupsi, buat menghisap rakyat kecil, dan dia tidak bisa mengatasi keadaan itu. Mungkin Bung Karno menyadari ini semua. Tapi tetap dia mengharap para pejabat itu 'sepi ing pamrih.' Padahal jelas bahwa korupsi bertambah secara luar biasa.
Boleh ditanyakan, apakah pada tahun 62 dan 63 Bung Karno sudah tahu bahwa revolusi yang dia cita-citakan itu sudah gagal? Sedangkan jalan keluarnya dia tidak tahu?
T: Mungkin karena itu kemudian dia bikin program semacam Dwikora, Ganefo, Conefo, dsb, itu?
J: Mungkin. Seakan-akan dia mau mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa keadaan di dalam negeri sudah cukup parah. Jadi lebih baik kalau pikirkan luar negeri saja. Paling tidak politik luar negeri itu lebih menyenangkan. Yaitu, dia bisa dapat dukungan di dalam negeri, bisa bermain sebagai pemimpin dunia, dan seterusnya. Tetapi pada akhirnya, strategi itu bukan hanya tidak memperbaiki keadaan, tetapi malahan menajamkan pertentangan yang ada di dalam negeri.
Kalau dipikirkan kembali, sejarah Demokrasi Terpimpin itu tragis sekali. Apalagi karena pada saat terakhirnya harus dibayar dengan harga yang mahal sekali. Tentara mulai memainkan peranan yang amat besar sejak Demokrasi Terpimpin. Harus diakui bahwa Orde Baru pokoknya berdasarkan Demokrasi Terpimpin.
CATATAN LAIN TENTANG DEMOKRASI TERPIMPIN
Naiknya Militer
T: Ini ada beberapa evaluasi tentang naiknya tentara setelah 1965. Menurut Ulf, saya kutip salah satu kesimpulan dia dalam studi tentang tentara tahun 1945 s/d 1967, "It can, therefore, be argued that the history of civil-military relations from late 1945 to mid-1966 confirms the view that the ultimate level of military intervention in the form of a take-over could have been avoided had politicians abstained from provoking the Army unnecessarily and, more importantly, had they performed better in discharging their governmental duty" (Ulf, h 272-273).
J: Saya nggak setuju. Tahun 1966 itu Pak Harto dkk sudah tahu bahwa mereka menang. Mereka tidak lagi menghiraukan pimpinan sipil. Dan sejak dulu mereka, paling sedikit, kurang menghormati pimpinan sipil. Perwira-perwira Angkatan Darat, seperti Suharto sendiri, tidak banyak berhubungan dengan orang-orang di luar Angkatan Darat. Mereka tidak dapat latihan atau perhatian yang berarti dari pimpinan sipil. Masak mereka akan mau mendengarkan atau mengikuti pimpinan sipil dari kelompok manapun juga? Dan pimpinan sipil sudah makin lemah sejak tahun 1959 itu.
Sedangkan tentang naiknya tentara sejak akhir 1965, sejak bulan Nopember setelah pembunuhan massal di Jawa itu, Pak Harto dkk sudah tahu bahwa mereka akan menang. Mungkin masih perlu waktu sedikit, tapi pada waktu itu mereka sudah mulai menguasai Indonesia. Dalam hal ini, saya kurang setuju dengan Ulf.
T: Sedangkan menurut Harold Crouch, Demokrasi Terpimpin adalah masa training untuk tentara. Ini kutipannya, "By the end of the Guided Democracy period many officers had become experienced and adroit politicians" (Crouch, h 35).
J: Memang. Demokrasi Terpimpin merupakan semacam on-the-job training politik bagi pimpinan Angkatan Darat. Kalau Nasution sendiri terang sudah jago main politik. Tetapi kemudian beberapa perwira yang sudah dilatih dalam politik kemudian dibunuh di Lubang Buaya atau disingkirkan karena dianggap pendukung Sukarno. Lantas yang masih ada ialah orang seperti Amir Machmud, Basuki Rachmat, Jusuf, Ali Murtopo, Yoga Sugama, dll. Mereka cukup berpengalaman dalam politik tinggi tentara. Tapi, ya itu politiknya tentara.
Politik Luar Negeri
T: Dalam bukunya Kahin dijelaskan ketika PRRI terjadi (1958), para pemberontak memang mendapat bantuan militer AS dan Inggris dari Pilipina, Taiwan, Vietnam Selatan, Muangthai, dan Singapura (Kahin, peta h 171). Fred Bunnel mempelajari politik luar negeri selama Demokrasi Terpimpin. Catatan akhir Bunnel, "Confronted with the reality of Western political and economic dominance in world affairs generally as well as in his own region, Sukarno saw no other way to achieve his personal-national aspiration for influence and respect than by relentlessly battling against the West."
Bunnel melihat Konfrontasi melawan Inggris sebagai jalan yang memang harus ditempuh bila Sukarno mau membebaskan diri dari kepungan kekuasaan politik dan ekonomi Barat. Indonesia dibawah Bung Karno memang sudah dikepung dan sedang dikerjain sejak tahun akhir 50-an. Bagaimana pendapat Pak Dan?
J: Untuk sebagian saya setuju. Tapi sebagian lagi, Konfrontasi itu dipakai untuk tujuan politik dalam negeri yang sudah kita bicarakan tadi. Konfrontasi itu memang konsisten sekali dengan politik Bung Karno yang sejak semula anti kolonialisme. Dia merasa jengkel sekali pada struktur internasional yang memberikan kekuasaan luar biasa pada mereka yang dulu menghidupkan kolonialisme dan imperialisme. Dari sudut ideologi harus ada usaha untuk mematahkan kontrol AS dan Eropa atas Asia Tenggara, sebagai lanjutan sejarah anti kolonialisme.
Generasi Bung Karno itu sejak semula anti kolonial. Sesudah tahun 50-an kelihatan sekali bahwa walaupun Belanda, Inggris atau Amerika itu sudah pergi, toch pengaruh mereka masih ada di situ. Secara ideologis dan secara politis Bung Karno merasa berkewajiban untuk menentang itu. Dari satu sudut politik luar negeri Bung Karno berhasil.
Paling sedikit nama Indonesia dan nama Bung Karno itu menjadi dikenal di seluruh dunia. Dalam perlawanan itu Bung Karno bisa memainkan peranan yang jauh lebih radikal di luar negeri, dibandingkan dengan politiknya di dalam negeri. Bisa dikatakan, bahwa "radikalisme" Bung Karno terlihat terutama di kalangan internasional. Bukan di dalam negeri.
T: Apakah politik Konfrontasi itu dipengaruhi oleh perkembangan Perang Vietnam? Karena sejak Peristiwa Teluk Tonkin, Agustus 1964, Amerika terjun langsung dan mulai mengadakan pemboman di Vietnam Utara.
J: Banyak orang yang mengatakan begitu. Saya sendiri tidak yakin. Mungkin Perang di Vietnam ada pengaruh. Tetapi tanpa Vietnam, berdirinya Malaysia akan tetap menjadi sumber Konfrontasi. Jangan lupa, bukan hanya kelompok kiri yang menentang Malaysia. Yang lain juga. Karena takut kalau Malaysia dan Singapura itu lama-kelamaan akan dikuasai oleh Orang Tionghoa yang dikuatiran bisa dikontrol oleh Beijing. Sebagian pimpinan tentara Indonesia juga berpikir seperti itu. Kalau Malaysia (dan Singapura) di kontrol Beijing, akan jadi ancaman bagi Indonesia. Tetapi pimpinan Angkatan Darat merasa belum siap untuk suatu perang yang cukup serius.
T: Konfrontasi itu sendiri sangat merepotkan Inggris, "The Indonesia's militarization of the conflict was enormously expensive for the British, obliging them to withdraw large numbers of troops from Germany ..." Dan itu juga merepotkan AS karena kekuatan militer di Eropa jadi berubah (Kahin, h 222).
J: Saya kira pasukan NATO di Eropa masih kuat sekali. Waktu itu mereka juga tidak perlu memikirkan kemungkinan serbuan dari Soviet. Kalau pasukan Inggris tidak perlu memikirkan kemungkinan serbuan dari Soviet. Kalau pasukan Inggris ke Asia Tenggara, masih banyak pasukan lain di Eropa. Bahwa itu merepotkan Inggris dan ongkosnya mahal, mempengaruhi pikiran London, dan lain-lain, itu memang betul. Tetapi kalau merepotkan NATO saya kurang setuju. Kalau betul merepotkan dan mereka takut ada serangan Soviet, pasukan Inggris tidak akan dikirim ke Malaysia. Karena Eropa selalu dianggap yang paling penting.
T: Bung Karno juga berusaha membangun kerjasama dengan negara-negara yang melawan kekuasaan Barat. Antara lain dia menciptakan politik 'Poros' Jakarta-Hanoi-Beijing-dll itu. Bagaimana pendapat Pak Dan tentang politik 'poros'nya Bung Karno ini?
J: Berhasil. Dia memang dapat kehormatan dari Vietnam Utara, RRC, Korea Utara, dll. Bung Karno dianggap pemimpin, dsb. Waktu itu Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam politik dunia. Dan itu tidak hanya diinginkan oleh Bung Karno, tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain. Karena Indonesia suatu negara yang cukup besar dan semestinya memang berpengaruh di dunia. Dari sudut itu Bung Karno memang agak berhasil.
T: Selama Demokrasi Terpimpin ini seberapa jauh politik PKI itu ditentukan atau bahkan dikontrol oleh kekuatan komunis dunia seperti Uni Soviet dan RRC? Dari uraian Pak Dan kami dapat kesan politik PKI selama Demokrasi Terpimpin itu sangat ditentukan oleh politik Bung Karno dan Angkatan Darat.
J: Menurut saya, Soviet dan Tiongkok sebetulnya tidak punya banyak pengaruh pada PKI. Waktu itu PKI adalah partai komunis yang besarnya nomor tiga di dunia. Bahwa ada dorongan dari luar, dsb, itu memang cukup penting. PKI punya hubungan yang cukup dekat dengan Beijing dan juga dengan Moscow. PKI itu dihormati oleh keduanya. Tapi pada akhirnya yang menentukan politik PKI di Indonesia adalah CC-PKI. Politik PKI ditentukan oleh diri sendiri.
Tekanan dari luar itu ada, tetapi tidak banyak dan belum tentu dihiraukan. Di dalam negeri PKI sangat dipengaruhi oleh politik tentara dan politik Bung Karno. Dengan sendirinya. Karena PKI harus main dalam arena politik di Indonesia. Dan di situ yang sangat menentukan adalah BK dan Angkatan Darat. Jadi mau tidak mau pimpinan PKI harus bekerjasama dengan Bung Karno. Dan mungkin juga malah jadi terlalu tergantung pada BK. Di sisi lain mereka harus selalu waspada terhadap tentara.
T: Apa PKI bisa dikontrol oleh Soviet atau RRC?
J: Nggak. Karena PKI itu partai yang besar dan punya pengalaman sendiri di Indonesia. Nasehat dari luar tidak perlu banyak diperhatikan. Yang diperlukan adalah perhatian atau tekanan dari Beijing atau Moscow supaya PKI itu tidak diapa-apakan oleh tentara.
DISKUSI
Peran Media
T: Tentang pembunuhan massal-65, salah satu catatan dari Ulf Sundhaussen -- yang studi khusus tentang ABRI -- adalah, "Without the Army's anti-PKI propaganda the massacre might not have occurred" (Ulf, h 219). Ben Anderson juga melihat peran media dalam menyebarkan fitnah tentang Lubang Buaya sebagai faktor yang sangat penting untuk mengadakan pembunuhan, "Itu direkayasa. Karena pimpinan tentara tahu betul bahwa tidak ada siksaan. Tapi ini salah satu strategi untuk menimbulkan suasana yang tegangnya bukan main" (Apakabar, 25 Sept). Bagaimana Pak Dan melihat peranan media setelah pembunuhan di Lubang Buaya?
J: Yang dikatakan Ulf itu kurang tepat. Propaganda anti-PKI justru dipakai untuk menyokong suatu keputusan yang sudah diambil sebelumnya untuk melaksanakan pembunuhan massal itu. Saya setuju dengan Ben. Rekayasa atau malahan kebohongan pers itu dipakai untuk justifikasi, untuk membenarkan pembunuhan massal itu. Karena propaganda itu menimbulkan ketegangan dan kemarahan yang luar biasa.
T: Walaupun sebelumnya sudah ada ketegangan, seandainya media waktu itu membuat berita yang benar, apakah pembunuhan massal tetap terjadi?
J: Selama Demokrasi Terpimpin memang sudah ada ketegangan yang luar biasa. Banyak orang -- terutama dari NU, sebagian dari PNI dan banyak yang lain lagi -- sudah benci dan takut sekali pada PKI. Kebencian itu terus dikipas setelah tanggal 1 Oktober 65. Tujuannya untuk membenarkan pembunuhan itu. Kalau umpamanya saja waktu itu ada koran yang menentang, mungkin bisa mempersulit tetapi tidak bisa mencegah pembunuhan itu.
Walaupun bukti-buktinya yang terang belum ada, saya kira keputusan untuk mengadakan pembunuhan itu sudah diambil sebelumnya. Dan keputusan itu saya yakin diambil oleh pimpinan Angkatan Darat. Ada orang yang berkeberatan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kebanyakan koran yang tidak dibredel waktu itu tentunya anti-PKI dan senang dengan hancurnya PKI. Mereka tidak perlu didorong keras. Apakah mereka setuju dengan pembunuhan massal? Belum tentu.
Tapi jelas yang diberitakan dalam koran-koran waktu itu memberikan semacam legitimasi pada pembunuhan itu. Karena itu banyak orang yang kemudian menyatakan, "Ya, kalau PKI yang menang, mereka juga akan membunuh," dsb. Padahal terang yang membunuh itu bukan PKI, melainkan Angkatan Darat dengan bantuan pemuda lokal, di Jatim terutama dari NU, di Bali dari PNI.
Demokrasi: Bungkus Atau Isi?
T: Dalam pengantar untuk buku "Democracy in Indonesia" (Monash Paper #31), Ruth McVey menulis, "First, the fact that government has a democratic form does not always mean that it has a democratic content. Often enough the purpose of adopting the form was to deflect pressures for providing the content." Lalu dia beri contoh pemerintahan di Pilipina -- baik yang sebelum maupun yang sesudah Marcos -- yang bentuknya demokratis tetapi isinya tidak. Menurut Ruth, "Demokrasi konstitusional itu tidak selalu berarti keadilan sosial" (MPSA #31, h 13-14). Bagaimana Pak Dan memahami hubungan antara bentuk dan isi dalam suatu pemerintahan yang demokratis?
J: Soal ini menarik sekali. Karena sekarang ini, bagi banyak orang demokrasi itu berarti pemilu. Padahal pemilu itu gampang saja dibuat tanpa menimbulkan pengaruh apa pun juga. Sekarang banyak negara di dunia punya pemilu, punya DPR, pengadilan, eksekutif, dsb. Bentuk demokrasinya selalu terlihat. Tapi pemerintahan yang betul-betul demokratis, dalam arti betul-betul ada partisipasi dari rakyat, apa ada? Sarat-sarat demokrasi itu bisa saja dikontrol, dipermainkan.
Betul yang dikatakan Ruth. Marcos itu bikin pemilu, punya DPR, dll. Tapi semuanya dikontrol oleh pemerintah. Partai-partai yang betul-betul kuat, pers yang mandiri, tidak ada. Semuanya tergantung pada pemerintah. Lalu pemilu itu gampang sekali direkayasa. Di Indonesia juga begitu.
Lantas demokrasi dalam arti partisipasi rakyat dengan parpol-parpol yang kuat, dengan pers yang kuat, di mana orang betul bisa mengeluarkan pendapatnya supaya didengar dan diperdebatkan, hampir tidak ada. Yang kemudian terjadi di Pilipina, seperti juga di Indonesia, adalah politik dominasi oleh pemerintah di satu pihak, dan di pihak lain muncul keinginan untuk demokrasi dalam masyarakat yang justru dipersulit oleh pemerintah. Yang digambarkan pemerintah sebagai "demokrasi," itu bukan demokrasi.
Antara Perkataan Dan Perbuatan Elite
T: Dalam wawancara ini Pak Dan bilang bahwa elite tradisional selama Demokrasi Parlementer itu merasa terancam oleh PKI. Kemudian mereka mencari perlindungan dari ABRI dan juga Bung Karno. Selain itu, dalam studi tentang tahun 1957-59 anda juga bilang, "The elite escaped this threat partly by adopting egalitarian ideological symbols. Thus there developed contradiction that while Indonesian ideology often appears to be radical, the social reality of Indonesia -- the very elite which articulates the radical ideology -- is decidedly conservative" (Lev, h 10). Bisa dijelaskan lebih jauh perbedaan antara omongan elite yang egaliter dengan perbuatan yang konservatif ini? Apa contoh atau buktinya selama Demokrasi Terpimpin?
J: Ini memang kompleks sekali. Yang terlihat pada tahun 50-an dan juga sesudahnya, kelompok elite dalam masyarakat Indonesia -- terutama dari kalangan priyayi tetapi dari kalangan elite yang lain juga -- merasa terancam oleh ideologi yang sangat egaliter. Dengan sendirinya mereka tidak mau kehilangan kedudukan dan statusnya.
Ancaman itu berasal dari dua kelompok yang berada di luar elite itu. Satu, PKI. Dan satu lagi, Islam. Keduanya egalitar. Kalangan Islam juga merasa terancam oleh PKI. Sebagian karena PKI itu dianggap anti agama dan terang kurang senang dengan adanya kekuatan politik Islam. Dan egaliternya PKI itu lain karena di situ politik Islam tidak akan berperan.
Elite dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, dll itu merasa dipengaruhi oleh ideologi sosialis yang sudah berkembang sejak tahun 20-an, dan sebagian lagi dipengaruhi oleh revolusi kemerdekaan yang memasukkan unsur-unsur baru dari masyarakat ke dalam politik. Karena itu mereka terpaksa untuk ikut omong tentang tujuan yang egaliter. Semua orang ngomong tentang keadilan sosial, kerakyatan, dsb, tetapi banyak yang sebetulnya kurang tertarik pada implikasi egalitarisme.
Umpamanya, satu contoh kecil. Pada waktu revolusi semua orang pakai kata "Bung." Tapi setelah tahun 50-an dengan cepat sekali kata "Bung" itu mulai hilang, kecuali untuk Bung Karno. Elite waktu itu mau membendung pengaruh egaliter dengan melakukan kooptasi dengan cara ngomong yang bagus tentang kepentingan rakyat segala, sama rasa sama rata, keadilan, dsb. Tapi sebenarnya sesudah tahun 50-an terlihat bahwa kaum elite itu justru sedang memperkuat kedudukan mereka sendiri. Dan saya kira, sesudah Pemilu-55, orang-orang PNI -- dan yang lain juga -- mulai agak kuatir karena PKI yang betul-betul egaliter mulai mengancam posisi mereka. Apalagi setelah Pemilu Daerah tahun 57.
Ini bukan gejala yang hanya terlihat di Indonesia tentunya. Ini bukan sesuatu yang luar biasa. Dalam abad 20 ini banyak elite politik, di mana pun juga, sering omong tentang rakyat, keadilan sosial, dll. Padahal itu justru dipakai untuk menutupi suatu tujuan lain. Yaitu tujuan untuk tetap berkuasa. Antara perkataan dan perbuatan elite politik ada perbedaan yang luar biasa besarnya.
T: Dalam periode selanjutnya apakah masih bisa ditemukan semangat egaliter dalam Islam? Bagaimana wujudnya?
J: Masih. Kalau mempelajari Islam, jelas sekali pandangan bahwa semua manusia itu sama derajatnya di hadapan Tuhan. Semua Muslimin bersembahyang pada Allah dengan cara yang sama. Allah menganggap semua manusia itu sederajat. Dan banyak -- tentu tidak semua -- orang Islam terima itu. Pada umumnya dasar dalam Islam itu egaliter.
Dengan sendirinya, di Indonesia ide-ide itu selalu kelihatan. Kita baca ide-ide tentang manusia yang harus diberi peran dalam suatu sistim. Bahwa orang tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, dsb. Ini jelas lain dari ideologi yang aristokratis, misalnya. Yang membedakan manusia menurut keturunan, sejak lahir ada yang statusnya lebih tinggi.
Sejak abad-14 Islam di Indonesia sudah menjadi tantangan untuk struktur sosial aristokratis. Tapi tentu saja ada proses asimilasi dan ada juga proses domestikasi dari Islam dalam masyarakat Indonesia. Supaya tantangan itu, walapun masih ada, diringankan. Tapi toch dalam kalangan NU dan juga Masyumi dulu -- bahkan juga sebelum kedua organisasi itu lahir, terutama di daerah pasisir dan sebagian juga di pedalaman -- masih banyak orang yang betul-betul mengejar ideal egaliter dari Islam itu.
Tapi ini tidak untuk mengatakan bahwa orang Islam itu tidak dipengaruhi oleh status yang ada. Orang terdidik dengan sendirinya merasa diri lebih tinggi dari yang lain. Orang yang kaya juga merasa lebih tinggi. Tapi toch ide persamaan di dalam Islam itu sangat kuat. Agak mirip dengan ide persamaan dalam agama Protestan di Eropa, yang juga egaliter. Setiap orang punya hubungan langsung dengan Tuhan.
Gagalnya Landreform Dan Buruh Murah
T: Landreform di Indonesia sudah jadi Undang-Undang (UU Pokok Agraria, 1960). Tetapi tidak dijalankan sampai tahun 1964. Lalu PKI mengadakan Aksi Sepihak untuk melaksanakan kedua Undang-Undang itu. Kemudian timbul bentrokan, terjadi mobilisasi massa NU dan PNI untuk melawan Aksi Sepihak. Terjadi bentrokan juga dengan Angkatan Darat, dsb. Lalu Bung Karno minta Aksi Sepihak dihentikan, kemudian lahir Deklarasi Bogor, 12 Desember 1964. Setelah pembunuhan massal-65 Landreform tidak pernah dilaksanakan.
Di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan, program Landreform dijalankan sebelum mereka melangkah lebih jauh ke tahapan industri. Begitu juga di negara komunis seperti Cina, Vietnam dan Korea Utara. Menurut Pak Dan apa akibat gagalnya pelaksanaan Landreform di Indonesia pada tahun 1960-an itu?
J: Salah satu akibatnya adalah BTI menjadi makin kuat. Dan petani waktu itu makin berani dan makin nekat karena dapat bantuan dari BTI. Dari sudut jangka panjang, Landreform di Jawa itu sulit sekali karena tidak cukup tanah untuk semua petani yang ada.
Apakah karena Indonesia tidak mengikuti jalannya Jepang, Korea atau Taiwan, dll itu kemudian berpengaruh luar biasa? Saya kurang tahu. Yang terang, banyak petani di Indonesia sulit sekali hidupnya karena tidak ada Landreform. Lebih dari 50% petani di Jawa sekarang tidak punya tanah.
T: Beberapa teman berpendapat karena soal tanah tidak pernah dibereskan, yang kemudian terjadi adalah urbanisasi yang tidak terkontrol. Dan karena industrialisasi terlambat, yang akhirnya terjadi adalah urbanisasi tanpa industrialisasi.
J: Ada urbanisasi, tapi ada juga industrialisasi. Banyak orang yang dulunya tani, atau dari keluarga tani, sekarang jadi buruh. Tapi masih saja petani di Jawa menderita karena tidak punya tanah sendiri. Dan mereka terus saja dihisap tenaganya. Security untuk petani di Indonesia kurang ada.
T: Akibat lanjutnya adalah munculnya buruh murah pada dekade 80-an dan 90-an ini.
J: Urbanisasi selalu akan ada sebagian karena orang tertarik pada pekerjaan yang ada di kota. Walaupun seandainya Landreform seperti Undang-Undang tahun 60 itu dijalankan, tetap akan banyak petani yang tidak punya tanah yang cukup. Mereka akan mengalir ke kota. Memang ada soal Landreform, tetapi ada juga soal kepadatan penduduk di Jawa. Soal ini harus diakui. Walaupun punya tanah, kalau pendapatan dari tanah itu tidak cukup, petani akan tetap ke kota untuk mencari kerja. Di pantai utara Jawa sekarang ada banyak pabrik tekstil, sepatu, kimia, dsb. Banyak orang yang datang ke sana karena di situ bisa dapat kerja, bisa cari duit, lalu bisa dipakai untuk menolong keluarga, dsb.
T: Jadi gejala buruh murah itu akan tetap terjadi dengan atau tanpa Landreform?
J: Kemungkinan besar, iya. Apakah itu bisa dihindari? Saya tidak tahu. Menurut saya, mungkin bisa dengan serikat buruh. Karena di situ buruh bisa membela dirinya, membela kepentingannya. Tapi terang pemerintah Indonesia menolak adanya serikat buruh. Karena industri menginginkan buruh yang paling murah. Persis itulah yang terus diusahakan oleh pemerintah. Supaya buruh itu jangan jadi terlalu kuat. Soalnya sekarang apakah buruh pada akhirnya akan bisa memperjuangkan hak-haknya untuk berorganisasi. Karena hanya dengan berorganisasi keadaan mereka mungkin untuk dirobah, untuk diperbaiki.
Peran Budaya
T: Kami tahu ada kekuatan dalam diri masyarakat sendiri yang sangat berpengaruh, seperti kebudayaan dan agama. Peran agama tadi sedikit disinggung. Dalam seluruh uraian tentang Demokrasi Terpimpin ini Pak Dan sama sekali tidak menyinggung peran atau pengaruh kebudayaan. Apa ada pengaruh budaya dalam politik Demokrasi Terpimpin?
J: Menurut saya tidak. Kebudayaan itu dapat dipakai untuk menjelaskan apa saja sesudah terjadi. Apa saja. Analisa berdasarkan kebudayaan yang dipakai untuk menjelaskan Demokrasi Terpimpin -- termasuk oleh saya sendiri -- selalu seolah-olah mengenyampingkan keputusan yang diambil oleh pimpinan. Padahal kalau mau melihat kesalahan atau kelemahan dalam Demokrasi Terpimpin kita harus betul-betul memperhatikan keputusan yang diambil oleh pimpinan tentara, oleh Bung Karno, oleh pimpinan partai, dan oleh pemain-pemain politik pada umumnya waktu itu. Kalau dikatakan, "Wah, ini pengaruh kebudayaan," itu berarti Bung Karno, Nasution, dll itu, ya mereka cuma mengikuti kebudayaan saja. Dan itu omong kosong.
T: Untuk menjelaskan pembunuhan massal itu, Ulf al mengatakan, "They (PKI) eradicated the harmony in the community..." Dan, "It is this reckless breaking up of community accord by the communists which must be primarily regarded as the cause for the indiscriminate mass slaughter in 1965/1966)" (Ulf, h 218-219).
J: Begitu juga kalau mengatakan bahwa pembunuhan massal tahun 65 itu terjadi karena kebudayaan. Juga omong kosong. Ada keputusan untuk membunuh banyak orang. Dan keputusan itu diambil bukan berdasarkan kebudayaan, melainkan kepentingan dan kemauan.
Pendekatan kebudayaan seolah-olah memberi keleluasaan yang luar biasa pada pimpinan. Padahal mereka yang memutuskan, mereka juga yang bertindak. Kalau kebudayaan Indonesia dipakai untuk menerangkan Demokrasi Terpimpin, kenapa tidak dipakai untuk menerangkan Demokrasi Parlementer? Atau untuk menerangkan revolusi kemerdekaan? Kan kebudayaannya sama?
Di mana pun di dunia ini, pimpinan seolah-olah merasa berhak untuk mempermainkan pengertian 'kebudayaan' itu. Apakah Orde Baru ini berdasarkan kebudayaan atau kekuatan? Pembunuhan massal itu bisa saja terulang lagi. Tapi bukan karena kebudayaan. Masak iya banyak orang senang dengan pembunuhan? Apa yang membunuh itu senang? Belum tentu. Apa yang dibunuh itu senang? Terang tidak. Mereka kan juga bagian dari kebudayaan Indonesia.
Menciptakan Hantu
T: Salah satu akibat pembunuhan massal adalah ketakutan dalam masyarakat. Dalam obrolan dengan Takashi dia mengatakan, "Selalu ada 'hantu' yang dipakai dalam politik Indonesia. Setelah pemberontakan-26 pemerintah kolonial menciptakan hantu, yaitu Digul. Sedangkan selama Orde Baru hantu itu bukan Buru tetapi pembunuhan massal" (wawancara 9 Maret 96). Apakah Pak Dan setuju dengan 'hantu' sebagai alat untuk menciptakan ketakutan. Karena ketakutan itu kemudian bisa menjamin politik stabilitas. Seperti Digul dalam Jaman Normal (1926-1942).
J: Setuju sekali. Dan bukan hanya di Indonesia. Di mana saja kalau pemerintah atau kelompok yang kuat itu bisa memakai hantu untuk membuat masyarakat jadi takut, mereka akan pakai kesempatan itu. Orang-orang di Indonesia sering dikasih tahu, "Jangan lupa dengan apa yang terjadi tahun-65!" Misalnya saja yang baru terjadi sesudah 27 Juli lalu, PRD itu dituduh komunis.
Orang-orang yang menuduh itu tahu betul bahwa PRD itu bukan komunis. Tapi dengan tuduhan itu semua orang jadi ingat lagi. Kalau 'komunis' itu apa yang terjadi? Pembunuhan. Lalu orang jadi takut. Memang itu maksudnya. Tahun lalu orang-orang juga omong tentang OTB, dll. Maksudnya sama saja, untuk menteror supaya orang jadi takut. Ya, seperti Digul di Jaman Belanda.
Dan lagi ini bukan hanya di Indonesia. Di mana-mana hantu itu selalu dipakai. Di Amerika dulu, pada waktu Perang Dingin, Komunisme dan Uni Soviet dijadikan hantu. Di Malaysia orang-orang selalu diingatkan pada yang terjadi dalam konflik rasial tahun 69. Supaya jangan membuat keadaan jadi panas. Di Indonesia lebih serius, lebih serem lagi: pembunuhan.
PELAJARAN SEJARAH
Hubungan Sipil-Militer
T: Dalam wawancara ini Pak Dan menguraikan bagaimana hubungan sipil-militer itu sudah jadi masalah besar sejak tahun 50-an. Pak Dan tentu mengamati bagaimana hubungan sipil-militer di negara-negara lain. Apakah ada hal-hal yang bisa kami pelajari? Misalnya dari pengalaman AS, atau negara-negara ASEAN lainnya?
J: Di Amerika, Singapura atau Malaysia tentara tidak masuk langsung dalam politik. Tentu keadaan politik dan militer di Indonesia berbeda dari yang lain. Proses sejarah ketika Angkatan Darat mulai masuk dalam politik di Indonesia memberi kesempatan pada pimpinan tentara untuk mengembangkan ide-ide politiknya. Di Muangthai, sebagai perbandingan, tentara dari semula selalu janji -- secepatnya ada stabilitas dan kalau semuanya baik -- mereka akan keluar dari politik. Sedangkan di Indonesia sudah ada semacam ideologi tentara yang menyatakan bahwa, pokoknya, tentara punya hak untuk masuk dalam politik untuk selama-lamanya. Yaitu Jalan Tengah yang kemudian jadi Dwi Fungsi.
Soalnya apakah ada cara untuk mendorong Angkatan Darat keluar dari politik? Karena sudah diketahui, di mana saja kalau tentara turut dalam politik, maka yang menentukan itu adalah kekerasan. Karena keahlian tentara berhubungan dengan senjata. Dan keahlian itu mau tak mau akan dipakai dalam bidang politik juga. Di setiap negara peranan tentara merupakan persoalan dasar yang menuntut perencanaan yang hati-hati. Saya kira harus ada semacam kompromi. Kalau mau supaya tentara tidak masuk politik, seolah-olah pimpinan tentara, selain diperlakukan pemerintah secara fair dan hormat, harus dikasih semacam bayaran. Dibayar dalam bentuk perlengkapan yang cukup, latihan yang baik, fasilitas dan karir yang cukup menyenangkan buat pimpinan tentara.
Di Indonesia, proses negosiasi untuk menarik tentara keluar dari politik itu akan agak lama. Apakah sejarah atau pengalaman negara lain itu bisa menolong? Saya kira tidak banyak. Karena pengalaman masing-masing itu berlainan. Dan Indonesia itu, dari satu sudut, mempunyai Angkatan Darat yang pengalaman politiknya terlalu mendalam. Sukar untuk begitu saja tentara dipaksa keluar dari politik. Harus ada negosiasi yang lama.
Organisasi Teritorial AD
T: Dalam salah satu analisanya tentang kekuasaan Angkatan Darat, Harold Crouch mengatakan "Their power is largely derived from their teritorial structure. They are not organized primarily to defend the country from external aggression but to maintain internal security," (International Herald Tribune, 27 Agustus 1996).
J: Betul.
T: Dengan organisasi teritorial yang sejajar dengan pemerintahan sipil, Angkatan Darat melakukan pengawasan atau pembinaan masyarakat. Apa Pak Dan setuju dengan pendapat ini?
J: Pada umumnya saya setuju. Tapi mesti ditegaskan bahwa kekuasaan Angkatan Darat itu tetap berasal dari senjata. Organisasi teritorial itu memang berguna sekali untuk mengontrol seluruh negara dan seluruh masyarakat. Semacam organisasi teritorial itu sedikit banyak dipaksakan pada waktu revolusi karena sifat dari perang revolusi itu. Tapi kemudian organisasi itu dijadikan alat yang sangat berguna untuk pekerjaan politik tentara. Tapi jangan lupa, kalau terjadi apa-apa kekuasaan tentara pada akhirnya tergantung bukan pada organisasi teritorial melainkan pada senjata itu. Power yang menentukan ada di situ.
Kalau misalnya ada serikat buruh atau parpol yang punya organisasi teritorial, mungkin mereka tetap tidak bisa apa-apa. Tetapi organisasi teritorial yang dimiliki Angkatan Darat itu dengan sendirinya menjadi alat politik yang sangat efektif. Lain dengan tentara di Muangthai. Mereka lebih dipusatkan dan tidak dengan sendirinya ambil oper fungsi-fungsi sipil di daerah. Di Indonesia, terutama sejak tahun 57, Angkatan Darat sudah masuk ke dalam masyarakat sampai ke tingkat desa. Lalu setiap hari tentara itu jadi semacam alat administrasi dan politik. Bahkan kemudian mereka yang jadi pemerintah itu sendiri.
Elite Politik
T: Pak Dan mulai wawancara ini dengan membicarakan seluk beluk kelompok elite politik yang bermain dalam Demokrasi Terpimpin. Apa yang bisa kami pelajari dari pengalaman elite itu?
J: Kita sudah bicarakan pimpinan partai-partai pada tahun 1957. Periode itu menunjukkan bahwa elite politik itu penting sekali. Bangsa Indonesia, seperti semua bangsa lain, harus punya elite politik yang mendapat semacam pendidikan politik, yang mendapat kesempatan untuk berlatih supaya mereka punya pengalaman dalam main politik yang sebetulnya. Karena politik, seperti juga banyak perkerjaan lain, tergantung pada keahlian, skill, ketrampilan. Pimpinan hanya bisa mahir kalau banyak dilatih. Dan kalau mereka merasa bertanggung jawab bukan hanya pada diri sendiri atau kelompok yang terbatas, melainkan sedikit banyak terhadap seluruh masyarakat.
Tapi elite politik itu juga harus bisa dijaga, dikontrol, diawasi. Untuk itu perlu pers yang cukup kuat, mandiri, dan bertanggung-jawab. Supaya bisa mengawasi elite itu dan bisa memberi informasi yang dapat dipercaya dan dipakai oleh masyarakat. Ini semua penting, penting sekali! Dan ini baru soal lembaga masyarakat, dan elite sosial dan politiknya. Kita sama sekali belum ngomong soal demokrasi.
Perbedaan ideologi itu memang selalu akan ada dan bahkan dari satu sudut itu juga penting dan tidak bisa dielakkan. Di Indonesia juga selalu akan ada ketegangan antara agama. Tapi bagaimana menghindari supaya konflik itu jangan menjadi kekerasan, lalu orang main bakar atau main bunuh? Sekarang ini di Jogya ada satu lembaga di mana pemimpin beberapa agama bisa bertemu, bisa bicara supaya orang-orang tidak merasa dihina, dsb. Ini semacam latihan juga.
Semestinya ada kesadaran penuh bahwa konflik itu selalu mungkin terjadi. Sehingga seharusnya selalu ada rencana untuk mencegah konflik yang merusak. Tentu saya ini memerlukan pemikiran yang cukup mendalam dan juga keichlasan dari banyak orang untuk tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
Siapa Yang Bertanggung-jawab?
T: Menurut Pak Dan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal itu?
J: Ada satu buku yang mengumpulkan tulisan tentang pembunuhan massal ini, "The Indonesian Killings of 1965-1966," yang diedit Robert Cribb. Di situ ada satu makalah yang ditulis Ken Young yang menceritakan satu desa di mana tidak terjadi pembunuhan. Kenapa? Sebagian karena lurah di situ cukup tegas, cukup berwibawa dan cukup kuat. Dia menjaga supaya penduduk di desanya tidak membunuh. Di Tanah Sunda juga tidak ada pembunuhan besar-besaran.
Dulu ada yang mengatakan -- antara lain Clifford Geertz -- bahwa yang terjadi pada akhir 1965 adalah semacam 'amok' sosial." Atau yang lain bilang, "Ini semacam penyakit sosial," atau "Karena bentrokan kepentingan ekonomi," atau "Akibat kebudayaan Jawa atau Bali," dsb. Menurut saya, pemikiran macam itu mengelakkan sesuatu yang nyata. Yaitu, bahwa ada yang memutuskan untuk melakukan pembunuhan banyak sekali orang.
Setelah memutuskan itu, ya ada macam-macam cara untuk mengerahkan banyak orang. Anak-muda NU dan PNI atau yang lain itu kemudian dipilih untuk menghabiskan nyawa orang lain. Dan kalau tidak ada pemuda organisasi lain yang bisa dikerahkan, lalu tentara sendiri yang mulai membunuh orang. Ini menunjukkan sesuatu yang perlu diakui -- bahwa pembunuhan itu tidak terjadi begitu saja. Tetapi ada yang merencanakannya dan menjamin realisasinya. Buku yang baru terbit tentang Bali oleh Geoffrey Robinson sangat berguna juga untuk memahami sejarah ini (Catatan editor: buku itu berjudul "The dark side of paradise, political violence in Bali," Cornell University Press, 1995).
Contoh lain dalam sejarah adalah Holokaust itu. Ada macam-macam pendekatan yang menjelaskan pembunuhan orang Yahudi di Eropa waktu Perang Dunia-2. Tetapi yang paling menentukan adalah keputusan dari pimpinan Nazi. Sesudah diputuskan, orang bisa dikerahkan untuk ikut. Ada yang tidak setuju, ada yang menentang, tetapi semua harus hati-hati karena takut. Menurut saya, semestinya ditanyakan terus, siapa di Jakarta yang memutuskan untuk mengirimkan pasukan ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali? Apa maksudnya? Apa perintahnya? Cukup terang bahwa pasukan itu diperintahkan untuk mengadakan pembunuhan massal.
Dendam
T: Dalam wawancara dengan Pipit dia meragukan apakah memang tidak berbahaya mengungkapkan pembunuhan massal ini. Karena dia kuatir kalau ini akan membuka luka lama lalu akan banyak orang yang ingin membalas dendam. Menurut Pak Dan sendiri bagaimana?
J: Ya, ini memang keadaan yang sulit sekali. Balas dendam hanya akan menambah rusaknya keadaan. Sebaiknya ada semacam kompromi. Yaitu, pengalaman masa lalu itu bisa jadi pelajaran. Tetapi hari depan jangan dikorbankan. Kalau ada orang yang mau menghantam kembali orang-orang yang dulu berbuat kejam sekali, ini tentunya bisa dimengerti. Tapi kalau kemudian itu hanya tambah merusakkan keadaan, lalu apa hasilnya?
Saya tahu dan pernah bicara juga dengan orang-orang yang tujuan utamanya adalah membalas dendam. Bukan hanya para korban tahun 65 ini. Tetapi juga korban-korban Orde Baru lainnya. Apalagi keadaan sekarang bagi banyak orang itu cukup bikin jengkel dan muak. Lalu yang dipikirkan hanyalah menghantam kembali. Dapat dimengerti juga. Tapi dari sudut politik ini malah justru membuat keadaan lebih sukar untuk usaha mencari jalan keluar.
T: Yang sudah terjadi itu sudah tidak bisa diubah lagi. Tapi paling sedikit pengalaman itu bisa jadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
J: Saya setuju. Dan yang paling penting untuk dipikirkan oleh semua orang adalah bagaimana bisa menghindari pembunuhan massal lagi? Bagaimana bisa menghindari dominasi suatu kelompok atas kelompok lainnya? Bagaimana bisa menghindari penyalah-gunaan kekuasaan? Apalagi karena Indonesia adalah suatu negara yang isinya begitu beraneka ragam.
Yang Bisa Jadi Contoh
T: Akhir 1965 adalah periode yang sangat mengerikan dalam sejarah modern Indonesia. Apakah Pak Dan melihat orang-orang yang bisa kita jadikan contoh yang baik?
J: Waktu itu memang ada beberapa orang yang sejak semula sudah menentang pembunuhan ini. Tidak semua berani omong, tentunya. Tapi yang ngomong, nulis, itu antara lain Soe Hok Gie dan Pak Yap. Tidak semua tulisan mereka itu diterbitkan karena redaksi koran waktu itu takut juga. Saya sendiri sudah pernah ketemu dengan orang-orang lain yang ketika sudah mulai mendengar berita tentang pembunuhan ini, dan sudah mulai ada pengetahuan, lalu membuka mulutnya. Tidak banyak, tetapi ada. Sesudah beberapa lama, juga mulai ada yang menulis tentang ini. Paling sedikit, mereka menuliskan apa yang mereka lihat, rasakan atau alami sendiri. Ada yang menulis cerita, sajak, kesaksian, dsb. Menurut saya orang-orang itu bisa jadi contoh yang baik.
Terang ada orang-orang yang punya moral yang tinggi. Paling sedikit dalam hatinya sendiri mereka protes keras sekali. Saya tidak banyak mengenal mereka. Tapi saya tahu mereka ada. Dalam tulisan Ken Young itu ada lurah yang sudah mencegah pembunuhan di desanya. Saya tidak tahu namanya tapi saya ingin betul ketemu dengan lurah itu. Saya sendiri pernah ketemu dengan seorang rohaniwan Katolik di Jogya yang sejak tahun 1966 sudah mulai mengumpulkan bantuan untuk keluarga yang jadi korban. Berapa orang yang bisa dia bantu, ini saya tidak tahu. Tapi ada banyak usaha seperti itu sesudah akhir tahun 1965. Banyak orang-orang kecil yang juga ikut menolong. Tapi mereka bukan orang-orang yang mau menonjolkan diri.
Lembaga Dan Kontrol
T: Kalau melihat sejarah Demokrasi Terpimpin dengan menengok ke belakang agak jauh -- sejak Pemilu Daerah 1957 seperti yang Pak Dan lakukan ini -- secara umum apa yang bisa dipelajari?
J: Pada waktu Demokrasi Terpimpin, lembaga-lembaga politik itu dijadikan lemah dan korup. Korupsi sekarang lebih hebat dari pada waktu itu, tetapi korupsi dalam birokrasi itu mulai membesar pada waktu Demokrasi Terpimpin. Lembaga-lembaga untuk menjaga dan mengontrol korupsi, dan kemudian untuk mengontrol pembunuhan massal itu hampir tidak ada. Karena itu, sebaiknya orang memikirkan lembaga-lembaga yang bisa melakukan pengawasan, kontrol terhadap pemerintah dan elite politik. Soal yang sangat penting ini merupakan hal pertama yang harus dipikirkan. Menurut saya pembunuhan massal tahun 1965 itu tidak akan terjadi kalau elite politik lebih bertanggung jawab dan sedikit banyak bisa dijaga oleh masyarakat.
Sekarang kita bisa lihat dengan adanya lembaga seperti PTUN dan dan Komnas-Ham, bahwa dengan lembaga yang baru ini, dan dengan pemimpinnya yang bertanggung-jawab, yang punya prinsip, maka bisa menumbuhkan semacam harapan juga. Dan ini juga bisa menolong masyarakat. Antara lain, itulah pelajaran yang dapat ditarik dari sejarah. Selalu akan ada konflik, keresahan, perbedaan kepentingan, perbedaan ideologi. Karena itu harus ada lembaga-lembaga yang bisa menampung semua gejolak itu supaya tidak menjadi malapetaka (Habis, wawancara tgl 10 Okt, 23 Okt, dan 24 Nop 1996).***
PUSTAKA UNTUK WAWANCARA
1. Apakabar, 1996, "Ben Anderson tentang pembunuhan massal-65," Apakabar (Indonesia-L) tgl 25/9, 28/9, 30/9 dan 1/10/1996.
2. Apakabar, 1996, "Pipit Rochijat tentang pembunuhan massal-65," Apakabar (Indonesia-L) tgl 22/10, 23/10, 25/10, 29/10 dan 1/11/1996.
3. Bunnel, Frederick P., 1966, "Guided Democracy foreign policy: 1960-1965. President Sukarno moves from Non Alignment to Confrontation," Indonesia #2, h 37-76.
4. Crouch, Harold, 1996, "Indonesia's military is likely to keep its sociopolitical role," International Herald Tribune, 27 Agustus 1996.
5. Crouch, Harold, 1978, "The Army and politics in Indonesia," Cornell University Press.
6. Evans III, Bryan, 1989, "The influence of the United States Army on the development of the Indonesian Army (1954-1964)," Indonesia #47, h 25-48.
7. Feith, Herbert, 1995, "Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin," Pustaka Sinar Harapan.
8. Kahin, Audrey R. dan Kahin, G. McT., 1995, "Subversion as foreign policy" bagian "Conclusion and Epilogue," h 217-230, The New Press, New York.
9. Lev, Daniel, 1966, "The transition to Guided Democracy: Indonesian politics, 1957-1959," Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University.
10. McVey, Ruth, 1992, "The case of the disappearing decade," dalam "Democracy in Indonesia," Monash Papers on Southeast Asia #31.
11. Oei Tjoe Tat, 1995, "Memoar Oei Tjoe Tat, pembantu presiden Soekarno," Hasta Mitra.
12. Rocamora, J. Eliseo, 1991, "Nasionalisme mencari ideologi: bangkit dan runtuhnya PNI, 1946-1965," Grafiti.
13. Sundhaussen, Ulf, 1982, "The road to power, Indonesian military politics 1945-1967," Oxford University Press. Atau edisi bahasa Indonesia, "Politik militer Indonesia 1945-1967, menuju Dwi Fungsi ABRI," LP3ES, 1986, terutama h 365-388, dan h 473.
***